Islamsantun.org – Nggak perlu ditutup-tutupi, saya memang mengidolakan Kang Jalal. Kamu pun nggak perlu usil menyayangkan mengapa saya mengidolakan dia. Toh selama ini saya juga nggak pernah iseng menyayangi, eh menyayangkan kamu mengapa mengidolakan Ko Felix atau bahkan Soni Eranata. Jika berat sekali menghargai pilihan orang, senggaknya kamu sadar bahwa kita sama-sama punya kepala dan isinya tapi ketebalan rambut bisa bercorak-beragam. Eh…gak nyambung!
Mengulang apa yang sebenarnya sudah jelas, kegandrungan saya pada Kang Jalal bukan karena kesyiahannya. Toh Cak Nur, Cak Nun, Gus Dur juga saya idolakan dalam ranah dan takarannya masing-masing. Jadi, kita jalan sajalah dengan tokoh idolanya sendiri-sendiri. Yang jelas, kalo kita sama-sama lapar, yang kita cari sama: nasi! Meski hidup memang bukan cuma soal nasi. Apa beda kita sama hewan kalo yang kita bincang cuma soal isi perut.
Pertama, kekaguman saya pada Kang Jalal terutama pada kepiawaiannya bertutur lisan dan merangkai kata dalam tulisan. Orasinya sama bagusnya dengan goresan penanya. Singkirkan dulu alergimu terhadap Syiah. Ambil satu buku karya Kang Jalal. Terserah yang mana. Kalo bingung, saya kasih yang ini: Meraih Kebahagiaan. Atau satunya lagi: Tafsir Kebahagiaan. Mau yang lebih berat? Nih: Psikologi Agama. Baca, dan buktikan kata-kata saya! Kalo kamu nggak menemukan bukti, berarti ya selera kita memang beda. Ya sudah! Soal selera memang gak harus sama. Tapi seenggaknya, yang satu selera sama saya soal kefasihan lisan dan kepiawaian menulis Kang Jalal jumlahnya nggak sedikit.
Saya kutipkan dari buku Psikologi Agama: “Agama adalah kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat; ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari–di rumah, kantor, media, pasar, di mana saja. Begitu misterius; ia menampakkan wajah-wajah yang sering tampak berlawanan–memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan superstisi; menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri ruhani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.” Untaian kata yang menawan, bukan? Jika kamu jawab bukan, saya mungkin percaya kamu nggak punya sisi di mana rasa tentang keindahan berbahasa bersemayam.
Kedua, lewat status ini saya ingin gegayaan menghimbau orang-orang yang mengambil dari Kang Jalal bukan cuma sari-pati pemikirannya, tapi juga mengikuti pilihannya menjadi Syiah. Meski secara amaliyah-fiqhiyah saya agak ragu Kang Jalal seorang Syiah yang kaffah. Nyatanya ada orang yang ngaku sebagai “syiah”-nya atau pengikutnya Kang Jalal, dan terang-terangan ngaku jadi orang Syiah, tapi cara atau pun pendekatan mereka “memeragakan” kesyiahannya, hemat saya, justeru nggak sesuai dengan seruan Kang Jalal sendiri tentang “Mazhab Ukhuwah”.
Antara Sunni dan Syiah jelas beda. Kalau sama, nggak bakal dikasih nama yang berbeda. Beda agama? Bukan. Beda mazhab, menurut saya dan orang-orang seperti saya. Di antara perbedaan antara keduanya adalah pandangan tentang sahabat. Kita tau, Syiah bersikap kritis bahkan terhadap beberapa sahabat senior sekelas tiga khalifah sebelum Ali. Juga terhadap Siti Aisyah. Himbauan saya: orang-orang Syiah nggak perlulah secara demonstratif di hadapan kaum mayoritas Sunni, terutama yang awam, mengkritik para sahabat senior tersebut, terlebih sampai mencelanya. Bukankah Kang Jalal sendiri nulis buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih? Perbedaan pandangan seputar beberapa sahabat itu jelas perkara furu’iyah, bukan ushul. Buat apa mempertontonkan perbedaan furu’iyah dengan mengorbankan kohesi sosial dalam bangunan ukhuwah?
Nggak bolehkah membawa sahabat Nabi ke “laboratorium” sejarah untuk ditilik-ulang secara historis? Boleh saja! Tapi bukan di tempat terbuka di depan khalayak mayoritas Sunni terlebih awam. Di mana? Di ruang-ruang kajian dan diskusi, di mimbar-mimbar akademik, di seminar-seminar ilmiah; semua tentu saja mestinya di bawah payung besar kesantunan dan ukhuwah. Dari Mesir yang Sunni pun pernah ada Mahmud Abu Rayah (1889-1970), menulis buku Adhwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, di dalamnya ada bahasan tersendiri tentang Abu Hurairah dengan nada mengkritisi.
Tapi ya itu tadi, harus dibedakan antara kritik historis dan mencela secara personal. Kenapa nggak meniru Kang Jalal yang meski acap mengkritisi satu-dua nama sahabat, tapi nama yang sama kerap disebut dalam beberapa karyanya dalam nada dan konteks yang positif. Baca antara lain tulisannya “Cambuk Keadilan Umar”. Di situ Kang Jalal antara lain mengutip kata-kata Khalifah Umar ke ‘Amr bin ‘Ash: “Wahai ‘Amr, mengapa kauperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?” Kata-kata Sayyidina Umar ini, kata Kang Jalal, baru digunakan di Eropa pada Revolusi Prancis dan digunakan di Amerika Serikat ketika Declaration of Independence ditulis.
Satu lagi, mengaitkan Kang Jalal hanya dengan Syiah adalah kekeliruan. Baca antara lain Islam Alternatif dan Islam Aktual. Akan kita temukan tema dan keberpihakan Kang Jalal pada kaum tertindas (mustadh’afin). Ini juga salah-satu kekaguman saya pada Almarhum. Kekaguman mana mengkristal pada salah satu buku saya: Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan. Sayang, tidak seperti buku-buku Kang Jalal yang selalu meledak di pasaran, buku saya boro-boro meledak, meletup kecil pun nggak. Hiks..
Maap berkepanjangan. Ini tak lain tak bukan, ungkapan kekaguman saya pada Kang Jalal, dan di saat sama sentuhan sayang saya pada saudara-saudara saya yang Syiah tapi kurang pandai menempatkan diri dalam memeragakan dan mengekspresikan kesyiahannya sehingga kerap-kali menimbulkan ketegangan.