Di dalam spektrum pemikiran Islam, terdapat dua arus besar yang sering kali diposisikan sebagai antitesis: Tasawuf dan Salafisme. Jika tasawuf berfokus pada dimensi spiritual dan pengalaman batin, Salafisme menekankan pada pemurnian (purifikasi) praktik keagamaan agar kembali ke ajaran yang dianggap otentik seperti yang dipahami oleh salaf al-ṣāliḥ (generasi awal umat Islam). Pertemuan antara dua arus ini melahirkan sebuah kontestasi yang tak berkesudahan, di mana tasawuf dituduh sebagai “ancaman” terhadap kemurnian akidah. Namun, dari perdebatan inilah muncul sebuah fenomena intelektual yang menarik: Neo-Sufisme, sebuah upaya untuk merekonstruksi tasawuf dari dalam agar sejalan dengan prinsip-prinsip Salafi, yang ironisnya dipelopori oleh tokoh yang sering dianggap sebagai musuh utama tasawuf, Ibn Taimiyyah.
Ibnu Taimiyyah: Sang Kritikus yang Merekonstruksi
Ketika membicarakan anti-Sufisme, nama Ibn Taimiyyah (w. 1328 M) hampir selalu menjadi rujukan utama. Ibn Taimiyyah, seorang ulama besar dari Damaskus, adalah seorang intelektual yang memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai disiplin ilmu Islam, termasuk filsafat, teologi, dan tasawuf. Meskipun ia memiliki latar belakang spiritual dan mengapresiasi tasawuf, ia melancarkan kritik tajam terhadap apa yang ia lihat sebagai penyimpangan. Menurutnya, banyak praktik sufi di masanya, seperti istighāṡah (meminta pertolongan) kepada orang yang sudah meninggal, tawassul (perantaraan) kepada auliyā‘ (para wali), dan konsep-konsep mistik seperti waḥdat al–wujūd (kesatuan wujud), telah menyimpang dari ajaran tauhid murni.
Dalam Contemporary Sufism: Piety, Politics, and Popular Culture, Meena Sharify-Funk menjelaskan bahwa kritik Ibn Taimiyyah pada dasarnya adalah serangan terhadap tasawuf filosofis yang ia pandang sebagai kontagion (kontaminasi) ekstra-Islam. Ibn Taimiyyah berargumen bahwa tasawuf yang benar adalah yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, dan ia sendiri adalah seorang muḥsin, seorang yang mencapai derajat iḥsān; sebuah pengalaman spiritual yang tidak bertentangan dengan syariat. Pandangannya ini secara tidak langsung membentuk dasar bagi sebuah counter-narrative (naratif tandingan) yang membedakan antara tasawuf yang otentik (Tasawuf Sunni) dengan tasawuf yang menyimpang (Tasawuf Falsafi).
Tiga Pilar Epistemologi Neo-Sufisme
Dari fondasi kritik Ibn Taimiyyah inilah, sebuah epistemologi baru dalam tasawuf mulai terbentuk. Epistemologi ini, yang menjadi ciri khas Neo-Sufisme, berupaya menyatukan dua dimensi yang sering dianggap berlawanan:
Re-Orientasi dari Teosentrisme ke Tasawuf Qur’ani:
Neo-Sufisme menekankan bahwa sumber utama tasawuf bukanlah pengalaman mistis yang subjektif, melainkan teks-teks sakral (Al-Qur’an dan Sunnah). Ia menolak gagasan bahwa pengalaman spiritual dapat berdiri di atas syariat. Muzakkir, dalam Tasawuf: Pemikiran, Ajaran dan Relevansinya Dalam Kehidupan, menjelaskan bahwa Tasawuf Qur’ani adalah sebuah jalan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan sumber otentik. Hal ini berfungsi sebagai filter yang memisahkan antara praktik yang benar (ḥaqq) dengan praktik yang menyimpang (bid‘ah).
Dari Kesalehan Individu ke Tasawuf Sosial:
Kritik utama Salafisme terhadap tasawuf adalah bahwa ia cenderung pasif dan individualistik, yang membuat para sufi seolah-olah “lari dari dunia”. Neo-Sufisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Ahmad Sirhindi (w. 1624 M) dan Shah Waliullah al-Dehlawi (w. 1762 M), adalah sebuah jawaban atas kritik ini. Mereka berpendapat bahwa puncak spiritualitas bukan hanya fanā’ (peleburan diri dalam Tuhan) yang bersifat individual, melainkan baqā’ (tetap dalam kesadaran Ilahi) yang memungkinkan seorang sufi untuk kembali ke dunia dan berpartisipasi aktif dalam perbaikan masyarakat. Seperti yang dijelaskan dalam Menuju Arah Baru Studi Tasawuf di Indonesia, tasawuf dituntut untuk menjadi lebih humanistik, empiris, dan fungsional. Ini adalah titik temu antara tasawuf dengan aktivisme sosial, di mana takhallī dan taḥallī tidak hanya menjadi urusan pribadi, melainkan sebuah prasyarat untuk berbuat baik (iḥsān) secara kolektif.
Rekonsiliasi antara Syarī‘ah dan Ḥaqīqah:
Tasawuf klasik sering kali membuat pemisahan tajam antara syarī‘ah (hukum lahiriah) dan ḥaqīqah (kebenaran batiniah). Neo-Sufisme, yang dipengaruhi oleh gagasan Ibn Taimiyyah, berusaha untuk mengintegrasikan keduanya. Bagi Neo-Sufi, syarī‘ah adalah jalan (ṭarīqah) yang harus dilalui untuk mencapai ḥaqīqah. Tidak ada ḥaqīqah tanpa syarī‘ah, dan syarī‘ah tanpa ḥaqīqah adalah sebuah ibadah yang kosong. Ini adalah sebuah pendekatan yang holistik, yang menyatukan dimensi lahir dan batin, akal dan hati.
Tasawuf Salafi di Indonesia?
Di Indonesia, perdebatan antara Sufi dan Salafi juga telah melahirkan fenomena unik. Meskipun Salafisme puritan sering kali menolak tasawuf secara total, beberapa kelompok Salafi kini mulai mengapresiasi tasawuf sunni yang berfokus pada pemurnian hati (tazkiyah al-nufūs) dan tidak bertentangan dengan syariat. Mereka melihat bahwa tasawuf yang otentik adalah bagian integral dari ihsan, dan bukan sebuah ajaran yang berdiri sendiri.
Dalam konteks ini, Urban Sufism yang dikaji oleh Muzakkir dalam bukunya Tasawuf, dapat dilihat sebagai salah satu manifestasi Neo-Sufisme. Ia adalah fenomena di mana orang-orang kota yang pragmatis dan rasionalis mencari jawaban atas “kehampaan spiritual” mereka. Mereka tertarik pada tasawuf bukan karena ritual-ritualnya, tetapi karena janji spiritualnya: kedamaian batin (nafs al-muṭmainnah) dan relevansi praktis dalam menghadapi stres dan tekanan hidup. Konsep Rasa Ruhani oleh Iqbal Irham, yang menggabungkan dimensi psikologis dan spiritual, juga mencerminkan semangat Neo-Sufisme. Ia menawarkan sebuah jalan spiritual yang tidak mengabaikan sains atau akal sehat, melainkan mengintegrasikan keduanya.
Sebuah Sintesis yang Menjanjikan
Pertarungan antara Sufi dan Salafi, yang berakar dari kritik tajam Ibn Taimiyyah, pada akhirnya tidak menghasilkan kemenangan mutlak bagi salah satu pihak. Sebaliknya, ia melahirkan sebuah sintesis yang menjanjikan: Neo-Sufisme. Gerakan ini menunjukkan bahwa tasawuf mampu berevolusi dan beradaptasi tanpa kehilangan esensinya. Ia membuktikan bahwa spiritualitas bukanlah pelarian dari syariat, melainkan sebuah cara untuk menghidupkan syariat itu sendiri.
Dengan menempatkan kembali tasawuf di bawah naungan iḥsān yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah, Neo-Sufisme menawarkan sebuah jalan spiritual yang relevan, fungsional, dan humanis. Ia adalah jawaban atas kritik anti-Sufisme, dan sekaligus menjadi jembatan antara dua kutub yang berlawanan. Pada akhirnya, pertarungan antara Sufi dan Salafi adalah sebuah refleksi dari pencarian abadi umat Islam untuk menemukan keseimbangan yang sempurna antara īmān (keyakinan), īslām (praktik), dan iḥsān (penghayatan), sebuah keseimbangan yang hanya dapat dicapai ketika akal, hati, dan tindakan berada dalam satu harmoni yang indah.

