Tasawuf telah hadir dalam khazanah keilmuan dan kehidupan spiritual Muslim sejak abad ketiga hijiriyyah. Banyak ragam pendapat ilmuan tentang sejarah lahir, asal usul, dan perkembangannya. Ada kesepakatan bila praktik tasawuf dalam arti tazkiyah al-nafs telah hadir sejak awal kedatangan Islam. Namun tasawuf secara istilah tidak pernah dikenal hingga setelah abad kedua hijriyyah, dan menjadi istilah yang baku pada akhir abad kedua dan awal ketiga hijiryyah.
Tiga faktor lahirnya tasawuf
Karena perbedaan ini, akhirnya tidak ada kata sepakat tentang faktor yang membidani lahirnya tasawuf dalam Islam. Namun demikian, setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi kesepakat para ahli yang menjadi penyebab lahirnya tasawuf. Pertama, tasawuf hadir sebagai reaksi atas gaya hidup yang bermewah-mewahan yang mulai muncul perlahan pasca kepemimpinan para al-khulafā’ al-rāsyidūn dari satu sisi, dan fitnah serta perpecahan politik yang berulang di sisi lainnya.
Kedua, adanya ḥadīṡ yang menunjukkan bahwa lubs al-ṣūfī (pakaian para ṣūfī) pada masa Rasulullah berkaitan erat dengan faqr (kefakiran), lemah, dan kesusahan, sehingga pasca Rasulullah model dan gaya pakaian ini menjadi indikasi dari rendah hati, ibadah, jauh dari nikmat dunia. Sehingga pakaian khas para Ṣūfī ini kemudian menjadi indikasi khusus bagi mereka. Imam mażhab seperti Mālik dianggap sebagai salah satu figur representatif dari kehidupan zuhd yang digambarkan oleh para peneliti.
Ketiga, adanya fenomena baru dari praktik zuhd yang belum ada para masa sahabat, trend ini muncul di Kufah dan Basrah yang berbeda dari praktik Muslim pada umumnya, juga munculnya istilah dan terminologi khusus dalam tren ini yang belum pernah ada pada masa sebelumnya. Hal ini kemudian menjadi faktor terbentuknya komunitas bernama tasawuf yang diikuti dengan karya para ulama tentang rincian ajaran dan tema-tema dalam tasawuf, kemudian diikuti dengan lahirnya bermacam-macam al-ṭarīqāt al-ṣūfiyyah (tarekat-tarekat Ṣūfī) yang mewajibkan setiap ṭarīqah untuk berguru hanya pada satu syaikh Ṣūfī.
Faktor penting lainnya yang membuat tasawuf semakin kuat dan menyebar dalam masyarakat Muslim adalah tulisan dan karya ulama tentang tasawuf, seperti al-Ḥāriṣ al-Muḥāsibī dengan al-Ri‘āyah, al-Kalābāżī dengan al-Ta‘arruf li Mażhab Ahl al-Taṣawwuf, Abū Ṭālib al-Makkī dengan Qūt al-Qulūb, al-Ṭūsī dengan al-Luma‘, lalu ada Ṭabaqāt al-Ṣūfiyyah karya ‘Abd al-Raḥmān al-Sulamī, kemudian al-Qusyairī dengan al-Risālah al-Qusyairiyy dan banyak lagi karya tentang tasawuf dan ragamnya setelahnya. Demikianlah, tasawuf muncul sebagai fenomena praktik spritual yang kemudian menjadi istilah khusus, lalu menyebar dan melahirkan beragam ṭarīqah di tengah masyarakat Muslim.
Peran sufi dan Ibn Taimiyyah
Para Ṣūfī memilik andil besar sepanjang sejarah dalam membela Islam; membantah para musuh Islam dalam tema-tema akidah dan lainnya, sebagaimana sebagaian dari mereka menyebar syubhāt seperti syaṭaḥāt yang memunculkan kontroversi baru dalam masyarakat Muslim. Hal ini berlanjut semakin larut pada masa-masa berikutnya. Ragam praktik yang mulai menyimpang ini juga terjadi pada masa Ibn Taimiyyah. Dalam konteks inilah kemudian Ibn Taimiyyah berupaya untuk merekonstruksi faham tasawuf untuk meletakkannya kembali ke pangkuan al-Qur’ān dan Sunnah.
Kritik dan serangan Ibn Taimiyyah kepada sebagian praktik tasawuf yang menyimpang ini kemudian sering disalahfahami sehingga muncul stigma buruk terhadap hubungan Ibn Taimiyyah dan para Ṣūfī. Padahal bila dibaca karya-karya Ibn Taimiyyah, banyak pujian yang ia berikah kepada para Ṣūfī yang ia juluki dengan al-Ṣiddīqūn. Ibn Taimiyyah yang sejak remaja telah akrab dengan para Ṣūfī, karya, dan praktiknya ini dalam kesehariannya tidak luput dari aktifitas spiritual. Menurut muridnya, Ibn al-Qayyim, “wird dan żikr bagi hati ibarat makanan bagi tubuh, bagaimana manusia akan hidup tanpa makanan?” bahkan Ibn Taimiyyah memiliki wird dan żikr khusus yang rutin ia baca setiap hari yang kemudian dihimpun dalam al-kalim al-ṭayyib yang kemudian diberi komentar oleh Ibn al-Qayyim dalam al-wābil al-ṣayyib.
Dalam mendiskusikan tasawuf dan tema-temanya, Ibn Taimiyyah merujuk pada teks para Ṣūfī otoritatif, di samping buku-buku sejarah, tafsir dan ḥadīṡ. Ibn Taimiyyah nampaknya berusaha untuk objektif dalam menjelaskan tasawuf sebagaimana yang ia lakukan dalam tema lainnya. Dalam karya-karyanya dia mencantumkan referensi otentik dan kredibel dalam tema yang ia bahas. Ia juga menguasai tema tersebut dengan mendalam dan luas.
Ibn Taimiyyah melihat dan membaca buku-buku para sufi, mendengar penjelasan-penjelasan mereka, baru kemudian memberi kritik dan komentar. Hidup pada masa tersebut dengan ketersediaan referensi terbatas, Ibn Taimiyyah bisa mendapatkannya; baik karya-karya para sufi maupun sanggahan-sanggahan terhadap mereka. Setidaknya -dalam tema tasawuf- Ibn Taimiyyah mengutip tidak kurang dari empatpuluh tiga teks para sufi.
Cara melihat Ibn Taimiyyah secara lengkap
Diskusi tentang Ibn Taimiyyah dan Tasawuf di atas, dibahas dalam buku Tasawuf Salafi: Rekonstruksi Tasawuf Ibn Taimiyyah. Buku ini juga membahas beberapa pandangan tasawuf dari para Ṣūfī Sunni dan Falsafi dan komentar serta kritik Ibn Taimiyyah atas pandangan mereka. Tema-tema utama tasawuf juga tidak lepas dari pembahasan dalam buku ini. Klik di sini I