Galih Fajar Fadillah*

 

Pernahkah Anda mendengar istilah gething nyanding? Istilah itu bukan hal asing bagi beberapa orang, terlebih orang Jawa. Ungkapan itu dapat dimaknai sebagai peringatan, nasihat ataupun anjuran. Sebagai peringatan gething nyanding memperingatkan kita agar tidak membenci seseorang, karena ketika membenci seseorang justru “alam” mempertemukan kita dengan orang yang kita benci. Seakan-akan alam meminta kita berbaikan dengan orang yang kita benci. Setidaknya memberikan kesempatan kepada kita untuk mengenali lebih dekat terhadap orang yang kita benci. Jika masih saja rasa benci itu bersemayam lantas bagaimana? Pertanyaan ini pernah diajukan mahasiswa ketika ia mendapat dosen pembimbing yang sama sekali tidak dia harapkan untuk membimbingnya. Lantas bagaimana sikap kita? Jika kita membenci seseorang justru kita tidak bisa jauh dari mereka.

Ada beberapa cara yang bisa kita upayakan untuk menghadapi situasi demikian, pertama kita bisa mengupayakan apa yang disebut dengan “berdamai dengan diri sendiri”. Benar, sebelum kita berdamai dengan orang lain, alangkah baiknya kita mencoba mengenali diri kita terlebih dahulu, bisa jadi permasalahan bukan pada orang lain melainkan pada diri kita. Kita berharap pada orang lain agar mewujudkan harapan kita atas jerih payah yang kita lakukan, tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Jika menggunakan salah satu pendekatan konseling, maka kita bisa mengupayakan untuk menurunkan level harapan kita, menurunkan bukan berarti menghilangkan harapan. Contoh, mahasiswa yang ingin memperoleh nilai A+ hampir pada semua mata kuliah dan lulus 8 semester dengan predikat cumlaude tentu hal yang membanggakan banyak orang. Namun jika harapan tersebut justru membuat ia menyalahkan orang lain, dosen pembimbingnya, teman dekatnya, orang tuanya, adiknya dan orang terdekat lainnya akan berakhir mengecewakan, maka tidak ada salahnya menurunkan harapan sesuai dengan usaha yang kita kerjakan

Kedua, dalam dunia psikologi dan konseling, kita dianjurkan untuk melihat permasalahan konseli (klien) secara holistik, bukan sepenggal-penggal, karena jika kita melihat permasalahan konseli sepenggal-penggal kita akan meninggalkan esensi konseli sebagai pribadi yang utuh. Ujung-ujungnya kita akan mudah memberi penilaian terhadap konseli, dikhawatirkan pula mengabaikan potensi konseli sebagai individu yang dinamis.  Sama halnya ketika kita membenci seseorang bisa jadi kita melihat orang tersebut pada bagian yang tidak kita sukai “menempel” pada dirinya. Secara tidak sadar kita melupakan bagian lain yang ada pada dirinya. Pernah seorang mahasiswa bercerita dia tidak nyaman dengan dosen X karena metode belajarnya membosankan, namun di akhir masa studinya justru dosen tersebut yang membantunya lulus dan memberikan nilai maksimal atas studinya. Ketika dia mencoba mencermati dengan hati yang tenang ternyata dosen tersebut juga memiliki kedisiplinan yang tinggi selain metode mengajarnya yang membosankan

Ketiga, kita bisa belajar dari nasihat Imam Ali bin Abi Thalib, sebagai pintunya ilmu pengetahuan beliau, menuturkan “Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja, siapa tahu pada suatu hari kelak, ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekedarnya saja; siapa tahu, pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang kau cintai” . Beliau menasihatkan kepada kita agar bersikap sewajarnya terhadap orang lain, tidak terlalu membenci tidak pula terlalu mencintai. Sejatinya kita memang tidak memiliki apa-apa yang harus benar-benar kita cintai melebihi cinta kita kepadaNya, dan kita pula tidak perlu membenci berlebihan mengingat kita juga bukan manusia tanpa cela.

Keempat, kita bisa belajar mencontoh sikap Nabi Muhammad SAW. Mendengar kisah beliau bergetar hati setiap insan yang beriman, bagaimana tidak dalam diri beliau terdapat uswatun khasanah. Manusia mana yang mendoakan orang yang telah melukai hatinya bahkan fisiknya, memintakan ampunan atas perilaku orang tersebut kepada Allah karena keterbatasan pengetahuannya. Tentu, bukan hal yang mudah ketika kita diremehkan, dihina, diancam bahkan apabila kita diludahi orang lain lantas kita mendoakan kebaikan padanya. Meskipun kita belum bisa menirukan beliau setidaknya kita mencoba untuk bersikap mendekati sikap beliau ketika ada orang yang membenci kita berlebihan. Dengan niat meniru sikap beliau semoga menjadi amal ibadah bagi kita semua.

 

*Dosen BKI FUD IAIN Surakarta

 

Komentar