“Kulo niku rekoso. Sanes wong pinter, mung lulus SMP tapi didawuhi Mbah Umar ken mulang ten pondok. Nggeh dilakoni mawon.. wong kulo urip niku bersenjata Alfatihah. Nopo mawon masalahe, moco Alfatihah.”

Begitu sekelumit dawuh dari Bu Nyai Siti Maria Shofawi, sewaktu saya dan Yakhsyallah sowan takziyah Alm. KH. Makmun M. Muro’i, LML.

Baru sempat takziyah kemarin, karena pas di hari beliau kapundut, saya tugas menggantikan pak Dafi sebagai pembicara di acara Lakpesdam PWNU Jateng. Alhamdulillah juga sekaligus sambung silaturahmi dengan Mas Abdul Rahman Mamun dan keluarga besar.

Dari jam 4:30 sampai menjelang berbuka, kami menyimak perjalanan hidup Kyai Makmun yang dituturkan dari sudut pandang tak berjarak, dari mata seorang istri.

Bu Nyai tidak menampakkan kesedihan, justru berkali-kali mengungkapkan kelegaan bahwa Almarhum berpulang di waktu yang baik, dan di momen yang diinginkan – dalam keadaan suci di tengah shalat dhuha.

Banyak cerita yang beliau sampaikan tentang perjuangan Almarhum, yang tentunya itu tugasnya pak Ahmad Khadafi buat menuliskan. Yang jelas, Pak Makmun banyak merintis lembaga pendidikan, dan ilmu bermanfaat yang mengalir melalui amal para murid/mahasiswa beliau.

Satu yang saya tanyakan kepada Bu Nyai, yaitu apa jalan yang diistiqamahi oleh Almarhum? Menurut beliau, “Bapak niku istiqamahe sinau. Betah sinau ngantos kapundut.”

Tidak hanya itu, Bu Nyai Maria yang juga adalah seorang guru juga berbagi pandangan tentang derita jadi guru zaman sekarang.

“Biyen niku guru tugase pripun carane minterke murid. RPP pun disediakan sekolah, guru fokus melaksanakan tugas. Padahal kados kulo niki, lulusan SMP tapi saget mulang. Sakniki guru niku Sarjana, tapi ngelu ngurusi awake dewe. Akhire lali tugase minterke anak..” begitu sedikit yang saya ingat.

Dengan sangat rendah hati, Bu Nyai dawuh apa yang sudah saya tuliskan di pembuka tulisan ini. Beliau merasa menjalani hidup dengan biasa. Tapi justru yang biasa itu menjadi keramat ketika semuanya dilandasi dengan Alfatihah secara kontinu.

Salah satu keramatnya adalah putra-putri beliau. Pak Makmun dan Bu Maria dikaruniai sepuluh putra-putri, dan jadi orang pinter semua.

Bu Nyai dawuh, “Kulo niku kadang gumun. Anak sepuluh tapi ten pundi-pundi dirubung uwong. Anak niku dados ‘qurrota a’yun’ mboten kok mungguh wong tuwane. Tapi ten masyarakat nggeh dados qurrota ayun..”

“Resep’e menapa, Bu?” Saya tanya.

Tidak lupa saya meminta doa buat saya dan Naelufa yang sedang menantikan kelahiran anak pertama.

“Bakdo shalat, kulo kaleh bapak maos dunga……

Doanya apa? Rahasia.

Komentar