Jarir Idris*

Sri Lanka diguncang teror. Ratusan orang meninggal. Sadis! Benar benar berhati iblis manusia yang memotori aksi tersebut. Bertepatan dengan Hari Paskah, Sri Lanka mendapatkan cobaan yang Maha Berat dengan meninggalnya ratusan warga negaranya dan banyak yang mengalami luka yang serius akibat teror tersebut. Negara yang kaya ragam agama, suku dan bahasa tersebut mendapat ancaman disintegrasi.

Salah satu fakta teror Sri Lanka adalah sudah adanya peringatan polisi tentang ancaman bom di gereja. Tepatnya 10 hari sebelum kejadian, polisi Sri Lanka sudah diperingatkan oleh intelejen asing tentang rencana serangan bom bunuh diri yang mengincar gereja-gereja besar.Kemudian kita tahu 137 orang tewas dan ratusan mengalami luka serius.

Sri Lanka memiliki kesamaan dengan Indonesia, yakni masyarakatnya yang multikultural. Dengan beragam agama, suku dan bahasa menjadikan kehidupan yang ada di Sri Lanka tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Keberagaman masyarakat tentunya mempunyai dampak positif jika disertai komitmen untuk bersatu. Sehingga, siapapun yang ingin mengganggu kedaulatan negara harus menjadi musuh bersama. Akan tetapi, disisi lain juga menjadi ancaman bangsa yang mengganggu stabilitas negara jika tidak dikelola dengan baik.

Sampai saat ini, memang belum ada informasi pasti mengenai motif di balik teror. Tetapi, dari keterangan yang ada, juga dari beberapa sumber berita, maka ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama rencana teror tersebut sudah diketahui kepolisan Sri Lanka. Ini tentunya menghadirkan pertanyaan yang sangat mendasar: mengapa? Berarti teror tersebut sudah ada perencanaan sebelumnya.
Kedua, sasaran pelaku adalah gereja-gereja besar. Kita ketahui bersama, bahwa gereja, masjid, kelenteng, vihara dan pura adalah tempat berkumpul dan beribadah umat beragama. Bisa dipastikan bahwa penyerangan yang menargetkan tempat ibadah adalah ancaman untuk meneror para pengikutnya. Pelaku mengincar tempat ibadah yang digunakan untuk berkumpul para pengikutnya.

Ketiga perencanaan pembantaian. Mengambil nyawa manusia dengan dalih apapun, tidak dibenarkan oleh agama manapun. Pembunuhan massal yang terencana menelan ratusan korban jiwa, meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi keluarga dan sanak saudara.

Keempat penyerangan ketika hari paskah. Umat Kristen merayakan hari paskah karena paskah identik dengan Yesus, yang oleh Paulus disebut sebagai “anak domba Paskah”, Jemaat Kristen percaya bahwa Yesus disalibkan, mati dan dikuburkan dan pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati. Paskah merayakan hari kebangkitan tersebut dan merupakan perayaan yang terpenting karena memperingati peristiwa sackal dalam hidup Yesus, seperti yang tercatat dalam keempat Injil di Perjanjian Baru.

Teror Sri Lanka tidak jauh berbeda dengan kejadian teror bom yang terjadi di Surabaya tahun lalu. Meskipun korban jiwa tidak sebanyak yang terjadi di Sri Lanka, tetapi pembantaian manusia oleh manusia tidak benarkan dengan dalih apapun. Karena sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling mengenal, bukan saling menutup diri, melecehkan, menghina, membangga-banggakan suku, kelompok dan golongan masing-masing. Sebab itu semua dapat memicu terjadinya perpecahan.

Tak cukupkah pelajaran yang kita ambil atas peristiwa anak yang kehilangan ibunya, seorang suami ditinggal mati oleh istrinya dan banyak korban yang kehilangan bagian tubuhnya hanya gara-gara kebengisan manusia itu sendiri?.
Bersikaplah santun, kepada siapapun. Tanpa memandang agama, tanpa memperdulikan suku dan tanpa menghiraukan bahasa. Selama dia adalah manusia, dia sama seperti kita. Kita wajib untuk saling mengormati satu sama lain tanpa mementingkan ego kita masing-masing.

Seorang bijak mengatakan, “Bukan agama, suku apalagi budaya yang memicu perpecahan di antara kita. Tetapi kebodohan yang bersarang di dalam otak kita, sehingga kita tidak bisa memaknai kehidupan indah yang telah Tuhan ciptakan”. Marilah kita mengurangi kebodohan kita sedikit demi sedikit untuk melihat betapa indah dan agungnya kehidupan yang telah Tuhan anugerahkan untuk kita.

*Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam IAIN Surakarta

Komentar