Sore itu, Jono kehilangan kunci motornya. Tentu saja, kepanikan pun melanda, karena sudah waktunya pulang bertemu istri dan anaknya. Ia yang bekerja sebagai OB sebuah kantor swasta itu pun merasa khawatir jika pulang terlambat. Beberapa kali istrinya mengkhawatirkannya jika ia pulang lebih lama dari waktunya. Terlebih, kini istrinya sedang mengandung anak kedua.

Dengan sedikit gugup, ia mencoba mengingat-ingat kemana ia pergi seharian ini. Barangkali tertinggal, atau lupa menaruhnya. Beberapa kali ia mondar-mandir, keluar masuk ruangannya yang tak begitu besar dan bahkan rawan kena gusuran atasannya. Terlihat beberapa kali ia menghampiri sepeda motornya yang sudah agak tua itu, namun kuncipun tak kunjung nampak di matanya.

Seorang kawannya, sebut saja Antok menawarkan bantuan mengundang tukang kunci. Namun ia tak langsung mengiyakannya. Sebab, meskipun ia seorang rendahan, ia sangat mempertimbangkan balas jasa. Ia teringat pesan bapaknya untuk tidak mudah berhutang, kepada siapapun jika tidak terpaksa. Itulah mengapa ia tidak tertarik ambil kredit motor baru dan tetap memakai motornya yang sudah mulai menua. Selain prinsip itu, sikap hidup sederhana memang sudah tertanam dalam dirinya sejak kecil. Ia selalu mengatakan, selama masih bisa dipakai tak perlu memaksakan sesuatu di luar kemampuannya. Apalagi hanya untuk urusan ‘gaya’.

Antok yang cukup lama melihatnya modar-mandir pun mengatakan kepada Jono,

“wes ta lah, sampean iku kesuen. Iki wes ape maghrib. Ayo tak terno nyeluk tukang kunci!!”. (sudahlah, mari kuantar panggil tukang kunci).

Jono pun menjawabnya dengan enteng,

“matur nuwun kang. mengko lek wayahe ketemu lak yo ketemu”. (nanti kalo sudah waktunya ketemu pasti akan ketemu). Jawabnya pasrah.

Entah bisikan dari mana ia menjawab dengan penuh keyakinan. Namun hatinya begitu yakin, bahwa kuncinya pasti akan ditemukan.

“sampean balik disik wae kang, mengko mundak digoleki bojomu”. Lanjut Jono.

Memang, secara usia Antok lebih senior dibanding Jono. Sehingga Jono memanggil Antok dengan panggilan ‘kang’ (red. Mas). Dalam tradisi jawa, ‘kang’ berasal dari kata kakang yang menunjukkan senioritas. Dalam tradisi pesantren, biasanya ‘kang’ digunakan untuk panggilan kakak tingkat, baik secara usia maupun ilmu. Jono yang pernah nyantri, paham unggah-ungguh itu. Sehingga ia enggan memanggil Antok dengan “akhi”, sebagaimana rekannya yang lain sekantor.

Waktu semakin sore, kunci motorpun tak kunjung ditemukan. Sesaat kemudian terdengar suara adzan maghrib bersahut-sahutan dari masjid-masjid di sekitar kantornya. Ia pun menghentikan pencariannya, lalu bergegas mengambil wudhu. Ia memulai wudhu dengan niat dan keyakinan dalam hati, bahwa sesuatu yang diniati baik akan mendatangkan kebaikan.

Seusai menyelesaikan wudhunya, kemudian ia pergi ke masjid tak jauh dari kantornya. Ia sholat dua raka’at qabliyah lalu sholat maghrib. Setelah sholat, sebagaimana ritual biasa di kampungnya, ia melakukan wiridan atau dzikir lalu dilanjut dengan dua raka’at ba’diyah. Kemudian dengan penuh kepasrahan ia berdo’a

“ya Allah, jika kunci motor itu memang rejekiku, maka kembalikanlah. Jika memang bukan bukan milikku, maka berikanlah aku rejeki untuk dapat memanggil tukang kunci”. Kemudian ditutup dengan al-fatihah.

Seusai sholat ia berjalan ke kantornya dengan mulut dan hati beristighfar dan memohon ampunan Tuhannya. Tiba-tiba seorang pemuda yang tak dikenalnya berjalan menghampirinya lalu berkata.

“mas, saya mau nitip kunci motor ini. Barangkali besok temannya ada yang mencarinya”. Lalu pemuda itu pergi begitu saja. Sontak Jono pun gembira dan segera bergegas ke ruangannya, berkemas lalu pulang.

Disepanjang perjalanan, ia mengingat-ingat nasihat sesepuhnya di kampung tentang ajaran tawakkal (pasrah) kepada Allah. Namun tawakkal harus disertai ikhtiar dan juga taubat (menyadari kesalahan). Faidza ‘azamta fatawakkal ‘ala allah.

 

*Khadimul Omsan

Komentar