Suka dengan kata-kata indah? Senang dengar petuah motivator? Merasa memperoleh validasi setiap mendengar nasihat motivator? Coba pikirkan ulang. Dalam tulisan ini saya hendak membuat anda berpikir ulang pada lelucon itu dengan dasar pemikiran tokoh filsafat bernama Slavoj Zizek.
Slavoj Zizek, sosok yang konon dijuluki seorang filsuf paling berbahaya di dunia barat, adalah pribadi yang pemikirannya kadang kontroversial. Butuh waktu untuk kita mampu mencernanya. Tidak sebentar tetapi lama. Lama dalam artian sampai pada momen di mana peristiwa atas gambaran pemikirannya itu muncul dalam kenyataan.
Beberapa tahun kiprah Zizek semakin mencuat. Penyebabnya adalah dia melakukan debat terbuka melawan Jordan Peterson, seorang penulis, psikolog, sekaligus komentator politik. Debat Zizek dan Peterson bahkan dikatakan sebagai debat terseru setelah debat antara Foucalt dan Chomsky pada tahun 1971.
Salah satu pemikiran kontroversial Zizek, yang tentu disampaikan pula pada debat itu untuk menyerang Peterson, adalah dia tidak suka pada kata-kata motivator. Geli dan membosankan, atau dalam bahasanya yang keras bahkan dikatakan “memuakan” olehnya.
Kata-kata motivator itu jika diibaratkan obat, berdasarkan asumsi dari pendapat Zizek, itu adalah obat temporer. Obat yang hanya menyembuhkan kita beberapa saat sebelum akhirnya kita sadar bahwa kita masih sakit. Sialnya, karena kita percaya pada obat itu kita malah jadi sakit dua kali. Sudah tidak sembuh, waktu kita juga terbuang untuk berhalusinasi beberapa saat bahwa kita itu sudah sembuh.
Sebagai contohnya, menurut Zizek, adalah kata-kata motivasi yang mengatakan “tenang saja, sehabis lorong yang gelap itu kita pasti akan bertemu dengan cahaya”. Kata-kata itu membuat kita berbunga-bunga. Perjuangan kita seakan luar biasa dan harus dilakukan seperti itu terus. Jangan berupaya untuk mencoba cara lain, cara itu saja, yang penting sabar. Kita juga dipaksa yakin hal yang kita lakukan itu tidak sia-sia. Padahal, seiring berjalannya waktu, hari demi hari, lewat berbulan-bulan, kita tahu bahwa cahaya yang dijanjikan itu tidak tahu kapan munculnya.
Zizek kemudian mencoba memutarbalikan omong kosong motivator itu dengan jawaban satirenya “ya, mungkin kamu benar, nantinya akan ada cahaya di ujung lorong yang gelap itu. Tetapi cahaya itu adalah cahaya lampu kereta api yang datang dari arah yang berlawanan dan kemudian menabrak kita”.
Jawaban satire itu adalah upaya Zizek untuk mengingatkan kita bahwa ancaman yang ada saat ini bukanlah kepasifan, melainkan aktivitas semu, dorongan untuk seolah-oleh “bersikap aktif”, untuk seaka-akan “berpartisipasi”, yang nyatanya itu dilakukan hanya untuk menutupi kehampaan pada upaya-upaya yang sedang kita lakukan.
Teknik Zizek untuk membuat kita ‘makdeg’ sadar itu memang teknik andalannya. Teknik yang biasa disebut sebagai counter-intuitive. Atau sebuah cara berpendapat dengan simpulan berbeda dari apa yang diharapkan oleh umum. Umumnya kata-kata motivator dilahap tanpa dicerna oleh awam. Oleh Zizek kita dibuat berpikir ulang dan berani mencoba menentang itu agar kita kritis serta bisa melakukan hal lain yang lebih besar.
Oleh sebab itu, pada hal-hal yang kita bisa upayakan batul dengan cara yang lain, jangan diam dan monoton. Apalagi justru terlena pada keyakinan akan hal-hal yang kita tahu kita sendiri sudah lelah meyakininnya.
Jika lorong itu gelap maka berusahalah agar kita mencari jalan lain, jalar keluar yang berbeda, atau mungkin lebih bersemangat untuk membuat yang gelap itu menjadi terang daripada menunggu terang itu datang dengan sendirinya. Bukan malah pasrah dan tunduk pada keyakinan palsu dengan berjalan pelan-pelan sembari berharap cahaya akan muncul dan ada di ujung lorong.