Mohammad Said*

Melihat perkembangan digital Islam belakangan ini yang cukup massif. Kita seperti memasuki babak baru dalam strukturisasi pengetahuan keislaman ummat. Otoritas keagamaan tak lagi tunggal dan monolitik. Tetapi ia menyebar, dan mengalami fragmentasi. Ummat memiliki banyak pilihan, dan mengatur seleranya sendiri dalam memilih tokoh agama.

Generasi muslim milenial yang tak terdidik dalam kurikulum tradisional (pesantren) menikmati gelimang wacana dan ideologi keislaman secara instan. Mereka hidup dalam kultur baru. Tidak terikat secara ideologis yang rigid dengan kelompok Islam tertentu. Mereka membangun ‘iman’ mereka melalui ‘digital Islam’. Di lain sisi, mereka kering wawasan kebangsaan dan kebudayaan. Dengan demikian, tentu saja imaginasi keislaman dan keummatan mereka dalam ruang ber-Indonesia menjadi berbeda.

Akibatnya mereka tak cukup luwes memahami agama, dan cenderung serba hitam-putih. Bagaimana pun juga, kelompok ini sedang bertumbuh dan akan semakin mewarnai ruang publik kita di masa-masa mendatang. Virtuality structures reality!

Jika melihat sedikit ke belakang, era media cetak seperti koran dan majalah telah menjadi lokus pembiakan gagasan keislaman para cendikiawan Islam. Sederat tokoh seperti Nurcholis Madjid, Gus Dur, Munawir Sadjzali, Jalaludin Rahmat, Ahmad Wahib, dan lain lain, memiliki dentuman spektrum pemikiran yang kuat dalam memengaruhi narasi keislaman di Indonesia.

Di seberang lain ada tokoh-tokoh seperti Imaduddin Abdul Rahim, Endang Saifuddin, Abdul Kadir Jaelani, Ridwan Saidi, dan intelektual-intelektual DDI/dewan dakwah Islam Indonesia ( metamorfose Masyumi).

Nama-nama di atas menjadi “kuli tinta” dalam upaya menuangkan pikiran-pikiran mereka di koran-koran dan majalah. Kala itu pengaruhnya sangat luas. Polemik-polemik tentang gagasan keislaman yang dilontarkan mereka menjadi ‘menu utama’ konsumsi ummat.

Kini, nama-nama itu tenggelam. kaum milenial nyaris tak mengenal mereka, apalagi pikiran-pikiran mereka. Jejak dan legasi gagasan mereka tiba pada senjakala. Gus Dur dan Nurcholis Madjid adalah perkecualian. Karena dua sosok ini punya segmen komunal yang ideologis.

Sementara itu, wajah wajah baru muncul mewarnai isi pikiran kaum milenial, yakni para penceramah virtual yang, selama dua tahun belakangan ini sedang mengalami musim semi.

*Peneliti ISAIS UIN Sunan Kalijaga

Komentar