Fahmi Afif*

Jagad indonesia sedang ramai dengan kehendak dan fikirannya masing – masing, masih dengan politik. Tagar dan postingan cukup beragam mulai dari tagar #Jokowisudahmenang, #CybermuslimrussianforprabowoweSOS, dan #INAElectionObserversSOS dan lain sebagainya.

Obrolan para elit pun masih terdengar di televisi. Perdebatan di sosmed semakin memanas saat kesibukan KPU menjadi perhatian sentral. Yang menarik, justru beberapa orang dengan sangat berani mengatakan 01 + 02 = 3 sila, persatuan indonesia.

Kenapa dikatakan “sangat berani”?
Karena disaat saling klaim kemenangan kampanye, persatuan seperti itu hanya akan dianggap orang lemah. Tapi bagi saya, apapun hasilnya nanti kampanye itu menunjukkan kedewasaan berpesta demokrasi. Ia sudah lawan gengsi dalam hatinya sendiri berupa “menang jumawa, kalah tidak legawa”.

Yang mengampanyekan itulah pemenang sejati. Karena semua lahir dan akan kembali pada keimanannya, keimanan “seluruhnya sudah ditetapkan di azal”. Di atas people power, di atas serverSOS, dan di atas kekuatan elit, ada kekuatan sesungguhnya, yakni kehendak dan kekuasaan Tuhan.

Mau bagaimanapun usaha yang dilakukan hanya akan menguras dan buang – buang tenaga.

Kenapa demikian..?
Kita memang cenderung menjadi budak politisi akibat menghamba pada nafsu kita sendiri. Manusia politik, politisi, dan budak politisi sekilas sama. Tapi esensinya sangat berbeda jauh.

Manusia politik adalah ia yang selalu mengamati dan memperbaiki kebijakan publik hingga pada puncaknya tak ada pihak yang dirugikan, siapapun itu.

Politisi selalu konsen pada kemenangan dan perebutan kekuasaan. Bagaimanapun caranya ia harus berada di lingkaran kuasa. Entah berniat baik atau tidak.

Sedangkan budak politisi adalah ia yang hanya ber-euforia saat pilpres, pileg, pilkada, dan pemilihan yang lain. Mereka berfikir partai mereka lah yang paling baik dan hanya calon mereka lah yang pantas memimpin. Namun, setelah usai, menang atau kalah, pengamatan dan perbaikan kebijakan publik tidak tahu menahu. Kata orang jawa : kono – kono.

Harusnya kita tidak sepolos itu, suara yang kita berikan tidak gratis. Selain ada perbaikan dari kita sendiri yang kita bisa, harus ada pengawasan dan perbaikan terhadap kebijakan publik untuk kemaslahatan bersama.
Bagaimana jika batu bara dan PLTU kapitalis sudah merenggut nyawa proletar dengan seenaknya saja ?. Manusia politik atau budak politisi lah jawabannya.

Terakhir, sejatinya manusia tidak bisa menolak dan menghindar dari politik. Tinggal ia pilih, mau menjadi manusia politik, politisi, budak politisi, atau bahkan korban politik/politisi.

Kita bebas memilih.

Tabik!

*Sedang nyantri di HM antara Lirboyo Kediri

Komentar