Etiskah seorang dosen berkampanye di dalam kelas?
UU No.7 tahun 2017 pasal 280 ayat (1) huruf h yang berbunyi “Pelaksanaan, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Kita tahu Undang-Undang sudah sangat jelas mengatur bagaimana fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan pendidikan tidak boleh dijadikan tempat berkampanye. Akan tetapi, sayangnya, masih saja para pelaku-pelaku kampanye masuk ke dalam institusi pendidikan yang sudah jelas harus steril dari kampanye.
Baru-baru ini kita dengar kasus di UB (Universitas Brawijaya) Malang tentang adanya kedatangan menteri riset dalam acara kuliah tamu dengan tema “Kebijakan kementerian menghadapi era industri” yang dilaksanakan di gedung Samantha Krida UB. Pada saat itu menteri riset dikti memberikan penjelasan dan kemudian menyuruh menscan barcode yang ada di papan layar.
Ternyata isinya tentang prestasi-prestasi dalam pemerintahan Jokowi, secara tidak langsung ini sudah termasuk dalam kampanye padahal undang-undang sudah mengatur agar fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan pendidikan tidak digunakan untuk kampanye. Apakah mahasiswa hanya diam? Dalam acara tersebut juga mahasiswa banyak yang “bergemuruh” akan tetapi tidak berani memprotes secara langsung.
Menteri yang berkampanye tidak melanggar hukum. Hal ini karena dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum yaitu: pasal 299 ayat (3) UU berbunyi (1) Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. (2) Pejabat negara lainya yang berstatus anggota partai politik mempunyai hak melaksankan kampanye. (3) Pejabat Negara lainya yang bukan berstatus sebagai anggota patrai politik dapat melaksanakan kampanye, apabila yang bersangkutan sebagai : a. Calon presiden atau calon wakil presiden; b. Anggota tim kampanye yang sudah di daftarkan ke KPU; atau; c. Pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
Meski secara hukum boleh, namun secara etika tidak baik, karena bagaimanapun para menteri adalah pejabat negara yang fasilitasnya berasal dari pajak rakyat. Ditakutkan akan ada penyalahgunaan fasilitas negara. Hal tersebut kurang lebih juga berlaku untuk para kepala daerah.
Lantas bagaimana dengan dosen ASN yang melakukan kampanye di kelas? Saya pernah menemukan dosen yang menjelaskan materi dan pada saat kegiatan belajar mengajar juga sambil menjelek-jelekan capres tertentu, dianggap kurang tegas dan lain sebagainya. Di dalam kelas, pada saat kegiatan belajar mengajar, yang seharusnya dosen mengajarkan materi kuliah malah membuat kelas jadi terganggu dan tidak kondusif.
Bahkan, bukan hanya dalam satu jurusan ia berkampanye tapi juga di jurusan lain. Pada akhirnya ilmu yang diajarkan pun rasanya tidak dapat diserap dengan baik.
ASN memiliki dasar hukum yang jelas yang diatur dalan Undang-undang dan peraturan pemerintah. Pada UU No.5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara, pasal 2 huruf f telah diatur bahwa “Setiap pegawai ASN tidak berpihak dalam segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan-kepentingan siapapau, hal ini dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) yang berbunyi “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi dari semua golongan dan partai politik.
Bisa dikatakan bahwa jika terjadi pelanggaran dan dilaporkan akan menyebabkan pemberhentian sebagai ASN dan dipecat dari institusi tersebt jikapun belum ASN atau masih dosen luar biasa bisa kena sanksi.
Seharusnya menjadi seorang pengajar/dosen harus bijak, fokus mengajar, membimbing mahasiwa bukan malah keluar dari aturan dengan terlibat politik praktis.
*Mahasiswa Manajemen Dakwah dan Peserta Kelas Literasi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (FUD) IAIN Surakarta