Pendemi Corona yang menyebar seluruh dunia telah melahirkan keterkejutan budaya (cultural shock) dan ketegangan sosial (social contraction) di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi karena pandemi Corona merupakan peristiwa yang benar-benar baru, atau pengalaman baru (new experience) yang dialami masyarakat dunia. Fenomena penyebaran virus memang sesuatu yang biasa terjadi, bahkan selama 70 tahun terakhir para ahli telah meneliti berbagai berubahan virus Corona yang menjadi induk dari Covid-19 yang sedang menjadi pandemi.

Namun demikian, kemunculan dan penyebaran virus Corona-19 dan dampak yang ditimbulkan sepertinya terjadi di luar perkiraan para ahli. Akibatnya penyebaran Covid-19 telah menimbulkan kerusakan tatanan sosial, ekonomi dan budaya pada masyarakat dunia. Hampir seluruh dunia panik dan bingung mengantisipasi dan menanganai penyebaran Covod-19. Negara-negara maju di Eropa dan bahkan negara super power AS mengalami kedodoran dalam menangani penyebaran wabah Corona.

Dalam konteks Indonesia, ada fenomena menarik yang muncul akibat penyebaran wabah Covid-19. Di satu sisi muncul berbagai gerakan sosial positif yaitu gerakan peduli dan berbagai pada sesama, berbagai kreasi inovatif untuk bertahan dari dampak pandemi Covid baik yang bersifat sains maupun sosio-kultural. Di sisi lain muncul fenomena kontestasi sosial dalam masyarakat yaitu terjadinya benturan dan ketegangan antara kelompok sosial maupn individu yang merepresentasikan kelompok sosial tertentu.

Untuk melihat kontestasi sosial masyarakat di era pandemi ini, bisa merujuk pada pemikiran sosiologi klasik August Comte. Menurut August Comte (1824) evolusi sosial masyarakat terjadi pada tiga fase yaitu; pertama, fase teologis dimana manusia menyandarkan hidup pada kesadaran teologis, percaya pada hal-hal yang bersifat supranatral, mistik dan kekuatan adikodrati. Fase ini terbagi dalam tiga fase yaitu; fetisisme, polytheisme dan monotheisme.

Kedua fase metafisik, suatu fase yang sudang mulai menggunaan akal budi untuk melihat dan menganalisaa fenomena alam. Fase ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Manusia menganggap bahwa pikiran bukanlah ciptaan zat adikodrati, yang ada dengan sendirinya, tetapi merupakan ciptaan “kekuatan abstrak” yang ada dan melekat dalam diri seluruh manusia yang disa dikembangkan untuk menciptakan semua fenomena.

Ketiga, fase positivistik. Pada tahap ini pikiran manusia tidak lagi digunakan mencari ide-ide absolute, misalnya menjawab pertanyaan siapa yang menjadi penyebab munculnya fenomena, siapa yang menciptakan alam semesta. Pemikiran manusia pada fase ini mulai mencari dan menggali hukum-hukum sebab-akibat atas kemunculan fenomena, mengamati, menganalisa, mempolakan dan mendata berbagai fenomena. Tahap ini ditandai adanya kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Era inilah yang melahirkan science dan tehonologi yang dikenal dengan era modern.

Mrujuk pada teori evolusi sosial Comte, maka ketiga fase itu saat ini ada di Indonesia. Artinya, masyarakat fase teologi, metafisik sampai yang positivistik semua hidup pada zaman dan ruang yang sama, dan masing-masing melakukan interaksi secara internal (antara komunitas yang satu fase) dan eksternal (antar komunitas yang berbeda fase). Masyarakat fase teologi dengan segala fasenya ini sekarang melakukan interkasi dengan masyarakat yang positifisik dan metafisik, sehingga terjadi hubungan saling mempengaruhi antara komunitas dari berbagai fase tersebut.

Proses iteraksi antara fase masyarakat inilah yang membuat karakteristik sosiologis bangsa Indoensia menjadi unik dan spesifik, karena karakteristik masing-masing fase menjadi kabur. Masyarakat positifistik Idonesia tidak sama degan masyarakat positividitik Barat sebagaimana yang dikonstruksi oleh Comte. Pada moment dan situasi tertentu, masyarakat positivisitik Indonesia bisa berubah menjadi masyarakat teologis atau metafisik. Demikian juga sebaliknya, masyarakat teologis bisa berubah menjadi metafisik atau positivistik.

Dalam suasana pandemi Covid-19 ketiga fase sosial masyarakat sedang berkontestasi. Masing-masing menanamkan pengaruh dan menarik simpati publik untuk menghadapi wabah Corona. Masyarakat teologis menawarkan cara-cara mistis spiritual seperti dzikir, doa’a, ruwatan dan berbagai ritual lainnya sebagai cara untuk mengatasi penyebaran Corona. Dengan cara ini mereka menolak berbagai prosedur dan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh masyarakat positivisitik yang menawarkan cara-cara saintific dan rasional untuk melawan wabah Covid-19.

Benturan paradigma antara masyarakat teologis dengan positivisitik dalam menghadapi wabah Corona ini kemudian memunculkan ketegangan pada tataran realitas sosial, sebagaimana terlihat pada pembangan masyarakat pada aparat atas peraturan PSBB dan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai representasi masyarakat positivisitik. Ketegangan antara seorang habib dengan satpol PP, ceramah provokatif para ustadz untuk tetap melaksanakan ibadah dengan melanggar protokol kesehatan adalah bentuk terjadinya benturan dan kontestasi antar fase sosial masyarakat yang ada di Indonesia. Benturan ini menjadi semakin kuat dan kompleks dengan masuknya kelompok metafisik yang dengan logika dan kepentingannya memanfaatkan ketegangan antara masyarkat teologis dan positivistik.

Terjadinya ketegangan antara fase sosial dalam merespon kasus corona ini cukup menjelaskan terjadinya perbedaan konstruksi sosial anatara masyarakat Barat dengan Indonesia. Pada masyarakat Barat, fase sosial berjalan secara homogen dan linier. Artinya, masing-masing fase hidup dalam ruang dan waktu yang sama dan mengalami transformasi secara bersama untuk berubah menuju fase berikutnya. Perubahan dari satu fase ke fase berukutnya terjadi secara bersama dan homogen. Oleh karenanya ketika masuk pada fase positivisitik, maka masyarakat metafisik, apalagi teologis sudah hilang, sehingga yang ada adalah masyaratakat positifisitik dengan segala ciri, karakter, perilaku dan budayanya.

Karenaa masyarakat Barat adalah masyarakat yang homogen, berada pada fase positifisitik-modern, maka teori-teori sosial yang dibangun berdasarkan pada fondasi, asumsi dan konsep modern yang rasional positivisitik. Dengan demikian jelas tidak kompatibel untuk dijadikan pisau analisis, pijakan kebijakan atau diterapkan di Indonesia secara apa adanya. Karena konstruksi sosiologisnya berbeda dengan masyarakat Indonesia yang heterogen.

Berkaca dari realitas sosial yang terjadi saat ini, rasanya perlu menggali dan mengekspolorasi berbagai kecerdasan lokal (local genius) dan kearifan local (local wisdom) yang dimiliki oleh bangsa ini sebagai basis membangun teori sosiologi untuk menjawab berbagai ketegangan yang ada. Hal ini diperlukan karena ternyata konsep dan teori sosiologi Barat tidak sesuai (kompatibel) dengan konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang beragam.

Perisitiwa pandemi Corona merupakan momentum yang tepat untuk melakukan idegeneusasi teori sosiologi Nusantara. Ini bukan berarti harus menolak teori-reori Barat Modern tetapi menjadikan teori Barat sebagai referensi untuk melakukan scientifikasi terhadap falsafah, nilai-nilai dan pemikiran yang ada dalam local wisdom dan local genuis Nusantara. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para winasis, ulama dan intelektual yang menjadi leluhur bangsa ini.****

Komentar