“Apa yang menarik dari CFD?”
“Makanannya,” jawab seorang temanku dengan mantap, seperti sudah hafal jawaban ulangan harian.
Ya, makanan memang jadi daya tarik utama dari Car Free Day (CFD). Di setiap kota, CFD seperti pasar kuliner berjalan.
Di Solo, temanku paling suka nasi merah pecel. Di Surabaya, rawon jadi raja. Di Jakarta? Soto di samping GBK, tempat artis dan pelari melegakan lapar dan dahaga. Di Kediri, ada nasi jagung yang nostalgia. Malang punya soto khas. Di Semarang, nasi kuning cerah ceria.
Pokoknya semua makanan, semua menggoda.
Tapi bagiku, bukan itu yang paling menarik dari CFD. Yang mencuri perhatian justru hal-hal nyeleneh yang muncul di sela-sela kuliner dan senam massal.
Kadang ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang senamnya lebih semangat dari mahasiswa baru ikut ospek. Kadang ada anak kecil tampil seperti rock star, suara cempreng tapi percaya diri, lengkap dengan baju bertuliskan “Let It Go” atau “BTS”.
Tapi ada juga yang tampil sendirian, unik dan bikin orang mikir panjang, sepanjang kemacetan di jalan Bandung.
Seperti mas-mas yang satu ini.
Setiap Minggu pagi di CFD Jalan Slamet Riyadi Solo, ia berdiri dengan gagah dan tenang, memegang plang besar bertuliskan “JASA MENDOAKAN.” Di bawahnya, tertulis nomor WA dan nomor rekening BRI: komplit, seperti flyer diskonan online shop.
Mas-mas ini tak banyak omong. Kadang cuma berdiri mematung, kadang mendekat ke orang dan menawarkan jasa doanya dengan senyum sumringah. Hebatnya, selalu saja ada yang menyambut tawarannya. Ada yang menyodorkan uang, ada yang menyodorkan harapan.
“Jalur pusat iki, bolo. Insyaallah manjur,” kata seseorang yang coment dan membaca plang itu dengan wajah kagum.
Aku takjub. Ini beda dari “jasa doa” yang sering kulihat pada umumnya, seperti siaran live TikTok tengah malam.
Fenomena jasa mendoakan cukup unik memang. Ada yang memilih jalur privat, ada yang memilih jalur ramai. Tergantung budget dan paket spiritual yang dipilih.
Tapi mas-mas CFD ini beda. Dia tak mencela, tak berkhutbah, tak memaksa. Cuma berdiri menawarkan sesuatu yang tak terlihat tapi caspleng diyakini banyak orang: doa.
Lalu bagaimana kalau yang datang minta jasa mendoakan berbeda agama? Namanya doa, lintas batas, lintas agama tentunya.
Mas-mas ini memang sering tampil di pelbagai CFD. Kadang dia hadir di Solo. Kadang di CFD Karangnayar. Kadang di CFD Colomadu. Kadang di CFD Kartasuro. Dengan plang yang sama.
Fenomena ini bikin aku mikir. Sungguh serius mikir. Apakah ini bentuk komodifikasi agama?
Apakah sekarang doa bisa dibeli, dikemas, dipromosikan? Apakah kita benar-benar sudah hidup di zaman “doa instan: cukup transfer, beres”?
Duh, kejauhan pikiranku ini.
Tapi, sejak kapan doa gratis? Di zaman sekarang, semua butuh hal praktis dan mungkin juga pragmatis.
Mau ngaji? Ada YouTube. Mau tanya ustaz? Ada fitur Q&A Instagram. Mau didoakan? Tinggal kirim lewat WA.
Dan barangkali, fenomena ini mencerminkan tiga hal:
Pertama, ada kesenjangan spiritual. Banyak orang mungkin merasa tak yakin bisa berdoa dengan benar. Maka mereka menyewa “ahli doa” sebagai freelancer spiritual.
Kedua, ini peluang pasar. Mereka yang punya sedikit ilmu agama bisa menjadikannya sumber apa pun. Apakah ini ladang pahala atau lapak usaha? Tergantung niat dan invoice.
Yang ketiga, adalah, sebentar saya cari dulu dalilnya.
Tapi lalu muncul pertanyaan lain:
Kalau kita sudah membayar agar didoakan, apakah Tuhan jadi lebih cepat menjawab?
Apakah doa berbayar lebih tajam dari doa mandiri?
Kebanyakan pertanyaan emang aku hari ini.
Tapi ya, apa pun itu, doa tetaplah doa. Entah lewat mas-mas CFD, lewat ustaz, atau dari bisikan dari relung hati sendiri.
Ini masih pagi. Ini awal bulan Juli 2025. Sudahkah kita berdoa?
Kalau masih malu-malu atau bingung mulai dari mana, ya tinggal kontak saja mas-mas “Jasa Mendoakan”. Nomor WA-nya jelas, rekeningnya pun aktif.
Jasa mendoakan, mari! Fokuskan niat, ambil syafaat.

