Tak bisa dipungkiri bahwa Islam masuk ke tanah Jawa lewat jalur yang lemah lembut. Yakni melalui jalur budaya. Strategi para Walisanga itu terbukti ampuh hingga dapat mengislamkan orang jawa. Dengan memadukan ajaran agama dan budaya, tentunya dengan tidak mengubah inti ajaran agama itu sendiri. Dengan strategi itu pun islam bisa hidup lama di masyarakat jawa, bahkan semakin hari semakin banyak pengikutnya hingga menjadi mayoritas.
Sunan Kalijaga menjadi salah satu wali yang berperan dalam strategi ini. Strateginya terbukti ampuh dengan mencampurkan ajaran Islam dengan syair-syair tembang macapat maupun dengan menggunakan wayang sebagai media dakwah. Yang memang pada saat itu pagelaran wayang menjadi tontonan yang sangat di sukai oleh masyarakat jawa. Selain itu budaya seperti tahlilan, muludan yang sekarang masih ada merupakan hasil strategi dari para wali.
Sabtu, 9 November kemarin menjadi hari kelahiran manusia paling sempurna di muka bumi. Hari lahir cahaya di atas cahaya itu sendiri. Sang pembawa pesan rahmatan lil ‘alamin bagi umat manusia. Tidak hanya untuk manusia tetapi juga kepada semua makhluk ciptaan Sang Maha Kuasa.
Seiring dengan peristiwa itu, orang Jawa punya budaya sendiri untuk memperingati hari lahirnya sang nabi. Namanya muludan. Berasal dari nama bulan Jawa “mulud”, setiap bulan ini biasanya orang Jawa dan Indonesia pada umumnya melakukan suatu acara sebagai bentuk rasa syukur atas terlahirnya sang pencerah dunia, cahaya diatas cahaya, sang Nabi Muhammad SAW.
Setiap daerah berbeda-beda dalam menyelenggarakan acara muludan ini. Di lingkungan keraton, perayaan terkesan lebih besar perayaannya, seperti grebeg mulud di Keratom Yogyakarta sedangkan di tingkat desa-desa dilaksanakan hanya seperti kenduri biasa.
Muludan yang dilakukan di desa-desa kecil cenderung lebih sederhana dan simpel. Hanya dengan mengumpulkan beberapa orang/ lingkungan RT di satu tempat. Setiap orang membawa sajian makanan dikumpulkan di tengah orang yang duduk mengelilingi aneka sajian tersebut. Lalu salah seorang ada yang memimpin untuk membaca kalimat toybah bersama-sama. Seperti membaca tahlil, tahmid, sholawat dan ayat-ayat Qur’an.
Setelah itu mereka akan makan bersama dengan sajian yang telah dibawa masing-masing. Setiap orang boleh mencampur makanannya dengan sajian orang lain. Acara ini praktisnya adalah saling tukar makanan.
Meleburnya ajaran Islam dengan budaya yang tumbuh di tengah masyarakat menjadi suatu yang ‘kontroversi’ pada masyarakat modern seperti sekarang ini. Kerasnya arus modernisasi membawa dampak yang sangat besar bagi kelestarian suatu budaya. Bungkus modernisasi menawarkan budaya yang lebih instan dan isinya membawa budaya yang lebih praktis tanpa harus bertele-tele. Yang terpenting jasad bisa merasa senang.
Itulah yang membuat kawula muda cenderung banyak yang terbawa oleh arus modernisasi. Sehingga budaya luhur (muludan) yang sejak dahulu selalu diturunkan dari generasi ke generasi mulai memudar. Walaupun tetap ada yang melakukan tetapi itu hanya sebagian kecil dari pada yang tidak menjalankan.
Budaya muludan seperti itu hanya bisa kita temukan di pedesaan yang memang masih melestarikannya. Selagi masih ada tetua atau yang dituakan budaya kumpul muludan akan tetap ada. Karena memang kawula muda sangat minim ketertarikan dengan budaya seperti itu, bahkan sudah banyak yang mulai luntur untuk melestarikannya.
Tumbuh suburnya modernisasi dikalangan masyarakat memang tidak bisa disalahkan. Karena semua itu akibat dari semakin berkembangnya zaman. Tetapi hal ini ternyata berdampak bagi kawula muda yang kelak mereka berperan sebagai penerus kebudayaan sudah mulai luntur bahkan meninggalkan warisan luhur itu. Lantas bagaimana nasib generasi berikutnya dalam memahami muludan?
Memudarnya minat masyarakat terhadap budaya dikhawatiran ditinggalkannya nilai luhur suatu agama. Karena budaya-budaya yang ada di tanah Jawa sebetulnya telah disisipi ajaran agama oleh para wali seperti budaya muludan.
Budaya muludan, selain berisi tentang spiritual dengan membaca kalimat-kalimat toybah. Ternyata juga mengajarkan kita sebagai manusia untuk saling tolong menolong dan menjaga kebersamaan (Ukhuwah). Pembacaan kalimat-kalimat toybah di awal acara menjadikan kita untuk senantiasa berdzikir kepada sang pencipta dan mengharap syafa’at baginda Nabi Muhammad SAW. Setelah itu jamuan makan bersama merupakan simbol kita sebagai manusia harus saling menjaga silaturahmi (Ukhuwah) antar sesama manusia.
Dalam konsep agama Islam, wujud persaudaraan ada 3 yaitu, persaudaraan antar umat islam, persaudaraan antar manusia, dan persaudaraan sebagai bangsa/negara. Setelah ketiga konsep persaudaraan itu dipahami maka akan timbul suatu perbuatan tolong menolong. Yang tercermin di acara saling tukar sajian makanan yang satu dengan yang lain.
Islam menjunjung tinggi budaya tolong menolong. Seperti halnya nabi Muhammad yang selalu menyuapi roti kepada pengemis buta Yahudi. Padahal pengemis sangat membenci Nabi. Lalu kenapa nabi tetap mau menyuapinya. Jawabannya karena telah terbentuk kesadaran dalam diri nabi mengenai persaudaraan antar sesama manusia (Ukhuwah Basyariah).
Nampaknya hal-hal seperti itulah yang mulai tidak dipahami oleh kalangan pemuda kita. Bagaimana pentingnya kebersamaan, tolong menolong, rasa syukur, dan kerja keras. Yang semua itu terangkum dalam budaya-budaya Islam Indonesia seperti muludan.
Budaya semacam ini jika dicari dalam hadis atau al-Quran memang tidak akan ketemu tetapi nilai-nilai Islam bertebaran di dalamnya. Ini hanya segelintir cara Wali Sanga untuk menyampaikan dakwah Islam. Selagi tidak mengubah ibadah mahdah, ini tidak apa-apa untuk dilakukan. Karena memang jika tanpa strategi itu, kita yang hidup di zaman sekarang belum tentu menganut Islam.
Lalu, bagaimanakah budaya-budaya seperti muludan ini untuk kedepannya ? Akankah tetap ada atau bahkan hanya menjadi bahan bacaan di buku-buku sekolah. Siapa yang akan meneruskannya? Jawabannya ada di tangan kita sebagai penjaga dan penerus tradisi, bangsa, dan agama.