Setiap kali datang bulan puasa, tak ada yang lebih nikmat jadi santapan buka puasa selain soto buatan ibu. Dulu, selama Ramadan soto buatan ibu hanya keluar dua atau tiga kali. Bagi kami memasak soto ayam kampung adalah suatu kemawahan. Jadi, meskipun sangat enak, soto ayam kampung buatan ibu tak bisa sering-sering kami santap.

Jika kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik-baik saja, kami bahkan bisa melewatkan Ramadan tanpa soto ayam buatan ibu. Meski demikian, sesusah apapun keadaannya, soto ayam kegemaran kami itu pasti ada saat lebaran.

Aku ingat, sehari sebelum lebaran bapak akan menyembelih seekor ayam kami. Ia mengambilnya dari kandang di belakang rumah. Kami memang memelihara beberapa ekor ayam. Hanya saja, sebenarnya ayam-ayam itu untuk dijual. Namun, menyembelih seekor di hari istimewa tentu tak mengapa.

Kami sekeluarga lalu sibuk di dapur membantu ibu memasak soto. Ada yang mencari kayu bakar. Ada yang menyalakan api di tungku. Ada yang membantu menguleg bumbu yang sudah disiapkan ibu. Jika sedap aroma soto sudah menguar, rasa lapar kami tak tertahankan.

Di hari lebaran, bersama-sama menyantap soto ayam kampung sebelum salat ied menjadi kebiasan kami. Yang paling kuingat dari soto ayam kampung itu adalah kuahnya yang gurih segar dan ayamnya yang empuk. Berpadu dengan bihun, potongan tipis kentang goreng dan taburan bawang goreng. Nikmat bukan buatan.

Rasanya masa-masa itu adalah masa yang amat pantas dikenang. Masa yang terasa begitu jauh. Masa yang tak mungkin terulang.

*

Karena pekerjaanku yang harus keliling dari kota ke kota, aku punya kesempatan untuk mencicipi soto di banyak kota. Aku datangi warung-warung soto yang direkomendasikan kawanku di setiap kota itu. Harus kuakui soto-soto yang disarankan dan kucicipi itu memang enak, tapi aku merasa soto buatan ibu tetap yang paling enak. Aku tak tahu kenapa bisa begitu. Entah karena memang soto buatan ibu benar-benar belum terkalahkan, atau karena dulu kami menyantapnya saat kami masih hidup susah dan makan soto ayam kampung merupakan suatu hal yang mewah.

Setiap menyantap semangkuk soto, entah di manapun, aku selalu teringat ibu. Seperti ada kenangan yang menyusup di setiap suapan soto. Jika ditanya apa makanan favoritku, aku bisa dengan mudah menjawab: soto. Atau jika tiba di sebuah kota dan ditanya ingin makan apa, tanpa pikir panjang akan kujawab: soto.

Aku merasa soto adalah makanan yang sebetulnya cukup sederhana. Ia juga meyegarkan, apalagi jika kuahnya dimasak dengan sempurna. Soto, bagiku, adalah makanan yang bisa disantap kapan saja, baik pagi, siang atau malam. Cocok saja. Ah, semakin jauh membincang soto aku jadi semakin kangen ibu!

Setelah ibu wafat, tradisi memasak soto saat lebaran seketika raib. Ketiga adik perempuanku, meski sudah belajar memasak soto kepada ibu, tak ada yang sepenuhnya mewarisi keahlian ibu memasak soto.  Pernah dalam suatu kesempatan adikku coba memasak soto seperti yang dimasak ibu, tapi ia tak berhasil. Kuahnya tidak gurih dan segar, suwiran ayamnya pun tak empuk. Justru kuah soto buatan adikku terasa asin. Berkali-kali ia mencoba tapi tetap gagal.

Anehnya, hal yang sama dialami oleh adik perempuanku yang lain. Mereka merasa selalu gagal memasak soto ayam kampung. Ketiga adikku tak ada yang tinggal di kota kelahiran. Kini mereka berpencar, ada yang tinggal di Jakarta, Semarang dan Surabaya, mengikuti suami mereka yang bekerja di sana. Sedangkan aku tinggal di Solo. Rumah masa kecil kami, di Ponorogo, kini ditempati oleh paman kami, adik ibuku.

*

Pada suatu ketika di bulan puasa, aku tiba-tiba kangen sekali soto ayam buatan ibuku. Aku memberanikan diri membuatnya bersama istriku. Sejak pagi aku sudah sangat antusias, menemani istri belanja di pasar. Sejak duhur kami sudah sibuk di dapur. Hingga tersajilah soto ayam di meja makan kami saat buka puasa. Anak dan istriku tampak lahap menikmati soto ayam itu. Akupun demikian. Tapi dalam hati kecil aku berkata: ini tidak sama dengan soto buatan ibu.

Di grup WA keluarga aku bercerita kepada adik-adikku bahwa aku berusaha membuat soto ayam seperti yang ibu bikin dulu tapi gagal. Mereka mengeluhkan hal yang sama, sampai-sampai merosot rasa percaya diri mereka saat akan memasak soto. Padahal dulu mereka belajar langsung kepada ibu di dapur.

Karena merasa gagal memasak soto ayam kampung seperti yang dimasak ibu, kini adik-adikku memilih menyajikan hidangan lain untuk keluarganya di hari lebaran. Ada di antara mereka yang lebih memilih opor ayam, ada yang memasak rendang, ada juga yang menyajikan sambel goreng ati.

*

Waktu melaju. Hari-hari berlalu. Suatu hari aku dipertemukan dengan tukang masak kondang tak jauh dari rumahku. Bude Sarni namanya. Sama sepertiku, ia juga berasal dari Ponorogo. Aku memintanya memasak soto. Kuceritakan seperti apa soto buatan ibuku yang kurindukan. Soto itu ingin kusajikan ketika lebaran.

Bude Sarni menyanggupi. Hari yang dinantikan itu pun akhirnya tiba. Soto terhidang di meja makan, di hari pertama lebaran. Ketika keluarga kecilku telah berkumpul, aku segera menyantap soto. Pada suapan pertama, aku tertegun. Betapa enak soto ini, betapa mirip. Aku lantas melanjutkan suapan-suapan berikutnya. Hingga akhirnya aku kecewa. Ada sesuatu yang kurang dari soto ini. Sialnya, aku tidak tahu apa yang kurang.

Aku termenung cukup lama setelah menandaskan semangkuk soto. Kuakui soto bikinan Bude Sarni ini memang sedap. Tak heran ia dikenal sebagai tukang masak kelas wahid. Aku juga hampir bernostalgia dengan soto ayam kampung buatan ibuku. Namun, lagi-lagi aku merasa ada yang kurang dari soto ini.

*

Ramadan demi ramadan terlewati. Hingga kami tiba di Ramadan tahun ini. Pada Ramadan hari kesepuluh, di group WA keluarga muncul gagasan untuk berlebaran bersama di Ponorogo. Karena tinggal di kota berbeda, hal semacam itu sulit sekali kami lakukan. Tidak pernah komplit kami berkumpul saat lebaran. Syukurlah, adik-adikku meyatakan tahun ini bisa mudik ke Ponorogo di hari pertama lebaran.

Aku pun mengajak keluargaku mudik ke Ponorogo, bahkan lebaran kurang dua hari kami sudah berada di Ponorogo. Di rumah itu hanya ada pamanku yang terlihat semakin tua.

Aku mengamati rumah masa kecilku dengan saksama. Banyak yang telah berubah memang. Tapi ada sesuatu yang seperti terus menetap dan mengendap, entah apa.

Ada perasaan sentimentil ketika di malam lebaran aku ikut takbiran di masjid dekat rumahku. Dadaku penuh. Rasanya lama sekali aku tak dihinggapi perasaan semacam ini. Cerita-cerita dari masa lalu seolah memenuhi kepalaku. Wajah ibu, wajah bapak, silih berganti muncul di ingatan. Pulang dari masjid aku sempat bertemu dengan teman-teman masa kecilku yang kebetulan juga sedang mudik.

Malam begitu larut. Aku terbangun karena mendengar suara benda jatuh, sepertinya dari dapur. Kupandangi istri dan anakku, lelap tidurnya. Kulihat jam dinding, pukul tiga kurang lima menit. Mendadak aku teringat belum menyetrika sarung dan kemeja yang akan kupakai untuk salat ied.

Selesai menyetrika, kantukku hilang dan aku ingin minum teh. Aku pun ke dapur untuk menyeduh teh. Hanya saja, ketika hampir sampai dapur langkahku terhenti. Aku seperti melihat sosok ibu di dapur, duduk di depan tungku. Kuusap mukaku dan ternyata aku tidak melihat apa-apa di sana.

Di teras yang begitu sunyi aku menyeruput teh tubruk panas. Sebelumnya aku telah mengirimkan Al-Fatihah, untuk ibuku, untuk bapakku. Sayup-sayup kudengar suara takbir di kejauhan. Kunyalakan kretek sambil melamunkan banyak hal.

Lamunanku buyar ketika azan subuh berkumandang dan sebuah mobil memasuki halaman rumah. Rupanya adikku dari Semarang datang. Seketika sunyi pecah. Tak lama, datang lagi mobil. Itu adikku dari Surabaya. Suasana rumah makin riuh. Adikku dari Jakarta berkabar akan datang siang nanti.

Sore itu, setelah kami lengkap berkumpul, entah ide dari siapa, kami tiba-tiba sepakat untuk membuat soto bersama-sama. Sambil bernostalgia memasak di dapur keluarga kami dulu. Kami berbagi tugas. Ada yang menyiapkan ayam, ada yang sibuk dengan bumbu dan ada yang menyiapkan api di tungku. Dapur jadi begitu hidup. Kami seperti kembali ke sebuah masa yang kami rindukan: masa kecil kami.

Lepas maghrib soto telah siap di meja makan. Kami berkumpul di sekitar meja makan untuk menikmatinya. Ketika menyeruput kuah, adikku yang bungsu tiba-tiba memekik. Katanya, rasa soto ini mirip sekali dengan soto buatan ibu. Lalu masing-masing kami dengan lahap menikmati soto ayam kampung itu. Kami sepakat, soto yang kami makan malam itu memang begitu mirip dengan soto buatan ibu. Kembali kurasakan kuah gurih dan segar itu, juga suwiran ayam yang begitu empuk. Ajaib, setelah sekian lama misteri itu akhirnya terpecahkan!

Jadi, inikah rahasianya? Soto ayam kampung harus dimasak bersama-sama dan kami santap bersama pula, di Ponorogo, di rumah tempat kami dilahirkan? Bisa jadi begitu.

Usai makan, aku mengisap kretek di teras. Di halaman aku melihat sesosok perempuan yang amat kukenal. Ibu?! Ia berjalan pelan, ditelan kabut. Aku menitikkan air mata.

Komentar