Pakaian muslim perempuan, setidaknya mencerminkan identitas, selera, finansial, dan religiusitas pemakainya. Kondisi ini dapat ditandai dengan adanya trend fashion setiap tahunnya, adanya Muslim Fashion Shows, di samping itu ajang pencarian bakat dan putri kecantikan banyak yang memakai pakaian muslim.

Pemandangan luar biasa dari dunia fashion muslim ini, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang perempuan yang ingin terus memaksimalkan diri den6k keseluruh sistem sosial ini dapat dimaknai sebagai bentuk komunikasi, juga gerakan revolusioner. Tak lain sebagai bentuk reproduksi dan rekreasi dari perempuan yang menunjukkan eksistensi diri tanpa terkungkung pada gerak sosial lama bahwa perempuan muslim hanya berkutat pada sektor informal dan domestik semata.

Kondisi ini memang kerap menempatkan perempuan sebagai makhluk konsumeris mengingat pola belanja yang kemudian menjadi pianti dasar dalam mengikuti trend kekinian. Namun hal tersebut turut diimbangi dengan gerakan reproduksi perempuan karier yang dapat menghasilkan karya serta aspek finansial sebagai perempuan pekerja. Hal senada juga menisbahkan fashion perempuan muslimah dari sisi sosial, politik dan ekonominya.

Pemandangan ini tentu dapat kita uktikan dengan harga pakaian muslimah yang variatif sesuai brand merknya.  Hal tersebut hadir dengan rumus ekonomi bahwa segmen pasar memiliki preferensi kelas harga. Sehingga srata sosial juga memiliki preperensi terhadap harga.kita bisa melihat dari fashion pengemuka baik dari pejabat negara, pengusaha dan artis ternama yang memakai fashion muslim memiliki harga yang pantastis.

Sekali lagi fashion muslimah kini memiliki pendar jangkauan yang beragam, sehingga menunjukkan tingginya aspek kepeminatan dari sisi sosial. Malcolm Barnard membahas fashion dan pakaian  sebagai cara mengkomunikasikan identitas-identitas kelas, gender, seksualitas dan sosial. Pakaian bisa dimetarforakan sebagai kulit sosial dan budaya kita.(Nordholy, 1997: 1). Namun, sisi lain terdapat pendangkalan pemaknaan dan pemahaman atas anjuran berjilbab itu sendiri dalam Islam.

Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Semangat emansipasi yang mewujud pada hak berpendidikan, menjadi pimpinan, memiliki bisnis besar bahkan mampu membesarkan nama dengan talenta menjadi satu aspek yang perlu diapresiasi. Berbicara tentang fashion dan pakaian sebagai artefak budaya tak bisa tidak membawa kita pada kajian semiotika, dalam hal ini, semiotika objek.

Komuditas dan Paradigma Baru

Paradigma semiosis objek adalah bahasa komuditas, di mana  pakaian adalah komoditas. Orang membuat kesimpulan tentang siapa anda, juga salah satunya lewat apa yang anda pakai. Dalam falsafah jawa kita mengenal istilah Ajining Diri Saka Lathi, Ajing Raga Saka Busana yang artimya harga diri sesorang ditentukan oleh ucapannya, kehormatan seseorang ditampilkan melalui penampilan atau busananya.

Pakaian merupakan ekspesi identitas pribadi oleh karena memilih pakaian, baik di toko maupun di rumah, berarti mendefinisikan dan menggambarkan diri kita sendiri. ( Lurie, 1992: 5) Pakaian adalah salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas dari penampilan luar, yang dengannya orang menempatkan diri mereka terpisah daripada yang lain, dan selanjutnya, diidentifikasi sebagai suatu kelompok tertentu.

Jika kita mengamati pada penyambutan lebaran Idul Fitri, kebutuhan berbelanja pakaian masyarakat Indonesia mengalami lonjakan drastis. Hal tersebut berbanding lurus dengan munculnya model pakaian baru. Sehingga pakaian tidak hanya berhenti pada kebutuhan atas tuntunan agama, melainkan juga berfungsi sebagai trend terkini. Sebuah kebutuhan pasar akan selera. Menurut Shahab (2004: 18) dalam ajaran Islam, jilbab menanamkan suatu tradisi yang universal dan fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral, dengan menutup pintu pergaulan bebas.

Cara pandang ini menjadi pagar bagi perempuan dari aspek agama dan sosial untuk tetap berkiprah dalam ranah sosial, mengimplementasikan bakat dan keilmuannya.  Perkembangan jaman dengan laju revolusinya  menempatkan fashion muslimah sebagai sebuah fenomena yang penuh makna, baik secara teologis maupun sosial. Dalam arti lain pakaian muslim perempuan tidak menempatkan pakaian sebagai simbol keterkungkungan serta peran domestik semata, melaikan sebuah gerak revolusi dalam simbol identitas kelas dan citra diri.

Tentu kondisi ini menjadi sebuah pandangan umum yang tidak lepas dan pro dan kontra dari berbagai kalangan mulai dari aktivis, cendikiawan, bahkan kaum agamawan. Namun selama perempuan memiliki karakter, dan dedikasi pada profesionalisme kerja, kirah-kiprah perempuan muslim tetap dalam garis menjaga marwah diri serta eksistensinya mampu membawa dampak positif bagi berbagai kondisi sosial. Baik itu teciptanya lapangan pekerjaan, berubahnya cara pandang dan lahirnya banyak kebijakan yang membawa kesejahteraan. Sehingga perubahan jaman dengan trend kekinian mengenai intrepretasi atas kebutuhan atas fashion muslimah sebagai sesuatu yang kaya makna mengenai pola komunikasi pesan sosial dan budaya.

Lebih lanjut, Fedwa menganalisis jilbab dengan meletakkan jilbab dalam konteks berpakaian multidimensional-secara material, ruang dan keagamaan-sebagai sebuah mode komunikasi yang dibangun di atas pengetahuan antarbudaya, antaragama dan antargender (Budiati, 2001: 60). Dalam hal ini Fedwa terlalu apologis mengatakan jilbab dalam Islam sebagai identitas dan resistensi semata. Pada awal penyebaran Islam, jilbab bagi Islam dan umatnya adalah sebagai bentuk kesalehan, penyucian diri, menandakan tingkat keimanan dan kesalehan seseorang.

Sehingga trend fashion muslimah masa kini, dapat dipandang sebagai gerak revolusiner. Bahwasanya perempuan dengan keterkungkungan hak dan minimnya pengetahuan di masa lalu mengalami berbagai kontruksi yang dilabelkan oleh laki laki. Mengingat hari ini perempuan secara sosial memiliki hak berpendidkan denganhak bekerja yang setara dapat mendefesikan kebebasan dan nilainya.

Komentar