Pada prinsipnya, Allah sudah memberi informasi tentang siapa yang ‎akan mendapatkan pertolongan dari-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, jika ‎kamu menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolongmu dan ‎mengukuhkan pendirianmu.” (Q.S. Muhammad: 7)‎

Dalam ayat lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang ‎yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi ‎Maha perkasa.” (QS. Al Hajj : 40)‎

Allah memang Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia mampu melakukan ‎apa pun yang dikehendaki-Nya. Dia tidak butuh pertolongan siapa pun. ‎Lantas, apa makna ‘menolong’ Allah–sebagai syarat agar Allah menolong ‎kita–dalam ayat tersebut?‎

Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, sebelum menjelaskan tafsir ‎dari kalimat ‘menolong’ Allah, mengajukan sebuah pertanyaan, ”Bagaimana ‎cara orang-orang beriman menolong Allah?” Beliau kemudian menjawab ‎sendiri pertanyaannya, ”Sesungguhnya mereka memurnikan Allah dalam hati ‎mereka dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, baik syirik yang nyata ‎maupun yang tersembunyi, serta tidak menyisakan seseorang atau sesuatu ‎pun bersama-Nya didalam dirinya.

Dia menjadikan Allah lebih dicintai dari ‎apapun yang dia cintai serta meneguhkan hukum-Nya dalam keinginan, ‎aktivitas, diam, saat sembunyi-sembunyi, terang-terangan maupun saat ‎malunya, maka Allah akan menolongnya dalam segala urusannya.‎

Kemudian tentang tafsir kalimat ‘Dia akan menolongmu dan ‎meneguhkan pendirianmu’, Sayyid Qutb menegaskan, banyak jiwa mampu ‎tetap teguh terhadap suatu ujian dan cobaan namun sedikit yang tetap teguh ‎ketika diberi kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Kesalehan dan keteguhan ‎hati di atas kesuksesan hidup merupakan derajat yang tinggi, bahkan lebih ‎tinggi dari kesuksesan itu sendiri.‎

Orang-orang yang ‘menolong’ (agama) Allah, dengan tetap istiqamah ‎berjalan di atas jalan-Nya, tidak menyekutukan-Nya, menaati segala perintah-‎Nya serta menjauhi segala larangan-Nya akan dikokohkan pendiriannya serta ‎dimantapkan hatinya. Mereka tidak akan berubah sedikit pun sikap, perilaku, ‎serta ketaatannya kepada Allah, meski harus berjuang sekuat tenaga ‎menghadapi serangkaian persoalan hidup yang menderanya.‎

Penyakit yang tak kunjung sembuh, jeratan kemiskinan yang terus-‎menerus melilit mereka hari demi hari, bisnis yang gagal, bahkan kehilangan ‎orang yang dicintai karena kecelakaan atau musibah lainnya tidak ‎menghalangi mereka untuk terus taat dan tawakkal kepada Allah. ‎

Di saat lain, ketika kesuksesan telah mereka raih, ketika segala ‎kesenangan hidup mewarnai hari-hari mereka, ketika semua harapan serta ‎cita-cita mereka tercapai, mereka semakin asyik ber-taqarrub, mendekatkan ‎diri kepada Allah Swt. Mereka ingin menununjukkan rasa syukurnya kepada ‎Sang Pemberi rizki. Mereka ingin disebut sebagai ‘abdan syakura, hamba yang ‎pandai bersyukur atas segala kelimpahan nikmat serta anugerah yang telah ‎diberikan Allah kepada mereka. ‎

Inilah tipikal orang-orang yang dimantapkan hatinya serta diteguhkan ‎pendiriannya. Rasa sakit, lapar, kekurangan harta benda, bahkan kehilangan ‎orang yang dicintai tidak menyebabkan mereka putus asa, bahkan semakin ‎meningkatkan ibadah serta ketakwaannya kepada Allah. Pun ketika hari-hari ‎mereka diwarnai kesenangan serta kebahagiaan hidup. Alih-alih membuai dan ‎melenakan mereka, justru semakin mendekatkan mereka kepada Sang ‎Pemberi kenikmatan dan kesenangan hidup, yakni Allah Swt.‎

Mereka yang dengan keteguhan hati, kesabaran jiwa, disertai ketulusan ‎niat dan keikhlasan dalam ‘menolong’ Allah, memperjuangkan tegaknya ‎agama Allah, yakni dinul Islam, akan selalu ditolong oleh-Nya, serta ‎ditunjukkan jalan menuju jalan-Nya, yakni jalan kebenaran, kebahagiaan dan ‎kesuksesan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. “Dan orang-orang yang ‎berjuang untuk (menegakkan agama) Kami, pasti Kami akan menunjukkan ‎mereka kepada jalan-jalan Kami (yang benar). “ (Q.S. Al-Ankabut: 69)‎.

*Ruang Inspirasi, Rabu, 5 Mei 2021 / 24 Ramadan 1442 H.

Komentar