Salah satu pelajaran berharga yang bisa didapatkan di masa Ramadan, apalagi saat bangsa Indonesia dan seluruh dunia sedang berjuang melawan wabah Covid-19 adalah berlapang dada dan bersiap menerima berbagai perbedaan dan keragaman, luwes dalam bersikap dengan perbedaan. Beberapa hal di bawah ini adalah contoh bagaimana pelajaran tentang bersiap menerima perbedaan dan keragaman dan sikap luwes di masa Ramadan ini.
Saat kita memasuki bulan Ramadan, sudah ada perbedaan yang sering terjadi di antara umat Islam terkait metode penetapan awal bulan hijriah, terutama Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Seringkali terjadi, umat Islam di Indonesia memulai puasa Ramadan, atau merayakan Idul Fitri tidak dengan bersamaan karena adanya perbedaan metode penetapan awal bulan hijriah. Ada yang menetapkan berdasar pada konsep wujudul hilal, seperti Muhammadiyah, ada yang menetapkan berdasar pada hasil rukyah secara faktual seperti NU. Itupun masih ada yang berbeda terkait batas minimal kriteria hilal bisa dikatakan mungkin dilihat secara faktual, baik dengan mata tanpa alat maupun melalui peralatan semisal teleskop. Akan tetapi, di beberapa tahun belakangan ini, perbedaan dalam memulai puasa Ramadan sepertinya tidak terjadi. Selain karena memang posisi hilal yang “menguntungkan” secara astronomis, nampaknya juga karena mulai adanya kesadaran tentang pentingnya menerima perbedaan dengan baik dengan mengikuti ketetapan pemerintah dalam memulai puasa Ramadan.
Ramadan tahun 1441 atau tahun 2020 ini misalnya, dapat dikatakan bahwa mayoritas umat Islam memulai puasa Ramadan dengan bersama walaupun jika mau dibahas secara lebih teliti, laporan rukyah di 2 tempat yang disampaikan sulit dibuktikan secara ilmiah. Selain masih jauh di bawah kriteria visiblitas hilal internasional, laporan itu tidak disertai dengan bukti foto kenampakan hilal. Walaupun begitu, ternyata seluruh para penganut rukyah tetap mengikuti ketetapan pemerintah untuk memulai puasa Ramadan berdasar pada laporan rukyah yang dianggap masih bisa diperdebatkan secara ilmiah. Perbedaan dalam hal itu tidak menghalangi kesatuan dalam memulai Ramadan di tahun 1441 H ini. Ada keluwesan dalam memegang konsep visiblitas hilal, walaupun “belum terbukti” secara ilmiah di dunia internasiona hilal dengan kriteria awal Ramadan 1441 mampu dilihat dengan mata tanpa alat.
Persoalan lain yang juga menjadi contoh bagaimana belajar menerima perbedaan dan keragaman adalah tentang pelaksanaan salat tarawih. Umat Islam Indonesia melaksanakan kesunnahan bulan Ramadan, salat tarawih, dengan cara yang berbeda-beda. Ada sebagian yang melakukannya dengan 20 rakaat ditambah dengan 3 rakaaat witir, dan sebagian lain melakukannya dengan 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Bila beberapa tahun yang lalu bisa dikatakan bahwa jumlah rakaat ini seolah menjadi “identitas” organisasi keagamaan, maka beberapa waktu ini seolah tidak lagi benar-benar dipertahankan sebagai sebuah identitas. Banyak warga yang awalnya “beridentitas” 20 rakaat, saat ini dengan “tanpa berdosa” melakukan tarawih dengan 8 rakaat. Pun yang “beridentitas” 8 rakaat, tidak masalah saat harus tarawih dengan 20 rakaat. Artinya, sebenarnya Ramadan mengajarkan pada kita bagaimana bersikap dalam melihat berbagai perbedaan dalam pelaksanaan ibadah.
Masa pandemi saat ini, sikap luwes dan siap menerima berbagai perbedaan juga sangat penting dimunculkan dan dijadikan pelajaran berharga. Saat ada anjuran, himbauan dan bahkan instruksi untuk melakukan salat tarawih di rumah misalnya, maka tidak selayaknya yang salat tarawih berjamaah di masjid merasa “lebih sunnah” dan lebih utama dibandingkan yang melakukannya di rumah. Apalagi, terdapat riwayat yang masyhur bahwa Rasulullah salat tarawih berjamaah di masjid pada saat itu hanya 3 (tiga) malam, yakni malam 23, 25 dan 27 Ramadan.
Bahkan terdapat riwayat, sebagaimana dikutip KH. Ali Maksum dalam karyanya Hujjah Ahl as-Sunnah wa al Jama’ah, bahwa Rasulullah hanya keluar untuk salah tarawih berjama’ah di dua malam saja. Salat tarawih dengan berjamaah di masjid selama Ramadan secara penuh, baru dilakukan pada pertengahan masa kekhalifahan ‘Umar ibn al-Khaththab dengan menjadikan sahabat Ubay bin Ka’b sebagai imam bagi para jamaah laki-laki dan Sulaiman bin Abi Hatsamah sebagai imam bagi para jamaah wanita. Artinya, himbauan untuk salat tarawih di masjid dengan berjamaah pada akhirnya harus disikapi dengan baik dan bijaksana dengan melihat pada berbagai riwayat terkait pelaksanaan salat tarawih. Tidak harus bersikeras melakukan salat tarawih berjamaah di masjid dengan alasan lebih sesuai dengan sunnah dan mengabaikan anjuran pemerintah dalam hal ini.
Pelaksanaan zakat fitrah di Indonesia pun berbeda-beda. Ada yang dengan “ketat” berpendapat bahwa zakat fitrah hanya bisa ditunaikan dalam bentuk beras atau makanan pokok, dan ada yang dengan longgar menyatakan bahwa zakat fitrah dapat ditunaikan dengan mengeluarkan qimah atau harga, yaitu uang tunai seharga beras dan makanan pokok. Keluwesan dan kesiapan dalam melihat perbedaan ini juga sangat diperlukan karena kedua pendapat tersebut memiliki landasan dalam turats fikih Islam, yakni madzhab Syafi’i untuk pendapat pertama dan madzhab Hanafi untuk pendapat kedua.
Praktik yang dilakukan di Indonesia mengajarkan kepada kita semua bahwa kedua pendapat itu berjalan dengan baik. Yang paling penting dari kedua praktik itu adalah tujuan utama zakat fitrah, yakni ketersediaan bahan makanan dan kecukupan pangan di masa Idul Fitri untuk membuat para kaum fakir miskin turut berbahagia dengan perayaan Idul Fitri dapat tercapai. Tujuan utama itulah yang seharusnya dijadikan panduan, apalagi di masa pandemi ini, dengan melihat perbedaan praktik pembayaran zakat fitrah itu sebagai sebuah kelonggaran, keluwesan dan keluasan beragama.
Walaupun masih ada beberapa contoh yang lain, akan tetapi contoh terakhir yang dapat disajikan dalam hal ini adalah pelaksanaan salat Idul Fitri, yang di Indonesia dapat dilihat adanya keragaman dalam pelaksanaannya. Sebagian melakukannya di lapangan atau tanah lapang, dan sebagian lain melaksanakannya di masjid-masjid. Keragaman dalam pelaksanaan salat Idul Fitri ini juga memberikan pelajaran berharga pada kita semua tentang bagaimana Ramadan dan ritual yang ada di dalamnya serta yang mengiringinya tentang luas dan luwesnya beragama dalam Islam.