Masih saja ditemukan pengajian-pengajian yang membahas panjang lebar masalah khilafiah ibadah. Isinya adalah pemaparan tentang ibadah yang sesuai sunah dan yang bukan, kemudian ujung-ujungnya, yang benar adalah praktik ibadahnya, sementara yang lain adalah bidah atau salah tuntunan.
Mendalami masalah ibadah itu baik. Tetapi, ibadah untuk diamalkan, bukan diperdebatkan. Setelah paham ilmunya, kerjakanlah suatu ibadah sesuai dalil yang kita yakini tersebut secara ikhlas dan istikamah. Jangan suka memprotes, apalagi menyalahkan, praktik ibadah orang lain yang berbeda dari kita.
Kita manusia biasa yang belum tentu benar. Kecuali Nabi yang memang maksum, setiap kita punya potensi salah dan benar dalam menjalankan ibadah. Fokus pada kualitas diri sendiri lebih bagus daripada sibuk mengoreksi orang lain. Kita toh tidak pernah tahu siapa di antara kita yang ibadahnya diterima Allah.
Banyak persoalan lebih penting dan produktif. Islam penuh dengan ajaran-ajaran hebat dan mulia. Bagaimana membumikan itu semua dalam realitas. Kita perlu ulama/ilmuwan yang fasih menerjemahkan kandungan Al-Qur’an dan hadis menjadi teknologi dan inovasi untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
KH Ahmad Dahlan, seorang alim dari Kauman, Yogyakarta, misalnya, mengkaji surah Al-Maun kemudian melahirkan rumah sakit. Kajian beliau tentang surah Al-Ashr selama 7 bulan juga melahirkan organisasi yang kelak bernama Muhammadiyah. Banyak lagi, dan silakan baca sendiri dalam buku-buku sejarah.
Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari juga demikian. Mendalami ayat Allah dan sabda Nabi tentang jihad dan cinta tanah air, beliau mengeluarkan Resolusi Jihad. Sejarah mencatat, fatwa itu berhasil membakar semangat arek-arek Suroboyo dalam pertempuran mengusir penjajah pada 10 November 1945.
Tentu di zaman sekarang juga banyak ulama/ilmuwan yang dari kajian-kajian mereka terhadap ajaran Islam, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis, kemudian menelurkan teori-teori ilmiah, dan bahkan lembaga atau amal usaha yang sangat nyata dirasakan manfaatnya oleh lapisan masyarakat luas.
Dengan demikian, Islam tidak berhenti sebagai doa dan fatwa. Kajian Islam semacam itulah yang lebih kita butuhkan, dan bukan pengajian yang selalu mengorek-ngorek persoalan variasi praktik ibadah dan hal-hal kontroversial lain, sehingga pada urutannya hanya menyulut api kebencian dan permusuhan di antara sesama.