Era globalisasi dengan keterbukaan di segala aspek dan lini kehidupan, nyatanya membawa manusia menghadapi beragam persoalan krusial. Salah satu di antaranya adalah posisi umat beragama dalam kacamata pluralisme agama. Kondisi ini berkaitan dengan terbukanya akses informasi dengan kemajemukan latar belakang tradisi yang dibawa oleh setiap umat beragama dengan corak pemikiran yang mengiringinya. Kompleksitas pemikiran dan penyikapan antar umat beragama pada praktiknya sering berbenturan dengan kepentingan kehidupan bercorak keagamaan dari setiap golongan. Kondisi ini tidak jarang membawa pertikaian yang membutuhkan penyikapan yang bijak dalam kacamata universal.

Radikalisme dan Terorisme menjadi gambaran skala  global bagaimana cara pandang atas ekslusivisme absolut agama menjadi demikian menakutkan bagi tatanan hidup. Berbagai teror dan pandangan penuh skeptisme hadir membuat ketidaknyamanan. Dalam skala kecil lahir dikotomi kelas antara mayoritas dan minoritas. Pemandangan ini hadir dari sikap tertutup atas perbedaan yang mendorong gerakan untuk menolak hadirnya perbedaan. Sehingga penting untuk didekonstruksi ulang bahwasanya perbedaan adalah fitrah manusia dalam kehidupan.

Buya Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh pemikiran Islam Indonesia yang akrab dengan konsep pluralisme agama. Gagasan dan pemikirannya secara sosial dan intelektual memperkaya khasanah pemikiran Islam dalam kultur keIndonesiaan. Keteguhan sikap bapak bangsa dalam corah pemikiran Buya Syafii Maarif terletak pada pendekatan sejarah yang digunakan dalam meneropong berbagai persoalan kehidupan dalam konteks keIslaman. Hal tersebut dengan menempatkan Alquran sebagai pijakan dasar dan nilai-nilai utama dalam kerangka berpikir yang dibangunnya.

Pluralisme agama menjadi sesuatu hal yang penting sebagai sebuah kesadaran akan hak azasi dasar dalam beragama dan berkeyakinan tanpa intervensi. Kesadaran tersebut perlu dibumikan sebagai sebuah ideologi kemanusiaan agar tidak lagi ada paksaan beragama, juga tindakan kesewenangan atas nama keyakinan. Gagasan  pluralisme agama dalam pandangan Buya Syafii Maarif mampu membangun jaringan lintas batas keimanan baik antar golongan, antar agama maupun kemanusiaan secara umum. Sehingga kontribusi pemikiran, sikap dan sosoknya sebagai juru perdamaian di Indonesia maupun dunia. Hal tersebut sejalan dengan kiprah intelektualnya yang moderat, humanis, inklusif, terbuka dan toleran. Pijakan berpikir dan sikap kenegaraan guru bangsa tersebut secara bijak meletakkan perbedaan agama sebagai sebuah pilihan yang dapat dihormati dan diterima secara baik sehingga kehidupan yang damai dapat terwujud.

Untuk merealisasikan hal tersebut, Buya Syafii Maarif mengemukakan beberapa prinsip yang ia jadikan landasan dari gagasannya, yaitu: autentisitas beragama, doktrin rahmatan li al-‘alamiin, keadilan (al-‘adaalah), egalitarianisme (al-musawah) dan toleransi (al-tasamuh).[1] Prinsip dalam gagasan tersebut tercermin melalui berbagai tulisan akademis, sikap dalam menjembatani pemikiran dan kiprahnya dalam keseharian dalam memberi perspektif. Dalam konteks ini, Buya Syafii Maarif menjelaskan bahwa Islam pada esensinya memandang manusia secara fitrah dan porporsional sebagai makhluk berakal. Adapun perbedaan latar belakang  dan corah pemikiran merupakan anugerah Tuhan atas keterciptaan manusia sebagai makhluk yang merdeka namun tetap memiliki batasan atas hak orang lain, sehingga  keunikan dan perbedaan ini dapat mendorong manusia untuk saling mengenal (ta‘aruf). Ta‘aruf menurut Buya Syafii Maarif diartikan dengan upaya saling mengenal sekaligus berfungsi sebagai fondasi kultural dan religius untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal dan mengokohkan pluralisme.

Secara teologis, al-Qur’an menjelaskan  la ikraha fi al-dīn‛ yang artinya tidak ada paksaan dalam agama. Ayat tersebut merupakan bukti atas tingginya apresiasi al-Qur’an sebagai pedoman beragama Islam dalam memandang hak beragama. Dalam konteks sejarah peradaban Islam, pluralisme agama dicontohkan dan dideklarasikan langsung oleh Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah. Nabi dalam hal ini membuat sebuah konsensus dan kesepakatan dalam aturan kaitannya hubungan antara umat beragama yaitu kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik Madinah, dan Islam. Traktat politik dalam konteks kenegaraan itu dikenal dengan Piagam Madinah, sebuah bentuk Konstitusi Madinah‛ atau ‚Mithaq al-Madīnah‛. Bahwa dalam realisasinya piagam tersebut berlaku bagi seluruh penduduk Madinah, apapun latar belakang etnis dan agamanya, harus saling melindungi. Sehingga dapat tercipta kerukunan dan perdamainan.

Baik secara teologis maupun sejarah kebudayaan, Islam sebagai agama memiliki peranan sentral dalam memberikan pedoman, tuntunan serta pagar aturan. Peran sentral tersebut sejalan dengan potensi  agama dalam memberikan legitimasi tindakan umat beragama sebagaimana konsensus yang dimilikinya. Sehingga sikap terbuka atau pluralisme dalam beragama dari setiap umat beragama mampu melahirkan perdamaian dan toleransi secara menyeluruh. Konsensus keterbukaan dalam memandang perbedaan lintas iman tersebut sekaligus merupakan perisai dari sikap saling merasa benar, sikap merasa lebih baik apalagi radikalisme yang mengarah pada tindakan membahayakan. Menurut Eka Darmaputera (1942-2005) setiap umat beragama tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis dalam berinteraksi dengan yang lain, tetapi ia juga didesak untuk memahami secara teologis apakah sesungguhnya makna kehadiran dan eksistensi agama-agama tersebut.

Dalam potret keIndonesiaan dengan ragam kebudayaan, agama dan suku bangsa, Bhinekka Tunggal Ika dapat mengakomodir kesatuan dengan kemajemukan. Toleransi telah menjadi landasan filosofis yang menyatukan dalam suasana bernegara yang demokratis tanpa pembeda atas perbedaan pilihan. Sehingga bangsa tidak kehilangan arah, juga tidak meninggalkan landasan moral. Konsep luhur pendiri bangsa ini sangat egaliter dan mampu menempatkan seluruh warga negara dalam posisi setara tanpa dominasi mayoritas atas minoritas. Tentu perbedaan yang diakumulasi dalam persatuan menjadikan kekayaan dan kemajemukan budaya.

Sikap itu akan melahirkan pandangan yang positif terhadap eksistensi kemanusiaan dan berbagai corah perbedaan, tidak terkecuali perbedaan agama maupun aliran keagamaan. Sikap teguh pada keyakinan ditunjang sikap terrbuka atas perbedaan  melahirkan sikap penghormatan. Pola terbuka dalam memandang situasi dan keberadaan memperlebar nalar epistemologis keagamaan, sehingga tafsir agama tidak eksklusif absolut melainkan berkembang melahirkan banyak proses ijtihad yang  relevan. Hal tersebut dapat diimplementasikan dalam keseharian dalam menjembatani kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam diskursus pemikiran dan gerak, Buya Syafii Maarif dinilai sebagai bapak bangsa yang secara konsisten dan penuh komitmen membumikan teks pluralisme agama di Indonesia. Keberadaannya sebagai tokoh keagamaan dan akademisi memiliki ruang dan gerak yang  jauh. Dalam gempuran intoleransi agama, terorisme, radikalisme dan gerak politisasi agama  yang menguat, gerak dan suara Buya Syafii Maarif mengisibruang besar dalam menyampaikan keprihatinan atas disfungsi agama, pun dengan tawaran yang bijak. Pemikiran tersebut tidak lain merupakan sebuah potret pluralisme agama yang terbuka, bernaas, egaliter dan toleran.  Sebuah ajaran universal yang ditawarkan setiap agama adalah damai dan kasih kepada sesama manusia. Sejalan dengan hal tersebut, Ananda K. Coomaraswamy (1877-1947) menyatakan bahwa hubungan baik antar umat beragama tidak akan terwujud jika klaim kebenaran hanya dimonopoli agama tertentu. Untuk itu, memahami arti pentingnya eksistensi setiap agama merupakan bangunan filosofis yang amat mendasar sebelum berbagai agenda kemanusiaan diperbincangkan.

Secara tidak langsung kesadaran atas pluralisme agama hadir dapat mendorong lahirnya sebuah kesadaran baru dalam beragama seperti: to be religious is to be interreligious (beragama berarti membangun hubungan dengan penganut agama lain). Pluralisme agama juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Dengan demikian pluralisme agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat majemuk, beraneka ragam dan terdiri dari berbagai suku dan agama.

Dengan pandangan dan pemikiran tersebut, sekiranya khasanah keagamaan tidak hanya berorientasi pada ibadah skala personal melainkan serangkaian falsafah  hidup yang mampu menciptakan tatanan kehidupan yang tidak hanya membawa kedamaian melainkan membawa kemajuan ke arah yang baik.

Komentar