Masyarakat pesantren dihebohkan oleh tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dalam salah satu segmennya, narator melontarkan kalimat yang bernada sinis terhadap tradisi kehidupan pesantren. Ungkapan seperti “santrinya minum susu aja kudu jongkok, kiainya kaya raya, umatnya yang kasih amplop” memancing kemarahan banyak pihak. Tayangan itu, dianggap tidak hanya merendahkan lembaga pendidikan Islam, tetapi juga menghina adab dan tradisi luhur yang telah diwariskan turun-temurun di dunia pesantren.

Protes keras datang dari berbagai pihak: alumni Lirboyo, PBNU, dan MUI. Mereka menilai tayangan tersebut telah melecehkan kehormatan kiai dan pesantren sebagai penjaga moral dan keilmuan Islam di Indonesia. Trans7 kemudian meminta maaf dan mengakui kelalaiannya, namun luka di hati masyarakat pesantren sudah terlanjur membekas. Sebab, yang diserang bukan hanya institusi, melainkan nilai yang paling dijaga dalam dunia santri yaitu adab terhadap guru dan ulama.

Ilmu Penting, Adab juga Penting

Dalam buku Hujjah Amalan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang ditulis oleh Dr. Said Abu al-As’ad (1999) dijelaskan bahwa adab penghormatan kepada orang alim memiliki dasar yang kuat. Imam an-Nawawi dalam al-Adzkâr menegaskan bahwa berdiri menyambut orang yang memiliki keutamaan baik karena ilmunya, kesalehannya, atau kepemimpinannya yang amanah adalah tindakan yang dianjurkan. Sikap berdiri, menurut beliau, bukan bentuk riya atau pengkultusan, melainkan ekspresi penghormatan terhadap ilmu dan ketakwaan. Hal ini juga yang dicontohkan oleh para ulama besar. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah berdiri menghormati seorang pemuda hanya karena pemuda itu keturunan Abdurrahman bin ‘Auf, sahabat Rasulullah. “Tidak bolehkah aku berdiri menghormati putra orang mulia?” begitu jawaban Imam Ahmad kepada anaknya.

Lebih dari sekadar sopan santun, penghormatan terhadap orang alim juga dimaknai sebagai upaya mencari keberkahan (tabarruk) dari ilmu dan ketakwaan yang ada pada diri mereka. Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, keberkahan diyakini dapat mengalir melalui hubungan batin dan penghormatan terhadap ahli ilmu, karena ilmu dan amal saleh mereka menjadi perantara turunnya rahmat Allah. Oleh sebab itu, sikap hormat seperti berdiri, mencium tangan, atau bersikap tawaduk di hadapan ulama bukanlah bentuk pengagungan manusia secara berlebihan, tetapi cara seorang murid menundukkan hatinya agar mendapat limpahan berkah dari ilmu dan keteladanan gurunya.

Rasulullah saw. merupakan sumber keberkahan terbesar di muka bumi, dan keberkahan itu tetap hidup serta melekat pada tempat-tempat yang pernah bersentuhan dengan beliau. Banyak riwayat sahih dalam kitab hadis maupun sejarah yang menunjukkan bagaimana bekas-bekas peninggalan Nabi menjadi perantara datangnya keberkahan. Bahkan, pancaran keberkahan beliau terus diwariskan kepada keluarganya, para ulama, serta orang-orang saleh yang mengikuti jejaknya hingga akhir zaman. Karena itu, mencari keberkahan melalui orang-orang yang menjadi perantara kebaikan seperti ulama, orang saleh, atau peninggalan mereka bukanlah sesuatu yang terlarang dalam Islam.

Dalam Shahih Bukhari-Muslim dan Musnad Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menunjuk Hajar Aswad dengan tongkat beliau, kemudian mencium ujung tongkat tersebut. Dari peristiwa ini, para ulama memahami bahwa mencium sesuatu yang memiliki hubungan dengan orang mulia diperbolehkan, karena hal itu termasuk bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap keberkahan yang melekat pada diri mereka.

Syekh Abdu al-Qadir ‘Isa dalam Haqâiq ‘an at-Tashawwuf menegaskan bahwa banyak orang pada masa kini mempertanyakan hukum mencium tangan, terutama di tengah melemahnya pemahaman agama dan kuatnya dorongan hawa nafsu. Padahal, bagi mereka yang berpegang pada hadis sahih, atsar sahabat, dan pendapat ulama, akan memahami bahwa mencium tangan orang alim, orang saleh, dan orang tua adalah perbuatan yang dibenarkan secara syar‘i. Lebih dari itu, tindakan tersebut mencerminkan akhlak Islam dalam menghormati orang-orang yang memiliki keutamaan dan ketakwaan.

Keberkahan dan Penghormatan Pada Ilmu

Para ulama dari empat mazhab besar memberikan pandangan yang beragam mengenai adab mencium tangan orang alim, namun seluruhnya tetap berada dalam satu kerangka nilai, yaitu penghormatan yang dilandasi niat yang benar. Perbedaan pendapat di antara mereka lebih bersifat penekanan pada aspek niat dan konteks, bukan pada hukum dasarnya.

Mazhab Hanafiyah memandang bahwa mencium tangan orang alim dan saleh merupakan bentuk tabarruk yang dibolehkan bahkan dianjurkan. Dalam Hâsyiyah ad-Durr al-Mukhtâr, Ibnu ‘Abidin menjelaskan bahwa, “Tidaklah mengapa mencium tangan seorang laki-laki yang alim dan warak dengan niat bertabaruk, dan dikatakan bahwa perbuatan itu adalah sunnah.”

Pendapat ini sejalan dengan keterangan Imam al-Thahawi dalam Hâsyiyah al-Thahâwi ‘ala Marâq al-Falâh, yang menyebutkan: “Dijelaskan dalam Ghâyatul Bayân: mencium tangan orang yang alim atau pemimpin yang adil itu boleh.” Di akhir penjelasannya, al-Thahawi menegaskan, “Dari semua yang telah kami jelaskan dapat diketahui (hukum) dibolehkannya mencium tangan.” Dengan demikian, para ulama Hanafiyah menempatkan perbuatan ini sebagai bagian dari etika dan penghormatan terhadap ahli ilmu dan pemimpin yang adil.

Beranjak ke Mazhab Malikiyah, Imam Malik bin Anas memberikan penjelasan yang lebih kontekstual dengan menyoroti pentingnya niat di balik perbuatan tersebut. Beliau berkata, “Jika mencium tangan seseorang karena kesombongan (orang yang dicium tangannya), maka hal itu dimakruhkan. Namun, jika menciumnya karena kedekatannya kepada Allah — baik karena agamanya, ilmunya, atau kemuliaannya — maka hal itu boleh.” Dengan demikian, menurut mazhab ini, mencium tangan hanya bernilai ibadah jika dilakukan sebagai bentuk penghormatan spiritual, bukan karena faktor duniawi seperti kekuasaan atau kekayaan.

Sedangkan Mazhab Syafi’iyah, Imam an-Nawawi, salah satu tokoh penting dalam mazhab Syafi’i, memberikan batasan yang tegas antara penghormatan bernilai ibadah dan penghormatan duniawi. Ia menyatakan, “Mencium tangan seseorang karena kezuhudannya, ilmunya, kemuliaannya atau sebab apa pun yang berkaitan dengan agama tidaklah dimakruhkan, bahkan hal itu disunnahkan. Akan tetapi, jika menciumnya karena kekayaan, kekuasaan, atau kedudukannya dalam urusan dunia maka hal itu sangat dimakruhkan.”

Adapun Mazhab Hanabilah, Imam al-Maruzi meriwayatkan bahwa ia pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal mengenai hukum mencium tangan seseorang. Imam Ahmad menjawab, “Jika itu dilakukan karena agama maka tidak mengapa, namun jika dilakukan karena dunia maka tidak boleh.” Pandangan ini menunjukkan konsistensi mazhab Hanbali dalam memisahkan antara penghormatan yang dilandasi niat tulus dan penghormatan karena kepentingan duniawi.

Dari penjelasan empat mazhab dapat dipahami bahwa hukum mencium tangan bergantung pada niat dan konteksnya. Jika dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap ilmu, ketakwaan, dan kemuliaan seseorang yang dekat dengan Allah, maka hal itu boleh bahkan dianjurkan. Namun, jika dilakukan karena kekuasaan, harta, atau kedudukan duniawi, maka perbuatan itu makruh atau bahkan tidak dibenarkan. Sebab tradisi mencium tangan ulama sejatinya bukan sekadar simbol penghormatan lahiriah, melainkan cerminan pengakuan terhadap ilmu dan ketaatan kepada nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi.

Kasus Trans7 menjadi cermin bahwa krisis adab bisa muncul bukan hanya di masyarakat awam, tetapi juga di ruang-ruang publik seperti media massa. Kritik boleh saja disampaikan, tetapi harus dibingkai dengan pengetahuan, empati, dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan yang hidup di tengah umat. Menghina tradisi pesantren berarti menolak akar spiritual bangsa. Sebaliknya, memahami dan menghormatinya adalah bagian dari menjaga martabat keilmuan dan moralitas Islam di Indonesia. Sebagaimana diajarkan para ulama, menghormati orang yang berilmu adalah menghormati ilmu itu sendiri dan di situlah letak keberkahan yang sesungguhnya. Wallahu ’alam bisshawab.[]

Komentar