Muhammad Makmun*

Laku atau sikap ilmiah merupakan hiasan terindah yang semestinya melekat bagi para ilmuan, akademisi, para pecinta dan mereka yang bergelut dengan dunia pengetahuan dan ilmu. Karakter ilmiah tentu saja tidak boleh dibatasi, sehingga ia menjadi sempit dan hanya melekat pada wilayah proses, mekanisme, teknis dan objek pengetahuan atau ilmu itu sendiri dan terpisah dari subjeknya (manusianya). Sebaliknya sikap ilmiah adalah bukti nyata dari orang-orang yang bergelut dengan pengetahuan sebagaimana karakter objeknya (pengetahuan) itu sendiri.

Dalam menyikapi perbedaan sudut pandang, pendapat dan hasil temuan mengenai pemikiran tertentu misalnya, dibutuhkan satu sikap ilmiah dari seseorang pemikir/ilmuan terhadap pemikir lainnya, yaitu sikap kebebasan berfikir dan budaya toleransi.

Jamal al-Banna (salah seorang pemikir dari Mesir) dalam bukunya Ilhamat Qur’aniyyat misalnya berpandangan bahwa tidak ada satupun yang menggambarkan kematangan sikap ilmiah seseorang terhadap orang lain kecuali sikap toleran dan kebebasan berfikir yang melekat dalam setiap individu. Ia menukil perkataan Imam al-Syafi’i (w. 204 H) yang memberikan tauladan istimewa terkait sikap seorang pemikir terhadap pemikir lainnya.

Dalam ungkapannya yang sangat popular, Imam al-Syafi’i berkata:

كلامي صواب يحتمل الخطأ، وكلام غيري خطأ يحتمل الصواب

Artinya: Pendapatku (bisa saja) benar (namun) berpotensi salah, sementara pendapat orang lain (bisa saja) salah (namun) berpotensi benar.

Ungkapan Imam al-Syafi’i di atas, menurut Jamal al-Banna cukup mewakili ungkapan-ungkapan lain yang sejenis yang secara substansial menggambarkan puncak dari karakter bawaan manusia yaitu sama-sama memiliki potensi benar dan salah. Satu kebenaran yang dihasilkan manusia tetap saja menyisakan celah untuk salah, sebaliknya kesalahan (pandangan) yang dihasilkan manusia juga masih menyimpan dan membuka peluang-peluang kebenaran.

Tidak ada seorangpun yang meragukan puncak kehebatan pendapat Imam Syafi’i di atas. Namun demikian, menurut Jamal a-Banna, perbedaan pendapat sebagaimana digambarkan Imam al-Syafi’i ini masih pada wilayah kemungkinan dua orang yang berbeda pendapat ini yang satu benar dan yang satu salah atau sebaliknya. Padahal menurut Jamal al-Banna, di dalam Alqur’an sendiri terdapat satu isyarat yang membuka peluang baru yaitu sangat mungkin terjadi kedua orang yang berbeda pendapat ini sama-sama benar atau sama-sama salahnya.

Di dalam Q.S. Saba’ ayat 24 Allah berfirman:

……..وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Artinya: ……..dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.

Bagi Jamal al-Banna, Aqur’an lebih menitik-beratkan dan mengedepankan sisi-sisi persamaan yang dominan di masing-masing dua kelompok yang berbeda pendapat dari pada sisi-sisi perbedaannya. Hal inilah yang oleh Jamal al-Banna disebut sebagai al-taujih al-tsamin atau petunjuk yang berharga dari Alqur’an dalam dunia pemikiran yang sering dilupakan oleh para mufassir, penulis dan pemikir sekalipun.

Tidak berhenti di situ, dalam lanjutan ayat di atas Allah berfirman:

قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ، قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ

Artinya: Katakanlah: ‘Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat’. Katakanlah: ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui’. (Q.S. Saba’: 25-26)

Ayat-ayat di atas menurut Jamal al-Banna memberikan isyarat yang nyata bagi manusia dan umat muslim khususnya untuk selalu terbuka dengan perbedaan. Keterbukaan ini pada gilirannya nanti diharapkan mampu membuka dengan lebar dan memunculkan perspektif yang baru dan etika yang sopan atau santun dalam mengelola perbedaan pendapat.

Sudah tidak saatnya para pemikir khususnya dari kalangan umat muslim untuk terus menerus berhenti hanya dalam sisi perbedaan yang semakin tajam, karena dikhawatirkan akan terjerumus dan terjebak di dalamnya. Yang perlu dilakukan justru bagaimana membuka dimensi persamaan yang darinya bisa semakin mendekatkan kelompok-kelompok yang berbeda.

Tidak ada yang memungkiri bahwa Alqur’an telah memberikan petunjuk istimewa mengenai dunia pemikiran, perbedaan pendapat dan sikap seseorang terhadap lainnya dan seabreg petunjuk di dalamnya.

Yang sangat disayangkan oleh Jamal al-Banna sebagaimana yang terjadi dan jamak dirasakan oleh khalayak justru adalah fakta bahwa golongan yang terakhir atau terlambat atau justru meninggalan petunjuk Alqur’an ini adalah kaum muslimin itu sendiri.

Kaum muslimin seakan-akan telah kehilangan daya rasio dan toleransinya lantaran terjebak dalam sempitnya cakrawala pemikiran dan fanatisme yang buta. Mereka inilah yang digambarkan oleh Jamal al-Banna mau menerima ayat-ayat Allah dan kemudian berperilaku sebaliknya. Seakan-akan benar pepatah yang mengatakan, Alqur’an berada di satu lembah, sementara kaum muslimin berada di lembah yang lain. Na’udzu billah.

Ngaliyan Semarang, 4 Juli 2019

*Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo

Komentar