Diantara kehebohan sebagai dampak dari menyebarnya Covid-19 yang begitu cepat, melewati batas-batas negara dan benua adalah adanya fatwa yang dikeluarkan beberapa negara Islam, baik di negara-negara Arab maupun di luar negara Arab untuk “meniadakan” sementara salat jama’ah dan bahkan salat Jumat. Di Arab Saudi misalnya, Ha’iah Kibar Ulama’, sebagai lembaga yang sah dan kredibel dalam fatwa keagamaan di Arab Saudi mengeluarkan fatwa untuk “meniadakan” salat Jum’at dan diganti salat Dzuhur, “meniadakan” salat jamaah di masjid dengan tetap mengumandangkan adzan.

Para muazin diminta menambahkan kalimat “Shallu Fi Buyutikum” (Salatlah di rumah-rumah kalian) di akhir kalimat adzan yang biasa dikumandangkan sebagai pertanda bahwa umat muslim diminta salat berjamaah di rumah masing-masing. Hal serupa terjadi juga di negara-negara Islam lainnya seperti Kuwait, Aljazair, Maroko dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa yang sama melalui Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi terjadi Wabah Covid-19.

Tulisan ini akan sedikit membahas respons atas fatwa yang ada di berbagai negara tersebut yang ternyata tidak semua menyetujuinya. Sebagian kalangan yang menolak fatwa tersebut mayoritas mengaitkannya dengan masalah “kembali pada Allah”, “mendekatkan diri pada Allah”, “bertawakkal pada Allah”, ataupun pertimbangan “tipisnya iman”, dan “mulai meragukan ketauhidannya”. Tanpa mengurangi rasa hormat pada sebagian kalangan tersebut, saya yakin seluruh ulama yang terlibat secara langsung dalam keluarnya fatwa bukanlah para ulama yang diragukan keimanan dan ketauhidan nya, ataupun diragukan rasa tawakkalnya pada Allah Swt.

Karena fatwa itu terkait dengan masalah hukum, maka tulisan ini akan sedikit menguatkan atau memberikan sedikit ulasan pentingnya fatwa tersebut. Dalam wacana ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, kita mengenal ada kaidah mendasar yang terkait dengan masalah kondisi darurat, yaitu kaidah: Adh-Dhararu Yuzalu (الضرر يزال), bahwa kerusakan itu harus dihilangkan, yang diturunkan dari hadis yang sangat masyhur: لا ضرر ولا ضرار. Hadis ini kurang lebih bermakna bahwa kita diharamkan membuat kebinasaan dan kerusakan pada diri sendiri dan menimbulkan kebinasaan dan kerusakan pada orang lain.

Jika dikaitkan dengan Covid-19, maka sebenarnya haram bagi yang sehat menjatuhkan dirinya pada kebinasaan dengan membiarkan dirinya terbuka peluang lebar tertular oleh orang yang sudah terinfeksi virus, dan diharamkan untuk yang sudah terinfeksi atau kemungkinan besar terinfeksi menjadikan orang lain tertular virus yang dibawanya. Dan jika masjid menjadi salah satu tempat yang paling sering dijadikan tempat berkumpul dan berinteraksi oleh umat Islam; setidaknya lima kali dalam sehari, dan semakin banyak jumlah yang berkumpul saat salat Jumat, maka fatwa di atas memiliki landasan rasional dan pembenar yang sangat kuat. Dengan mengeluarkan fatwa tersebut, setidaknya para ulama telah memberikan dukungan kuat pada pemerintah untuk meminimalkan jumlah korban, meminimalkan lokasi penyebaran dengan meminimalkan kontak langsung antar warga (social distancing).

Dalam kajian Ushul Fiqh, darurat selalu dikaitkan dengan ancaman terhadap jiwa. Virus Corona atau Covid-19 ini jelas telah merenggut banyak jiwa di berbagai belahan dunia, dan bahkan info terkini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan persentase korban tertinggi di dunia akibat virus ini. Tentunya penyebaran virus corona ini, dengan melihat pada dampaknya, sudah mencapai tahap darurat. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warganya dari kebinasaan akibat virus ini, maka dukungan ulama melalui fatwa tersebut jelas memiliki landasan yang sangat kokoh.

Apabila dihadap-hadapkan antara fatwa ‘meniadakan’ Jumat dan jamaah di masjid dengan perintah salat Jumat dan berjamaah di masjid, maka kewajiban melindungi jiwa (حفظ  النفس) yang menjadi salah satu tujuan ditetapkannya syari’at (مقاصد الشريعة)  tentu menjadi dasar keluarnya fatwa itu harus diutamakan dibandingkan perintah salat berjamaah di masjid yang dalam pandangan ulama pun masih diperdebatkan apakah itu merupakan hal yang wajib, fardhu kifayah ataupun sunnah muakkadah.

Meskipun demikian, harus diperhatikan kaidah الحكم يدور مع علته وجودا وعدما،  fatwq itu harus diterapkan sesuai dengan waktu, tempat dan kondisi yang melingkupinya, tidak memberlakukannya secara umum. Pada masyarakat perkotaan yang padat penduduk dengan interaksi yang kompleks, tentu akan sedikit berbeda dengan masyarakat yg kondisi interaksinya minim, homogen, longgar dan simpel. Jadi, jangan sampai salat jumat dan berjamaah di masjid menjadi lahan sebagian orang utk menyerang umat Islam karena menjadi sebab tersebarnya Covid-19

Dengan ditiadakannya salat Jumat dan jamaah di masjid, pada dasarnya tidak akan menghilangkan esensi salat sebagai tiang agama itu sendiri karena Jum’at yang ditinggalkan akan diganti dengan salat Dzuhur, berjamaah tetap dilakukan bersama keluarga di rumah masing-masing,  dan adzan pun masih dikumandangkan di masjid-masjid sebagai bagain dari syiar dan ajakan berjamaah di rumah masing-masing. Dan pada akhirnya, seluruh usaha untuk meminimalkan resiko menularkan virus, tertular virus, menyebarkan virus ini tidak bertentangan sama sekali dengan konsep tauhid, tawakkal, berserah diri pada Allah, sabar, dan apalagi menjadi parameter tebal dan tipisnya keimanan. Tidak ada pertimbangan hukum dalam fatwa yang menihilkan konsep tauhid sama sekali. Wallahu alam.

Komentar