Nur Rohman*

Setiap manusia pasti menginginkan hidup bahagia, mempunyai kekasih, menikah dan mendapatkan buah hati. Keinginan itu menjadi fitrah bagi semua manusia. karena memang manusia diciptakan berpasangan dan diciptakan darinya keturunannya baik laki-laki maupun perempuan (Q.S. 4: 1).

Keinginan mempunyai pasangan hidup itu, biasanya dibarengi dengan keinginan untuk mendapatkan tambatan hati yang baik pula. Jika seorang laki, maka ingin mendapatkan wanita yang cantik, sholihah, kaya, menarik, dan sebagainya. Pun demikian dengan wanita, yang mendambakan sosok lelaki yang tampan, menawan, smart, mapan, lembut, pengertian, kaya, dan sebagainya. Jika semua keinginan ini diikuti maka tak akan ada habisnya. Dan ketahuilah bahwa yang sempurna seperti itu hanya ada di dalam film drama korea.

Berkaitan dengan pernikahan, ada kisah menarik tentang seorang tokoh sufi perempuan bernama Rabi’ah Al-Adawiyah. Cerita tentangnya mungkin sudah masyhur di kalangan cerdik cendikiawan muslim. Rabiah Al-Adawiyah adalah salah satu tokoh sufi yang mengajarkan tentang mahabbah ila allah. karena keindahan akhlaknya, banyak para pria sholeh datang dan melamarnya. Namun tak satupun berhasil menggantikan cintanya kepada Allah. Kemabukannya terhadap Allah, membuatnya tidak menikah selama hidupnya.

Dikisahkan suatu ketika ada salah seorang pemimpin yang sangat berwibawa dan disegani datang kepada Rabi’ah Al-Adawiyah. Pemimpin itu bermaksud ingin melamar Rabi’ah sebagai istrinya.  Rabi’ah pun mengatakan “apa yang kamu suka dariku”?. Seorang pemimpin itupun menjawab dengan hendak merayu, “Ku suka matamu”. Alih-alih tersipu malu mendengar rayuan itu, Rabi’ah justru menjawab “Kalo begitu, congkel saja mataku lalu kau simpan untukmu”. Mendengar jawaban ini, sang pemimpin pun tak lagi melanjutkan maksud lamarannya.

Di lain waktu, ada juga seorang alim yang datang untuk melamar Rabi’ah. Sang alim pun tak juga berhasil mengambil hati Rabi’ah, sebab tak bisa menjawab pertanyaan yang sangat sulit. Ketika itu Rabi’ah bertanya, “jika aku menikah denganmu, apakah kau bisa menjamin aku bertemu Allah?”. mendengar pertanyaan ini, sang alim pun bingung. Sebab, jangankan menjamin wanita pinangannya itu, menjamin dirinya sendiri saja dia tak sanggup. Maka sang alim menjawab “tentu saja saya tak bisa”. Mendengar jawaban itu, Rabi’ah mengatakan “Kalo begitu, saya akan menikah dengan Allah saja”.

Kisah di atas menggambarkan kepada kita tentang mabuknya Rabi’ah Al-Adawiyah kepada Allah. Salah satu ajarannya yang terkenal adalah tentang mahabbah ila Allah atau cinta kepada Allah. Dengan perasaan mabuk kepada Allah yang sangat mendalam ini, Rabi’ah al-Adawiyah merasa sudah tidak butuh apapun lagi di muka bumi ini. Meskipun demikian, Rabi’ah bukanlah seorang yang menentang pernikahan.

Perasaan cintanya kepada Allah melampaui hawa nafsunya. Ia tidak lagi peduli dengan dirinya sendiri. Karena sebagaimana orang yang mabuk dalam cinta, yang penting baginya adalah kekasihnya. Bahkan ia pernah mengatakan “Ya Allah, jika ibadahku ini hanya menginginkan surgamu, maka bakarlah aku di neraka. Karena aku hanya ingin bertemu denganmu dan yang ku minta adalah ridhamu”.

Di saat orang-orang mulai merasa bahwa dirinya yang bisa mendominasi surga, Rabi’ah sudah tidak lagi menginginkan itu. Karena yang ia harapkan adalah berjumpa dengan Allah dan ridha-Nya. Logikanya, jika Allah sudah ridha kepada kita, maka apapun akan terasa nikmat. Itulah salah satu maqam (tingkatan) spiritualitas dalam hidup ini yang  selalu kita minta, yakni ridha Allah. Maka biasanya kita berdo’a, ‘Allahumma Inna Nasaluka ridhaka wa al-jannah wa na’udzubika min sakhotika wa annar”.

Wallahu a’lam.

Komentar