Buku Al-Nubūwwāt al-Musta’nafah karya Al-Zadjālī yang terbit bulan juli 20205 lalu merupakan sebuah intervensi intelektual yang berani dalam studi Salafisme. Ia menggeser diskursus dari perdebatan teologis-doktrinal (misalnya, perdebatan tentang sifat Allah, bid‘ah, dll.) ke ranah analisis genealogis dan epistemologis. Ini adalah kontribusi pentingnya. Namun, seperti semua karya yang membuka jalan baru, ia juga memiliki titik-titik yang dapat diperdebatkan dan dikembangkan dalam penelitian lanjutan.
Tesis Al-Zadjālī dalam bukunya menemukan pijakan kuat dalam beberapa tren studi Islam modern;
- Metodologi Genealogis (Foucault)
Pendekatan Al-Zadjālī sejalan dengan metode genealogis yang dipopulerkan oleh Michel Foucault. Ia tidak bertanya “Apa esensi sejati Salafisme?” melainkan “Bagaimana kondisi historis, politis, dan diskursif yang memungkinkan lahirnya klaim-klaim kebenaran Salafisme?”. Ini adalah pendekatan yang kuat. Ia menunjukkan bahwa Salafisme bukanlah warisan murni yang ditransmisikan secara pasif dari “Salaf,” melainkan sebuah konstruksi aktif yang diciptakan melalui serangkaian tindakan eksklusi, penafsiran, dan monopoli wacana.
- Konseptualisasi Nubuwat Baru
Istilah al-Nubuwwah al-Musta’nafah adalah alat analisis yang menarik. Ia secara efektif menangkap fenomena sosiologis-religius di mana sebuah tradisi penafsiran (madzhab) mentransformasikan dirinya menjadi sumber otoritas quasi-ilahi. Otoritas ini tidak lagi bisa diganggu gugat melalui argumen rasional atau historis, karena ia mengklaim memiliki akses langsung dan eksklusif terhadap “maksud” Tuhan dan Rasul-Nya. Ini paralel dengan analisis para sarjana seperti Talal Asad tentang bagaimana “ortodoksi” diciptakan dan dipertahankan melalui kekuasaan diskursif.
- Pembacaan Kritis terhadap Miḥnah
Penekanan pada peristiwa miḥnah sebagai momen traumatik yang melahirkan identitas Ḥanbalī yang defensif dan eksklusif juga menarik. Sarjana pengkaji sejarah Islam seperti W. Montgomery Watt dan Christopher Melchert telah menunjukkan bagaimana persekusi seringkali justru memperkuat dan memadatkan identitas sebuah kelompok. Al-Zadjālī dengan cerdas menunjukkan bahwa dari trauma inilah lahir “pahlawan” (Aḥmad ibn Ḥanbal) yang kemudian perkataan dan sikapnya disakralkan menjadi standar kebenaran itu sendiri.
Catatan untuk Kajian Lanjutan
Meskipun memiliki kekuatan, beberapa aspek dari argumen Al-Zadjālī ini bisa dipertanyakan dan didiskusikan lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang lebih bernuansa lagi.
- Problem Monolitisasi Ḥanbalī
Salah satu potensi kelemahan dalam buku ini adalah kecenderungan untuk menggambarkan Ḥanbalī atau Ahl al-Ḥadīṡ sebagai sebuah blok monolitik yang secara linear berevolusi menjadi Salafisme. Kenyataannya, mazhab Ḥanbalī sendiri memiliki keragaman internal yang kaya. Sebagai contoh:
Ibn al-Jawzi (w. 597 H): Seorang ulama Ḥanbalī terkemuka yang justru sangat kritis terhadap antropomorfisme (tasybīh) ekstrem di kalangan sebagian pengikut mazhabnya, seperti yang ia tulis dalam karyanya Daf‘ Syubah al-Tasybīh.
Ibn ‘Aqīl (w. 513 H): Tokoh Ḥanbalī lain yang memiliki kecenderungan rasionalis dan bahkan pernah belajar dengan Mu‘tazilah, menunjukkan adanya spektrum pemikiran di dalam mazhab itu sendiri.
Dengan memfokuskan pada satu garis keturunan (Ibn Ḥanbal – al-Barbahārī – Ibn Taimiyyah – Ibn ‘Abd al-Wahhāb), Al-Zajālī tampaknya mengabaikan suara-suara Ḥanbalī lain yang lebih pluralistik.
- Reduksionisme dalam Hubungan Ibn Taimiyyah dan Ibn ‘Abd al-Wahhāb
Menyebut proyek Muḥammad ibn ‘Abd al-Wahhāb sebagai “Ḥanbalī Reduktif” (al-Ḥanbalīyyah al-Ikhtizāliyyah) dari pemikiran Ibn Taimiyyah adalah sebuah penyederhanaan. Meskipun Ibn ‘Abd al-Wahhāb sangat dipengaruhi oleh Ibn Taimiyyah, para peneliti seperti Madawi Al-Rasheed atau Natana DeLong-Bas berargumen bahwa konteks politik lokal Arabia abad ke-18 memainkan peran yang sangat krusial. Proyek Wahhabisme bukan sekadar penerapan teologi Ibn Taimiyyah, melainkan sebuah aliansi politis-religius yang merespons kondisi spesifik di Najd. Fokusnya yang radikal pada takfīr (pengkafiran) atas dasar praktik-praktik yang dianggap syirik adalah sebuah inovasi yang jauh lebih ekstrem daripada apa yang ditemukan dalam karya-karya Ibn Taimiyyah secara umum.
- Minimnya Analisis Komparatif
Tesis Nubuwat Baru akan menjadi lebih kuat jika ditempatkan dalam kerangka perbandingan. Fenomena di mana sebuah kelompok mengklaim monopoli kebenaran dan mensakralkan figur pendirinya bukanlah monopoli Ḥanbalī/Salafī.
Bagaimana fenomena ini jika dibandingkan dengan konsep otoritas Imām dalam tradisi Syī‘ah? Atau dengan proses kanonisasi dan pembentukan kredo dalam sejarah Kristen awal?
Analisis komparatif semacam ini akan mengangkat argumen Al-Zadjālī dari sekadar kritik terhadap satu kelompok menjadi sebuah teori yang lebih umum tentang mekanisme pembentukan dogmatisme agama.
- Pengabaian terhadap Spektrum Salafī Kontemporer
Buku ini cenderung membidik Salafisme dalam bentuknya yang paling keras dan eksklusif. Namun, Salafisme kontemporer adalah sebuah spektrum yang luas, seperti yang ditunjukkan oleh para peneliti seperti Quintan Wiktorowicz atau Joas Wagemakers. Ada Salafi quietist (purist) yang menolak politik, Salafi politis (ḥarakī) yang berpartisipasi dalam pemilu, dan Salafi jihādī. Analisis Al-Zadjālī sangat relevan untuk memahami akar ideologis Salafi Jihādī dan sebagian Salafi politis, namun mungkin kurang presisi jika diterapkan secara menyeluruh pada kelompok Salafi yang lebih apolitis.
Terakhir, Al-Nubūwāt al-Musta’nafah adalah sebuah karya akademis yang provokatif, penting, dan memberikan kontribusi bagi studi kritis pemikiran Islam. Kekuatan buku ini adalah keberhasilannya membongkar klaim-klaim ahistoris Salafisme dengan menunjukkan bagaimana ia merupakan produk sejarah yang sangat spesifik, yang lahir dari trauma, perebutan kekuasaan, dan monopoli wacana.
Meski demikian, kritik akademis lebih lanjut dapat mempertajam argumennya dengan menghadirkan nuansa yang lebih kaya mengenai keragaman internal dalam tradisi Hanbalī.
Menganalisis secara lebih mendalam faktor-faktor sosio-politik spesifik yang membentuk Wahhabisme, di luar sekadar pengaruh teologis. Memperluas analisis ke dalam kerangka komparatif untuk menguji universalitas tesis Nubuwat Baru.
Tesis dari buku ini bukanlah kata terakhir, melainkan sebuah pembuka pintu yang penting bagian kajian salafisme. Ia mengundang para peneliti untuk tidak lagi terjebak dalam perdebatan “apakah Salafisme benar atau salah?”, melainkan untuk mengajukan pertanyaan yang lebih fundamental: “Bagaimana sebuah klaim kebenaran agama diproduksi, dilegitimasi, dan dipertahankan dalam sejarah?”.