Alfin Miftahul Khairi*

Masih asing dengan judul di atas? Jika iya, saya lengkapi potongan pepatah jawa tersebut. Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana, yang artinya “nilai jiwa seseorang terlihat dari bahasanya, nilai raga seseorang dari pakaiannya”. Makna yang terkandung di dalamnya penuh dengan perenungan yang sangat mendalam. Tentang bagaimana manusia untuk bersikap dan berinteraksi kepada sesama.

Bukan tanpa sebab leluhur kita menekankan sopan santun dan budi pekerti sebagai nomor satu. Sebagaimana Rasulullah yang diutus ke bumi untuk memperbaiki akhlak umatnya. Akhlak erat kaitannya dengan karakter pribadi seseorang. Dan juga yang membedakan antara satu dengan yang lain. Terutama penggunaan bahasa.

Penggunaan bahasa menjadi bagian tak terpisahkan dari akhlak seseorang. Dalam bertutur kata harus ada rambunya. Hinaan, cacian adalah sedikit contoh dari penggunaan bahasa yang tidak bijak. Sudah banyak contoh korban dari hal tersebut. Hingga nyawapun jadi taruhannya. Seperti yang terjadi di Desa Tawangsari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. NM (32) tega membakar mertuanya, LM (57) dengan bensin akibat sering dihina oleh mertuanya (kompas.com, 2019).

Ajining Dhiri Ana Ing Driji

Arifin (2019), salah satu penulis dalam buku Dari Halliday Hingga Hanan Attaki; Generasi Milenial Membincang Generasi Z menilai ada pergeseran makna dari pepatah jawa di atas. Kata “lathi” menjadi “Driji”. Arti lengkapnya adalah nilai jiwa seseorang ada di jari. Mengapa jari? Mari saya jelaskan.

Menurut laporan survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) dan Polling Indonesia di tahun 2018, Pengguna internet di Indonesia berada di angka 171.176.716,8 orang, dari jumlah penduduk 264.161.600 orang (proyeksi BPS, 2018). Secara tidak langsung, pengguna handphone dapat dipastikan sejumlah angka tersebut. Jika satu orang mempunyai dua smart phone, tinggal dikalikan saja jumlahnya.

Penggunaan smartphone tidak dibarengi dengan bijak oleh penggunanya. Jari seakan mempunyai kuasa penuh atas apa yang akan kita pikirkan. Spontan dan membabi buta. Kata-kata yang tidak pantas mudah sekali kita temukan di media sosial. Meski si pemilik berbusana muslim/muslimah dengan baik.

Kesadaran akan dampak yang diakibatkan oleh ulah ‘jari’ netizen sering terabaikan. Perang kata di sosial media sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tak luput juga keluarga, anak dan hal-hal yang berkaitan menjadi bahan hinaan lawannya. Meski tidak kenal dan tidak pernah bertemu.

Kasus di Sampang, Madura menjadi contohnya. SB meregang nyawa akibat ditembak oleh ID saat mereka berpapasan di jalan. Semua berawal dari postingan ID di situs jejaring sosial FB terkait Capres yang didukungnya. Korban tidak terima atas postingan tersebut. Kemudian mereka berdua cekcok di dunia maya yang berlanjut di dunia nyata hingga berujung maut.

Tata krama menjadi nomor kesekian di ranah media sosial. Kita seakan hidup di dunia yang berbeda. Dunia tanpa batas. Karena tanpa batas, Tak jarang netizen mudah menyalahkan, menghina, menghukumi, memaki orang lain yang berbeda pandangan dengannya. Tanpa ada unggah-ungguh dan bersikap layaknya seorang muslim yang menghormati saudaranya sendiri.

Saya jadi ingat saat kuliah magister di Semarang. Ada salah satu dosen yang saya kagumi. Seorang guru besar dalam bidang Bimbingan Konseling. Pernah suatu ketika salah satu teman saya share screenshot WA beliau kepada rekan kerjanya, mantan mahasiswa beliau saat S1 dan S2. Penggunaan bahasa percakapan WA tersebut sangat-sangat sopan, Njawani. Mencerminkan tingkat pendidikan beliau yang sudah meraih gelar profesor.

Sudah saatnya kita sebagai orang yang berpendidikan mencerminkan sikap sesuai dengan apa yang kita dapatkan di bangku sekolah. Dari level sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ilmu yang tinggi harus dibarengi dengan akhlak yang tinggi pula. Menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Seperti Rasulullah yang sangat mencintai umatnya tanpa memandang SARA. Semoga.

*Aktif mengajar di jurusan Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta.

Komentar