Arif Nuh Safri*
Alhamdulillah, kita dipertemukan kembali dengan bulan Syawwal. Bulan yang dipandang dan dianggap sebagai bulan kemenangan. Oleh sebab itu ada doa yang terlantun ketika sebelum memohon maaf sesama sanak famili, yaitu min al-aidin wa al-faizin (semoga termasuk golongan yang kembali dan menang/beruntung). Di antara berbagai doa dan harapan serta tradisi yang dilakukan pada bulan ini, adalah tradisi yang mengakar kuat di tengan-tengah warga Indonesia, yaitu Syawalan.
Ritus atau tradisi syawalan yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah halal bi halal menjadi ciri khas yang sangat melekat pada warga Indonesia. Walau demikian, pelabelan nama ini sebenarnya masih sangat kental dengan bahasa Arab.
Syawwal yang terambil dari salah satu nama bulan Hijriyah adalah bermakna peningkatan, lalu kemudian dikenal dengan istilah Lebaran, atau Hari Raya Idul Fitri.
Sedangkan halal bi halal adalah dari kata halal, yang jika didefenisikan secara etimologi berarti sesuatu yang halal dicampur dengan yang halal. Namun demikian, ritus atau tradisi yang melekat dalam tradisi syawalan ini sangat kental dengan tradisi Nusantara, yaitu dengan ciri khas masing-masing daerah. Oleh sebab itu, nama syawalan atau halal bi halal sudah menjadi salah satu kata yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dalam kamus ini, dijelaskan bahwa halal bi halal adalah maaf-memafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan oleh sekelompok orang di tempat tertentu. Dengan demikian, moment ini menjadi saat dimana masyarakat Indonesia berkumpul bersama dengan berbagai macam keberagaman yang ada. Semua hadir dengan kesadaran bahwa setiap individu membawa kesalahan sosial yang harus dimintai kemaafan dari orang lain.
Sebagai ritus atau tradisi nusantara, dengan berbagai ciri khas dari daerah dan suku masing-masing, syawalan menjadi kekayaan khazanah bangsa Indonesia yang penuh dengan makna dan nilai-nilai luhur. Oleh sebab itu, selayaknya ritus atau tradisi ini tidak dicukupkan hanya pada ranah simbolik semata. Sehingga, ketika syawalan, kebersamaan dan keharmonisan antara anggota masyarakat benar-benar terwujud, rasa saling menghormati dan menghargai melebur bersama dalam kesadaran setiap individu sebagai bagian dari komunitas.
Dalam tradisi Jawa misalnya, sajian Kupat (Laku Lepat), menjadi simbol yang mengandung empat makna, yaitu lebar (luas), lebur (kesalahan diampuni), luber (pahala yang banyak), dan labur (wajah ceria). Artinya, tradisi ini benar-benar menyadarkan kesetaraan status yang sama-sama harus meluaskan hati untuk memohon dan memaafkan, hingga kesalahan diampuni oleh Tuhan yang Maha Kuasa, dan pada akhirnya sama-sama pula mendapatkan balasan dan pahala, serta sama-sama merasakan dan mencapai kebahagian.
Pada akhirnya, tradisi yang begitu sarat makna nan adi luhung ini, harus menjadi nilai yang perlu dipertahankan dan dihidupkan dengan berbagai konsep yang terus dikembangkan berdasarkan perkembangan zaman. Sehingga tidak selalu terkesan simbolik dan rutinitas absurd yang tanpa makna dan bekas.
Belajar dan merenung dari fenomena bangsa yang seolah terpecah dan terganggu selama beberapa bulan belakangan, selayaknya sudah saatnya untuk diakhiri.
Kesadaran bahwa Ramadan adalah momen untuk menahan diri dari segala yang merusak diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa, serta menahan kerusakan ibadah, seyogianya harus terus ditingkatkan di bulan Syawwal ini. Karena bulan ini, identik dengan tradisi halal bi halal untuk saling membuka diri dan melebarkan dada serta rasa untuk memohon maaf dan memaafkan. Momen ini seringkali menjadi saat dimana si orang kaya membuka pintu rumah untuk berbagai harta dan rasa sebagai bentuk empati sosial. Momen dimana seorang umara atau pemimpin sering kali melakukan open house untuk menjamu dan melayani rakyatnya. Momen dimana sebuah lembaga formal dan informal membuka ruang untuk melebur antara pimpinan dan karyawan.
Prinsipnya adalah, bulan ini digunakan oleh semua pihak sebagai momentum memohon maaf dan memaafkan.
Jikalau moment ini digunakan untuk bertukar pikiran, saat dimana seorang pemimpin mendengar aspirasi rakyat, kala perbedaan dipandang sebagai keindahan yang tak perlu disatukan, masa dimana keberagaman dipandang sebagai kekuatan yang saling mengukuhkan, maka nilai dan makna tradisi ini tidak akan hilang dan hangus berdasarkan temponya yang hanya berlaku setahun sekali.
Syawalan atau halal bi halal selayaknya tidak sekedar seremonial lisan yang digunakan sekedar meminta maaf dan memaafkan. Namun, harus menjadi moment yang mendorong terwujudnya persatuan dan kesatuan rasa, karena dilakukan dengan latar belakang kesadaran dan kejujuran.
Dengan demikian, moment ini mampu melahirkan dan menghadirkan kecairan dan kesediaan setiap individu untuk menghilangkan segala sekat dan strata sosial, egoisme, sektarian, dan fanatisme golongan.
Sebagai sebuah ritus atau tradisi nusantara, syawalan sudah mengakar kuat dalam membentuk keharmonisan masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, selayaknya moment ini menjadi aktifitas yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah setiap individu dengan keluarga, saudara, sahabat, kolega, dan seluruh manusia secara umum.
Dalam konteks bangsa Indonesia, syawalan sudah sepantasnya ini menjadi moment untuk meningkatkan kesadaran dan kualitas persaudaraan sebangsa dan setanah air yang menembus sekat perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Dalam bingkai Kebhinnekaan, syawalan adalah momentum tahunan dalam merajut kembali nilai-nilai kebangsaan yang mulai kusut dan terpecah.
Pada akhirnya, semoga syawalan dan halal bi halal tahun ini mampu memberikan ruang yang sejuk dan damai untuk memahami kembali bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat dengan keberagamannya, bangsa yang indah dengan perbedaaannya, dan bangsa yang cerdas dengan kesadaran sejarah dan historisnya. Sehingga tidak ada lagi kekacauan dan perpecahan atas nama kepentingan apa pun, serta tidak ada lagi penindasan atas dasar, serta atas nama apa pun juga. Semoga!
*Dosen Institut Ilmu al-Quran (IIQ) Annur Yogyakarta