Pendahuluan: Paradoks Seorang Cendekiawan

Taqī al-Dīn Aḥmad ibn Taimiyyah (w. 1328 M) adalah sosok paradoks dalam sejarah Islam. Di satu sisi, ia adalah seorang mujtahid ulung; seorang pemikir independen yang warisan intelektualnya yang luas dalam bidang teologi, hukum, dan politik telah menginspirasi gerakan-gerakan reformasi selama berabad-abad. Di sisi lain, namanya kini secara problematis sering diasosiasikan dengan ideologi kekerasan ekstremis. Kelompok-kelompok Salafi-jihadis modern, dari Al-Qaeda hingga ISIS, secara konsisten meminjam namanya dan memotong-motong fatwanya untuk melegitimasi agenda kekerasan mereka, termasuk pengafiran (takfīr) terhadap sesama Muslim, pemberontakan bersenjata, dan serangan teror yang menargetkan warga sipil.

Apropriasi ini telah mengubah seorang faqīh Abad Pertengahan yang kompleks, yang pemikirannya ditempa dalam krisis invasi Mongol dan dinamika politik Kesultanan Mamluk, menjadi ikon dua dimensi yang seolah-olah memberikan pembenaran tanpa syarat bagi kekerasan. Para ideolog jihadis secara selektif mengekstraksi fatwa-fatwanya dari konteks historis dan yuridisnya, mengubah putusan yang bersifat kondisional dan terikat situasi menjadi hukum universal yang abadi. Fenomena ini berakar pada praktik misquoting dan pembacaan serampangan yang mengabaikan metodologi sang ulama.

Dua teks kunci menjadi pusat dari pembajakan intelektual ini: risalahnya tentang inghimās (melebur ke dalam barisan musuh) dan fatwanya yang terkenal mengenai status kota Mārdīn. Konsep inghimās, yang dalam pemikiran Ibn Taimiyyah merujuk pada taktik militer berisiko tinggi dalam perang konvensional, telah ditafsirkan ulang sebagai pembenaran teologis untuk bom bunuh diri. Sementara itu, fatwā Mārdīn, yang menawarkan solusi fiqh fleksibel bagi Muslim yang hidup di bawah kekuasaan non-Muslim, telah dipelintir menjadi dasar untuk mengklasifikasikan negara-negara Muslim modern sebagai “wilayah perang” (dār al-ḥarb) yang sah untuk diperangi.

Esai ini bertujuan untuk mendekonstruksi hermeneutika Salafi-jihadis tersebut. Tujuannya bukan sekadar menolak klaim mereka, melainkan membongkar kesalahan metodologis dan epistemologis yang mendasarinya. Dengan menempatkan Ibn Taimiyyah kembali pada “orbit metodologisnya sendiri,” kita dapat melihat bahwa penafsiran jihadis bukanlah kelanjutan dari pemikirannya, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip intelektualnya. Ini adalah upaya untuk merebut kembali warisan seorang cendekiawan dari para pengikut modernnya yang paling vokal namun paling tidak setia, dan pada akhirnya, mempertahankan tradisi intelektual Islam dari cengkeraman ekstremisme.

Dekonstruksi Inghimās: Dari Taktik Perang Menjadi Teror Bunuh Diri

Salah satu pilar utama dalam justifikasi teologis bom bunuh diri oleh kelompok jihadis adalah penafsiran ulang mereka terhadap konsep klasik inghimās. Mereka sengaja menyamakan tindakan “melebur” ke dalam barisan musuh di medan perang dengan apa yang mereka sebut “operasi martir” (‘amaliyyāt istisyhādiyyah), untuk memberikan legitimasi historis-religius pada taktik terorisme modern. Namun, pembacaan yang cermat dan kontekstual terhadap risalah Ibn Taimiyyah, Qā‘idah fī al-Inghimās fī al-ʿAdūww (Kaidah tentang Melebur ke dalam Barisan Musuh), menunjukkan betapa jauhnya penyimpangan ini.

Bagi Ibn Taimiyyah, inghimās adalah sebuah taktik militer yang sangat spesifik dalam konteks peperangan konvensional yang sah. Ini merujuk pada tindakan keberanian luar biasa di mana seorang prajurit atau satu unit kecil menyerbu jauh ke dalam formasi musuh untuk menciptakan kekacauan dan membuka celah strategis bagi pasukan utama. Legalitas tindakan ini diatur secara ketat oleh kerangka etika utilitarian yang berpusat pada pertimbangan maṣlaḥah (kemaslahatan) dan mafsadah (kerusakan). Ibn Taimiyyah, sejalan dengan empat imam mazhab, mengizinkan tindakan berisiko tinggi ini hanya jika memenuhi beberapa syarat ketat:

Niat Non-Bunuh Diri dan Tujuan Militer yang Jelas: Tujuannya adalah untuk melukai musuh secara efektif (nikāyah fī al-‘adūww) atau membuka jalan bagi kemenangan, bukan kematian itu sendiri. Kematian prajurit adalah risiko yang sangat tinggi, tetapi bukan tujuan atau mekanisme dari tindakan itu. Prajurit tersebut bertempur dengan harapan untuk selamat, meskipun kemungkinannya kecil.

Kalkulasi Manfaat-Kerugian: Kemaslahatan yang diharapkan dari tindakan tersebut harus jauh lebih besar daripada kerusakan yang mungkin timbul. Jika tindakan itu dianggap sia-sia dan hanya akan menyebabkan hilangnya nyawa prajurit Muslim tanpa dampak strategis, maka itu dilarang.

Kepatuhan pada Aturan Perang (Jus in Bello): Tindakan inghimās dilakukan dalam konteks pertempuran antara dua pasukan militer dan tunduk pada etika perang Islam, yang secara tegas melarang penargetan non-kombatan seperti wanita, anak-anak, dan orang tua.

Interpretasi jihadis modern secara radikal mengubah hakikat inghimās dan menjadikannya sebuah category mistake (kesalahan kategori). Mereka melakukan beberapa pergeseran fundamental:

Pergeseran Konteks: Mereka memindahkan inghimās dari medan perang konvensional ke ruang sipil; pasar, kafe, dan gedung perkantoran, yang secara eksplisit dilindungi dalam hukum perang Islam.

Pergeseran Target: Mereka mengubah target dari kombatan musuh menjadi warga sipil yang tidak bersalah, sebuah pelanggaran berat terhadap prinsip kesucian darah (‘iṣmat al-dimā’) dalam Islam.

Pergeseran Mekanisme dan Tujuan (Telos): Ini adalah distorsi yang paling krusial. Dalam bom bunuh diri, kematian pelaku bukan lagi risiko, melainkan mekanisme peledakan itu sendiri. Tubuh manusia diubah menjadi sistem pengiriman senjata. Tujuan utamanya bukan lagi kemenangan militer taktis, melainkan teror psikologis dan pembunuhan massal.

Dengan demikian, menyamakan inghimās dengan bom bunuh diri adalah sebuah analogi yang cacat (qiyās ma‘a al-fāriq). Kelompok jihadis mengabaikan seluruh kerangka kondisional dan etis yang dibangun oleh Ibn Taimiyyah. Mereka hanya mengambil istilah “inghimās” dan menempelkannya pada sebuah praktik modern yang melanggar setiap prinsip yang mendasarinya.

Fatwā Mārdīn: Dari Fleksibilitas Yuridis Menjadi Mandat Pemberontakan

Teks Ibn Taimiyyah yang mungkin paling sering disalahgunakan secara politik adalah fatwā Mārdīn. Para ideolog jihadis telah mengubahnya dari sebuah respons hukum yang bernuansa terhadap realitas geopolitik yang kompleks menjadi teks pendiri bagi ideologi takfīrī yang melegitimasi perang melawan negara-negara Muslim modern.

Fatwa ini dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai status kota Mārdīn (sekarang di Turki selatan), yang saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Ilkhanat Mongol. Mayoritas penduduknya tetap Muslim dan dapat menjalankan agamanya dengan bebas. Situasi hibrida ini menantang kategorisasi biner klasik dalam fikih politik, yaitu dār al-islām (wilayah Islam) dan dār al-ḥarb (wilayah perang).

Menanggapi hal ini, Ibn Taimiyyah menunjukkan fleksibilitas yurisprudensinya yang luar biasa. Ia menolak biner tersebut dan menciptakan kategori ketiga, menyebut Mārdīn sebagai dār murakkabah (wilayah komposit atau hibrida). Wilayah ini bukan dār al-islām murni karena tidak diperintah oleh hukum Islam secara penuh, tetapi juga bukan dār al-ḥarb karena penduduknya adalah Muslim yang bebas menjalankan syariat. Putusannya adalah contoh utama dari penerapan prinsip maṣlaḥah dalam realitas politik yang kompleks, sebuah penalaran politik syariah (siyāsah syar‘iyyah) untuk menjaga kemaslahatan umum.

Penyalahgunaan fatwa ini oleh kelompok ekstremis bergantung pada satu kata krusial di akhir teks, yang memiliki dua varian bacaan: yu‘āmal (diperlakukan) atau yuqātal (diperangi). Varian yang merujuk pada kekerasan (yuqātal) berbunyi: “…sedangkan orang yang keluar dari syariat Islam harus diperangi sebagaimana mestinya.” Sementara varian damai (yu‘āmal) berbunyi: “…harus diperlakukan sesuai dengan haknya.”

Bukti-bukti filologis dan historis sangat mendukung keaslian bacaan yu‘āmal. Varian ini ditemukan dalam satu-satunya manuskrip fatwa yang diketahui dan dikutip oleh murid langsung Ibn Taimiyyah. Bacaan yuqātal tampaknya merupakan korupsi tekstual yang baru muncul dalam edisi cetak modern. Pada tahun 2010, sebuah konferensi ulama internasional di Mardin secara resmi mendeklarasikan bahwa yu‘āmal adalah bacaan yang otentik, yang secara efektif meruntuhkan dasar tekstual dari interpretasi kekerasan.

Namun, kesalahan metodologis para ekstremis lebih dalam dari sekadar salah baca. Bahkan jika kita mengasumsikan bahwa yuqātal adalah kata yang asli, hal ini tetap tidak akan memvalidasi kesimpulan mereka. Kesalahan mereka terletak pada “atomisme hukum”: mereka mengisolasi kata “diperangi” dari keseluruhan korpus pemikiran Ibn Taimiyyah tentang jihād dan pemberontakan (baghy). Bagi Ibn Taimiyyah, setiap perintah untuk berperang (qitāl) akan selalu tunduk pada serangkaian kondisi yang ketat, termasuk adanya otoritas yang sah, prinsip proporsionalitas, dan larangan menargetkan non-kombatan. Yang terpenting, ia secara konsisten melarang pemberontakan jika akan menimbulkan kekacauan (fitnah) yang lebih besar daripada kezaliman yang ada.

Para jihadis mengabaikan semua batasan ini. Mereka mengambil satu kata (yang kemungkinan besar salah) dari satu fatwa, mencabutnya dari konteks historis dan fiqhnya, dan mengubahnya menjadi perintah universal tanpa syarat untuk memerangi setiap pemerintah yang tidak sesuai dengan interpretasi sempit mereka tentang syariah.

Hermeneutika Ekstremisme: Metodologi Penafsiran yang Cacat

Kesalahan penafsiran terhadap inghimās dan fatwā Mārdīn bukanlah insiden yang terisolasi. Keduanya adalah produk dari sebuah kerangka interpretasi yang sistematis dan cacat; sebuah “hermeneutika ekstremisme.” Ideologi Salafi-jihadis adalah sebuah hibrida modern yang menggabungkan puritanisme teologis Salafi dengan teori-teori politik revolusioner dari pemikir Islamis abad ke-20 seperti Sayyid Qutb. Ideologi ini dibangun di atas beberapa konsep inti yang ditafsirkan secara radikal, seperti Ḥākimiyyah (Kedaulatan Tuhan), Takfīr (pengafiran), Al-Walā’ wa al-Barā’ (loyalitas dan pemisahan diri), dan reduksi jihād menjadi perang bersenjata semata.

Untuk membenarkan pilar-pilar ideologis ini, mereka menggunakan serangkaian metode interpretasi yang “cacat” ketika mendekati teks-teks klasik:

Ahistorisisme: Mereka melepaskan teks dari konteks sejarah spesifiknya. Fatwā yang dikeluarkan sebagai respons terhadap invasi Mongol pada abad ke-13 diperlakukan seolah-olah berlaku universal untuk realitas politik abad ke-21.

Kutipan Selektif (Cherry-Picking): Mereka mengekstrak frasa-frasa yang berapi-api dari karya ulama seperti Ibn Taimiyyah, sambil secara sistematis mengabaikan bagian besar dari karyanya yang berisi pernyataan-pernyataan yang membatasi, mengkondisikan, atau bahkan bertentangan.

Atomisme Hukum: Mereka mengisolasi satu putusan hukum dari metodologi yang lebih luas yang menghasilkannya. Izin untuk berperang dipisahkan dari kalkulasi maṣlaḥah dan mafsadah yang merupakan inti dari putusan asli tersebut.

Hermeneutika ekstremis ini berdiri dalam kontras yang tajam dengan metodologi hukum (uṣūl al-fiqh) Ibn Taimiyyah sendiri, yang dicirikan oleh kecanggihan dan kehati-hatian. Inti dari etika sosial-politiknya adalah kerangka utilitarian yang bertujuan untuk memaksimalkan kemaslahatan publik (maṣlaḥah) dan meminimalkan kerusakan publik (mafsadah). Prinsip ini menuntut pertimbangan yang cermat terhadap konsekuensi (ma’ālāt) dari setiap tindakan; sebuah disiplin yang sepenuhnya diabaikan oleh kaum jihadis. Dengan demikian, penggunaan Ibn Taimiyyah oleh kelompok Salafi-jihadis bukanlah kelanjutan dari tradisi intelektualnya, melainkan sebuah pemutusan radikal darinya.

Kesimpulan: Merebut Kembali Narasi

Penelitian ini menunjukkan bahwa warisan intelektual Ibn Taimiyyah telah mengalami distorsi mendalam di tangan para ideolog Salafi-jihadis. Mereka telah mereduksi seorang pemikir kompleks menjadi ikon kekerasan, mengubah taktik militernya yang kondisional menjadi pembenaran untuk terorisme bunuh diri, dan memutarbalikkan putusan hukumnya yang fleksibel menjadi mandat universal untuk pemberontakan. Jurang antara faqīh Abad Pertengahan dan karikatur modernnya bukanlah soal tingkatan, melainkan soal jenis.

Temuan ini memiliki implikasi signifikan. Kebijakan kontra-terorisme harus mengakui bahwa pertempuran melawan ekstremisme juga merupakan pertempuran interpretasi. Alih-alih hanya melarang atau mengutuk tokoh-tokoh seperti Ibn Taimiyyah, upaya kontra-narasi harus fokus pada bagaimana teks-teks mereka disalahgunakan. Ini berarti mempromosikan literasi kontekstual dan metodologis. Kontra-narasi yang efektif harus mampu membantah klaim ekstremis di atas landasan tekstual Islam itu sendiri, menunjukkan bagaimana interpretasi jihadis melanggar prinsip-prinsip dasar yurisprudensi Islam.

Strategi jangka panjang yang paling efektif adalah “inokulasi ideologis” melalui pendidikan. Kurikulum pendidikan agama perlu diperbarui untuk tidak hanya mengajarkan apa yang harus dipercaya, tetapi juga bagaimana berpikir kritis dalam tradisi Islam. Mengajarkan dasar-dasar uṣūl al-fiqh, pentingnya konteks sejarah, dan prinsip menimbang kemaslahatan dan kerusakan akan membekali generasi muda dengan kekebalan ideologis untuk menolak argumen-argumen ekstremis yang simplistis.

Pada akhirnya, merebut kembali warisan Ibn Taimiyyah dari para ekstremis bukan hanya tentang membela seorang tokoh sejarah. Ini adalah tentang menegaskan bahwa tradisi intelektual Islam, dalam kedalaman dan kecanggihannya, menawarkan penangkal yang paling kuat terhadap ideologi-ideologi yang secara keliru mengklaim mewakilinya dengan jumawa.

Komentar