Islamsantun.org. Seorang teolog Kristen abad ke-18, William Paley, menggagas satu ide penting dalam perdebatan mengenai keberadaan Tuhan. Terangkum dalam karyanya yang berjudul “Natural Theology”, gagasan ini kemudian dikenal dengan argument from design dan menjadi model argumentasi ketuhanan paling kuat bagi kaum teolog. Berikut saya kutip paragraf paling terkenal dari buku itu dengan terjemahan saya sendiri:
“Ketika sedang melintasi sebuah ladang, bayangkan saya menginjak sebuah batu dan saya bertanya-tanya kenapa batu itu bisa ada di sana; saya mungkin akan berfikir bahwa ia memang ada di sana dari dulu dan selamanya: walaupun mungkin akan sangat mudah menunjukkan absurditas jawaban ini. Tapi bayangkan saya menemukan sebuah jam tangan di atas tanah, dan saya mesti bertanya-tanya bagaimana jam tangan itu bisa ada di sana; akan sulit bagi saya untuk berfikir satu jawaban sebagaimana jawaban saya sebelumnya bahwa jam tangan itu memang sudah selalu ada di sana.”
Di dalam paragraf itu, Paley membedakan antara dua objek bendawi; yang satu bersifat alamiah dan satunya bersifat bikinan atau hasil desain. Kalimat selanjutnya adalah uraian dia mengenai bagaimana setiap unsur di dalam jam tangan itu dirancang sedemikian rupa dengan presisi yang begitu pas sehingga menghasilkan benda yang disebut jam tangan. Masih menurutnya, kesalahan sedikit saja dalam proses perancangan itu akan membuat benda itu tidak lebih berharga dari benda-benda lain termasuk batu.
Hal ini membawanya pada satu kesimpulan bahwa: jam tangan itu ada yang menciptakan. Ada seorang perancang jam yang memiliki kemampuan khusus untuk mendesain benda semacam itu serta kegunaannya. Perancang itu ada. Di manapun dia berada.
Berikutnya, sang teolog menerapkan perumpamaan ini pada something greater, itulah kehidupan. Dan dia mulai dari organ tubuh manusia yang paling kompleks, yaitu mata, satu contoh favorit yang, entah kebetulan atau tidak, setengah abad kemudian juga dipakai Darwin untuk menjelaskan teori evolusinya. Teori inilah yang oleh kalangan ateis disebut-sebut sebagai jawaban sesungguhnya atas kegelisahan Paley – saya akan jelaskan ini nanti.
Yang menarik dan bahkan mengejutkan adalah, meskipun dikenal sebagai seorang filusuf dan teolog, Paley mampu mendeskripsikan kompleksitas mata manusia dengan menggunakan uraian-uraian biologis yang cukup kaya pada zamannya. Ia lakukan itu seolah-olah benda itu membutuhkan semacam penjelasan, sebuah penjelasan yang beyond human’s ratio. Kemudian dia membandingkan mata dengan teleskop yang menurutnya sama-sama memiliki kerumitan yang tidak memugkinkannya untuk tercipta dengan sendirinya. Alhasil, seperti halnya jam tangan dan teleskop, mata juga butuh pencipta. Dan anda sudah bisa tebak siapa pencipta itu.
Model argumen ini ternyata masih laris dan bahkan belakangan menjadi senjata favorit makhluk apologetik yang gemar memamerkan hujjah-hujjah teistiknya di laman sosial media. Laiknya pendekar, sesekali makhluk itu menantang kaum ateis untuk beradu argumen. Sayangnya, tidak ada kebaharuan dari argumen-argumen yang dia bangun selain hanya parapfrase dari argumen teleologis-nya Paley (saya berharap dia sudah kenal Paley dan Aquinas). Lebih sayang lagi karena sebenarnya argumen itu sudah banyak menuai kritik. Salah satunya dari Dawkins, punggawa ateis kenamaan dari Oxford. Tapi sebelum ke Dawkins, saya ingin memperlihatkan satu kelemahan sistemik dari logika yang dibangun oleh makhluk ini di dalam tulisannya.
Dia mengawali tulisannya dengan sebuah pertanyaan sederhana (namun cacat – saya akan jelaskan kecacatan ini di lain waktu) yang sebenarnya membutuhkan jawaban yang juga sederhana, bukan penjelasan berbelit-belit seperti yang dia pertontonkan di sepanjang tulisannya. Pertanyaan sederhana itu membutuhkan pembuktian empiris, bukan logis. Di sini dia gagal membedakan kedua jenis kebenaran itu. Jika ada orang bertamu ke rumah anda dan bertanya apakah di rumah anda ada kopi atau tidak, anda tidak perlu berbelit-belit mengatakan bahwa kopi itu sebenarnya ada tapi begini dan begitu, tidak perlu juga anda meminta tamu anda untuk membayangkan ini dan itu. Jika ada katakan ada, jika tidak ada katakan tidak ada. Jika ada perlihatkan, jika tidak ada ya biasa saja. See? Simple. Saya yakin tamu anda tidak akan tersinggung dengan apapun jawaban anda.
Tapi bukankah akal budi (logika) juga merupakan instrumen dasar untuk memahami kebenaran? Benar, tapi bukan kebenaran empiris sebagaimana dituntut oleh pertanyaan itu – itulah kenapa saya sebut pertanyaan itu catat karena mengajukan pertanyaan empiris untuk dzat yang non-empiris. Lagipula, kalau indera manusia saja punya kelemahan sebagaimana dia tegaskan, apalagi akal budi yang ukuran kebenarannya bergantung pada proses penalaran yang rawan terhadap bias dan subjektivitas.
Oke, kembali ke Dawkins. Seperti halnya Paley, Dawkins juga takjub dengan keindahan ‘rancangan’ alam semesta. Hanya saja, dia memilih jawaban yang berbeda dengan Paley. Sebagai seorang ahli biologi beraliran Darwinian tulen, Dawkins PERCAYA (saya pertegas frasa ini sebab, seperti orang beragama, dia juga mengimani evolusi) bahwa jawaban yang dibutuhkan untuk menjelaskan kerumitan Paley adalah seleksi alam, bukan eksistensi pencipta. Kok bisa?