Krisis ekologi yang melanda dunia dewasa ini bukan sekadar persoalan teknis pengelolaan lingkungan, melainkan juga berakar pada cara pandang manusia terhadap alam.

Relasi manusia dengan lingkungannya sesungguhnya dipengaruhi oleh sistem nilai, termasuk ajaran agama. Di sinilah perdebatan muncul: apakah agama menjadi sumber solusi ekologis atau justru bagian dari masalah yang memperparah krisis?

Pertanyaan mendasar ini kemudian dipicu oleh karya Lynn White pada 1967, The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, yang memantik diskusi panjang tentang peran agama dalam memicu lahirnya kerusakan lingkungan modern. Lynn White menegaskan bahwa ajaran dominasi manusia atas alam menjadi sebab utama krisis lingkungan dan eksploitasi alam.

Paham antroposentrisme menjadikan manusia sebagai “tuan” dan alam atau lingkungan sebagai objek atau instrumen untuk kesejahteraan manusia. Meskipun tudingan ini terutama ditujukan pada agama Yahudi dan Kristen, dampaknya secara tidak langsung juga berimbas pada agama-agama lain. Tulisan Lynn White dapat menjadi inspirasi untuk mempertanyakan doktrin dan praktik keberagamaan dalam memposisikan serta berhubungan dengan alam.

Agama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.” Dalam bahasa Sanskerta, agama berasal dari kata “A” dan “Gama”. “A” berarti tidak, dan “Gama” berarti rusak.

Dengan demikian, agama dipahami sebagai ajaran yang berisi norma dan nilai untuk mengikat manusia agar kehidupan terhindar dari kerusakan. Semua agama menekankan nilai keadilan, kasih sayang, dan pelestarian lingkungan. Islam, misalnya, menegaskan pentingnya keseimbangan hidup: keseimbangan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Buku karya Amrizarois Islamil, Perspektif Agama-Agama: Manifestasi Etika Lingkungan dalam Ketuhanan menjelaskan lebih detail bagaimana ajaran agama memandang alam. Agama menjadi pintu kesadaran manusia sekaligus pembentuk paradigma masyarakat.

Otoritas kebenaran kitab suci tidak pernah diragukan dalam membentuk pandangan umat beragama terkait interaksi dengan alam.

Buku ini juga menegaskan bahwa problem lingkungan tidak akan selesai tanpa peran agama. Pendekatan teknokratik, politik, hukum, maupun sosial-ekonomi tidak cukup menjadi solusi utama. Masalah lingkungan harus diselesaikan dengan pendekatan religius. Agama harus hadir sebagai pondasi kesadaran bahwa tujuan utamanya adalah melestarikan kehidupan dan lingkungan.

Agama Berperan Merusak atau Menjaga Alam?

Tulisan Seyyed Hossein Nasr, intelektual Muslim kelahiran Iran, berjudul Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968) membahas sebab-sebab krisis ekologi modern. Ia menyebutkan dua faktor penting: desakralisasi alam dan sekularisasi pengetahuan tentang alam.

Desakralisasi muncul dari paham triumfalistik modernitas—yakni sikap angkuh yang merasa benar dan unggul dibanding yang lain—serta pandangan materialistik. Kedua hal ini mendorong manusia untuk mendominasi alam.

Nasr menjelaskan bahwa sains dan teknologi modern telah menghilangkan kesakralan alam, menjadikannya profan. Sains modern turut mempercepat sekularisasi dan menjauhkan manusia dari makna spiritual alam. Ia berpendapat, agama bukan penyebab utama krisis ekologi sebagaimana dikatakan Lynn White. Justru pemahaman agama yang terjebak dalam sekularisasi atau modernisasi semata yang melahirkan krisis teologis.

Hakikat agama, menurut Nasr, adalah pengetahuan tradisional. Jika pengetahuan ini direvitalisasi, maka alam akan kembali disakralkan.

Tulisan White dan Nasr menunjukkan bahwa baik Kristen, Islam, maupun agama lain menghadapi tantangan modernisasi atau tetap setia pada perspektif tradisional. Keduanya memberikan analisis awal penting tentang peran agama dalam ekologi modern. Agama dapat menampilkan wajah yang berbeda-beda: bila disalahpahami dan dipolitisasi, ia bisa menjadi musuh alam; tetapi bila ditafsirkan secara kontekstual, progresif, dan berorientasi pada keberlanjutan hidup, agama menjadi sahabat alam.

Hakikat semua agama sejatinya menekankan keadilan dan keseimbangan. Perbedaan muncul karena cara manusia memahami dan mengamalkan agama itu sendiri.

Dari Krisis Moral Umat Menjadi Krisis Iklim

Krisis iklim bukan hanya persoalan ekologi, tetapi juga persoalan moral dan spiritual. Suhu bumi telah meningkat sejak awal 1990-an akibat ulah manusia yang berperilaku merusak. Seyyed Hossein Nasr dalam The Encounter of Man and Nature (1968) menyebut dominasi manusia atas alam serta sekularisasi sains dan teknologi modern sebagai penyebab utama runtuhnya keseimbangan ekosistem. Industrialisasi dan kapitalisasi semakin memperparah pemanasan global melalui polusi udara, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem.

Joseph Fourier pada 1824 telah menjelaskan efek rumah kaca (greenhouse effect) sebagai akibat perubahan iklim yang dipicu oleh manusia. Penggunaan bahan bakar fosil secara masif sejak Revolusi Industri abad ke-18 melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Karena tidak terserap tumbuhan, karbon menumpuk dan panas terperangkap.

Dampaknya adalah kenaikan suhu bumi secara global. Akibatnya, terjadi pencairan es kutub, kenaikan volume air laut, kepunahan spesies, perubahan siklus cuaca, hingga meningkatnya risiko bencana seperti badai, banjir, longsor, dan kebakaran hutan.

Buku Islam and Ecology: A Bestowed Trust karya Richard C. Foltz, Frederick M. Denny, dan Azizan Baharuddin menegaskan bahwa agama memiliki peran penting dalam menumbuhkan etika manusia terhadap alam di abad ke-21. Agama tidak hanya berhubungan dengan teologi, tetapi juga praktik keberlanjutan yang berdampak jangka panjang bagi lingkungan.

Krisis iklim tidak bisa diselesaikan hanya oleh ilmuwan atau negara. Pemuka agama perlu memberi respons moral dan mengajak umat mengurangi dampak pemanasan global. Lembaga dan komunitas keagamaan harus mengambil peran nyata dalam transformasi ekoteologis.

Pendidikan agama pun perlu diarahkan untuk menanamkan kesadaran ekologis di kalangan umat. Kegiatan keagamaan sebaiknya berkontribusi pada pelestarian lingkungan: panitia hari besar dan tempat ibadah dapat menyediakan fasilitas pengelolaan sampah, melakukan gerakan penanaman pohon, dan menggalakkan aksi hijau.

Seminar, konferensi, maupun diskusi ilmiah lintas agama juga harus menghasilkan gagasan konkret untuk menjawab problem lingkungan berbasis nilai spiritual dan moral.

Komentar