Dalam perdebatan panjang tentang hubungan antara Islam dan modernitas, Dietrich Jung mengajukan satu pertanyaan yang sangat menggugah: Bukankah umat Muslim hari ini sudah jelas merupakan bagian (aktor) dari dunia modern? Pertanyaan ini seolah mematahkan dikotomi lama yang menempatkan Islam sebagai antitesis dari modernitas. Lewat bukunya, Islamic Modernities in World Society, Jung menegaskan bahwa umat Muslim tidak hanya beradaptasi terhadap modernitas Barat, tetapi juga menciptakan bentuk-bentuk modernitas yang khas, berakar pada tradisi Islam, dan menjelma dalam beragam bentuk sosial, politik, dan kultural.
Dari Perdebatan ke Pengakuan: Islam dalam Dunia Modern
Dalam karya ini, Jung tidak sedang menambahkan satu lagi argumen dalam perdebatan usang tentang apakah Islam kompatibel dengan modernitas. Sebaliknya, ia memulai dari pengakuan bahwa umat Islam telah hidup sebagai bagian dari dunia modern sejak abad ke-19. Yang ia tawarkan adalah PoV (point of view) baru untuk memahami bagaimana umat Islam di berbagai belahan dunia membentuk Islamic modernities; berbagai proyek sosial, politik, dan ekonomi yang menggunakan bahasa dan simbol Islam untuk menjadi modern.
Jung membingkai kajiannya dalam kerangka “world society”, sebuah konsep sosiologis yang menyatakan bahwa modernitas kini menjadi kondisi global. Dengan demikian, Islam tidak lagi berdiri sebagai “the other” (yang lain) dari modernitas, melainkan sebagai salah satu komponennya yang sah dan produktif.
Modernitas sebagai Proyek Global: Dari ‘Uṡmāniyyah ke Masyarakat Dunia
Salah satu kekuatan utama buku ini terletak pada pendekatan historisnya. Jung menelusuri transformasi dunia Islam dari era Kekhalifahan Utsmani, ketika proyek reformasi modern mulai dirumuskan oleh elite Muslim seperti Namik Kemal, Muḥammad ‘Abduh, dan Sayyid Ahmad Khan. Mereka ‘tidak sekedar’ meniru modernitas Eropa, tetapi membangun visi Islam yang rasional, progresif, dan sah dalam bingkai modernitas.
Transformasi ini berlanjut dalam pembentukan negara-negara bangsa pasca-Perang Dunia Pertama. Di sinilah proyek Islam modern mulai bercabang menjadi dua: sekularisme negara seperti yang terjadi di Turki, dan Islamisme politik seperti di Mesir dengan munculnya Ikhwān al-Muslimin. Meski tampak bertentangan, keduanya merupakan bagian dari proyek modernitas Islam yang sama-sama berupaya menjawab tantangan zaman.
Islam dan Ilmu Pengetahuan: Universitas Islam sebagai Bentuk Negosiasi
Jung dengan jeli mengangkat contoh tentang bagaimana dunia Muslim merespons tantangan ilmu pengetahuan modern. Salah satunya adalah gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan yang melahirkan gagasan tentang universitas Islam. Di sinilah terjadi negosiasi penting antara sains modern dan epistemologi Islam.
Daripada memusuhi sains, sebagian intelektual Muslim seperti Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi berupaya menciptakan sintesis antara sains dan iman. Tujuannya bukan menolak pengetahuan Barat, tetapi menciptakan kerangka nilai Islam dalam proses akademik. Maka lahirlah institusi seperti International Islamic University Malaysia (IIUM) dan International Institute of Islamic Thought (IIIT), yang mencerminkan bentuk modernitas yang digerakkan oleh nilai-nilai Islam.
Islam dan Ekonomi: Dari Bank Syariah hingga Entrepreneur Muslim
Modernitas Islam juga menampakkan dirinya dalam bidang ekonomi. Jung membahas fenomena keuangan Islam sebagai salah satu bentuk konkret dari Islamic modernity. Lahir dari keresahan terhadap ribā dan eksploitasi sistem kapitalisme, ekonomi syariah mencoba menawarkan solusi keuangan berbasis keadilan sosial dan nilai-nilai spiritual.
Fenomena seperti bank syariah, pasar halal, halal tourism, dan konsep Muslim entrepreneur memperlihatkan bahwa umat Islam tidak hanya menjadi konsumen modernitas ekonomi, tetapi juga pencipta sistem alternatif. Dalam hal ini, praktik seperti zakat, waqf, dan muḍārabah dimodernisasi untuk berfungsi dalam sistem global. Inilah bentuk baru dari “modernitas yang autentik”, menjadi modern tanpa kehilangan akar Islam yang genuine.
Jihād dan Agensi Sosial
Salah satu bab paling menarik dalam buku ini adalah ketika Jung membahas transformasi konsep jihād. Di tangan media global, jihād sering direduksi menjadi kekerasan. Tapi Jung menunjukkan bahwa jihād dalam konteks modern bisa berarti banyak hal: perjuangan melawan kemiskinan, advokasi hak perempuan, hingga pendidikan.
Ia menyebut fenomena ini sebagai multiple jihāds, yaitu berbagai bentuk agensi sosial yang lahir dari interpretasi modern terhadap jihād. Dalam konteks ini, jihād menjadi cara umat Muslim mengartikulasikan identitas dan peran sosialnya dalam dunia global. Dengan demikian, jihād bukanlah antitesis dari modernitas, tetapi bentuk partisipasi aktif dalam dinamika dunia modern.
Fragmentasi dan Keragaman: Mosaik Modernitas Islam
Namun, Jung tidak mendramatisir dalam melihat fenomena ini. Ia mengakui bahwa modernitas Islam tidaklah tunggal. Seiring waktu, proyek-proyek tersebut mengalami fragmentasi. Di satu sisi ada kelompok yang menekankan ortodoksi, di sisi lain ada yang menekankan pluralitas dan toleransi. Ada yang mendukung negara Islam, ada pula yang memilih aktivisme sipil dalam kerangka demokrasi.
Fragmentasi ini mencerminkan bahwa tidak ada satu bentuk Islamic modernity yang hegemonik. Sebaliknya, yang kita temui adalah mosaik; kombinasi beragam proyek dan praktik Muslim dalam menjadi modern. Inilah yang membuat dunia Islam saat ini sangat dinamis dan kompleks.
Islam, Autentisitas, dan Tantangan Ke depan
Bagi Jung, seluruh dinamika ini berputar pada satu pertanyaan: Bagaimana menjadi modern tanpa kehilangan autentisitas sebagai Muslim? Di sinilah Islam memainkan peran penting sebagai sumber nilai, orientasi, dan simbol yang memberikan makna pada proyek modernitas.
Namun, Jung juga memperingatkan bahwa obsesi terhadap “autentisitas Islam” bisa menjadi bumerang. Jika tidak hati-hati, autentisitas bisa menjelma menjadi eksklusivisme, bahkan fundamentalisme. Tantangannya, menurut Jung, adalah menciptakan bentuk modernitas Islam yang terbuka, reflektif, dan mampu berdialog dengan keragaman dunia.
Buku Islamic Modernities in World Society menawarkan pemahaman baru yang sangat penting di tengah kecenderungan polarisasi dunia saat ini. Islam tidak hanya menjadi “yang lain” dari modernitas, melainkan merupakan pemain aktif dalam membentuk dunia modern bukan sekedar ‘figuran’ yang berperan pasif. Lewat berbagai proyek reformasi, inovasi, dan kontestasi, umat Muslim menciptakan bentuk-bentuk kehidupan modern yang sah, kreatif, dan membumi.
Dengan pendekatan sosiologis, Jung membebaskan kita dari dikotomi lama Islam versus Barat. Ia memperlihatkan bahwa modernitas bukan milik Barat, melainkan milik bersama. Dan dalam kepemilikan bersama itu, umat Islam memberikan kontribusi besar yang masih terus berlangsung hingga hari ini.

