Islamsantun.org. Islam merupakan agama yang penuh dengan kearifan. Tidak pernah membebankan sebuah perintah yang terlalu berat sehingga tidak bisa diamalkan oleh pemeluknya. Karena filosofi diturunkannya agama ini mutlak merupakan wujud konkret dari kasih sayang Allah Ta’ala terhadap umat manusia.

Islam adalah agama yang lentur. Tidak kaku. Orang sakit yang tidak kuat untuk berpuasa di bulan Ramadhan, boleh tidak berpuasa. Orang yang tidak kuat untuk melaksanakan shalat wajib dengan berdiri, boleh melaksanakannya dengan duduk.

Orang yang tidak mempunyai biaya untuk ke Mekkah dalam rangka melaksanakan ibadah haji, tidak wajib dia berhaji. Orang yang tidak memiliki harta benda yang harus dizakati, tidak wajib dia berzakat. Sehingga untuk banyak orang Islam, rukun Islam yang lima itu hanya tinggal tiga, dikurangi kewajiban haji dan berzakat.

Dari saking meluapnya kasih sayang hadiratNya, sampai-sampai Dia terkesan “mengalah” di dalam penerapan ajaran-ajaran agamaNya. Sangat jelas bahwa Islam diturunkan di tengah gelanggang kehidupan manusia murni untuk dikonsumsi oleh mereka. Sesuai dengan kemampuan.

Sangat nyata, bukan, bahwa Allah Ta’ala tidak punya kepentingan sama sekali dengan diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci. Kasih sayang hadiratNya sungguh meluap-luap. Betapa manusia betul-betul diistimewakan dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain.

Di samping merupakan sejumlah ajaran, Islam di dalam realitasnya juga merupakan keteladanan. Mula-mula Nabi Muhammad Saw “kulakan” langsung kepada Allah Ta’ala. Beliau mengejawantahkan sejumlah akhlak dan sifat hadiratNya di tengah berlangsungnya kesejarahan umat manusia. Akhlak dan sifat beliau yang murni terpuji itu kemudian diikuti oleh orang-orang dari kalangan umatnya.

Akan tetapi mengikuti berbagai ketauladanan itu juga mesti disesuaikan dengan kemampuan mereka yang mengikutinya. Nabi Muhammad Saw diwajibkan oleh Allah Ta’ala untuk melaksanakan shalat tahajjud setiap malam, sementara kita sebagai umatnya hanya disunnatkan. Beliau tidak dibolehkan oleh hadiratNya makan sambil bersandar, kita dibolehkan.

Selama empat puluh tahun, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani melaksanakan shalat Subuh dengan wudhu shalat ‘Isya, kita kemungkinan besar tidak sanggup. Syaikh Husin bin Manshur al-Hallaj melaksanakan shalat sunnat sebanyak seribu raka’at setiap hari, kita mungkin dapat dipastikan tidak sanggup.

Habib ‘Abdurrahman as-Segaf tidak tidur dalam rangka terus beribadah selama tiga puluh tiga tahun, hampir dapat dipastikan bahwa untuk kita hal itu mustahil. Syaikh al-Harits al-Muhasibi selama empat puluh tahun tidak pernah duduk kecuali duduk di dalam shalat, hal itu rasanya tidak mungkin bagi kita.

Itulah sebabnya kenapa Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertakwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian,” (QS. at-Taghabun ayat 26). Sebab, beban yang melebihi batas kemampuan, termasuk taklif agama, termasuk bukan bagian dari wujud kasih sayang. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Komentar