Islamsantun.org – Dari sekian nama kementerian dan pejabat Kabinet Merah Putih yang telah diumumkan dan dilantik Presiden Prabowo Subianto, terdapat tokoh nasional yang sudah tidak asing di kalangan masyarakat Indonesia yakni Fadli Zon yang dipercaya menjadi nahkoda di kementerian baru bernama Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Pemisahan Kementerian Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Riset Tekhnologi merupakan terobosan baru dan penting yang tidak hanya perlu diapresiasi positif, tetapi juga perlu dibaca sebagai visi kebudayaan Presiden Prabowo Subianto untuk memajukan kebudayaan Indonesia sekaligus memosisikan kebudayaan sebagai hal vital dan strategis bagi Indonesia baik di tingkat domestik maupun di tingkat regional dan global.
Kabar gembira ini seperti penanda harapan baru tentang kebudayaan sebagai elan vital yang harus diurus secara serius dan tidak berhenti sebatas diskursus maupun tindakan praksis pertunjukan dan pameran saja melainkan sebagai strategi besar kebudayaan nasional dan alat kerja memajukan masyarakat dan Indonesia. Dengan demikian–meminjam Faiz Manshur–kebudayaan, sah jika dinilai paling strategis dibanding bidang lain. Ibarat wadah, ia merupakan tempat penampung dari banyak bidang dari lapangan aktivitas masyarakat. Karena itu, wajar jika kita menempatkan kebudayaan sebagai strategi dalam usaha pembangunan, pemajuan atau peningkatan masyarakat.
Untuk menerjemahkan visi besar tersebut, tentu saja memerlukan sosok yang tepat untuk memimpin dan memandu jalan baru yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto dan dipilihnya Fadli Zon merupakan pilihan relevan. Pilihan ini tampaknya bukan hanya didasarkan pada kedekatan Fadli Zon sebagai salah seorang kepercayaan Presiden Prabowo Subianto melainkan rekam jejak Fadli Zon mengakrabi sejarah dan kebudayaan sejak lama bahkan sejak masa studinya di Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagaimana pengakuannya saat dipanggil ke Kertanegara menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih, Fadli Zon memang menyatakan dengan tegas bahwa kebudayaan adalah passion dan bahkan ia menganggap dirinya sebagai “orang budaya yang masuk politik” yang telah lama mengurusi berbagai heritage di Indonesia.
Reinventing Indonesian Identity dan Visi Ibukota Budaya Dunia
Narasi besar Menemukan Kembali Identitas Indonesia atau Reinventing Indonesian Identity dan Visi Ibukota Budaya Dunia sebagaimana diucapkan Fadli Zon menjadi sinyalemen tegas ihwal keyakinannya tentang kekayaan sejarah dan budaya yang melekat pada Indonesia sebagai bangsa besar terutama di kawasan Asia Tenggara. Keyakinan ini tentu saja perlu diterjemahkan secara operasional dalam kerja-kerja kebudayaan yang berpotensi mendorong dan mewujudkan dua narasi besar yang sedang diusungnya menjadi kenyataan.
Untuk memahami secara utuh kedua narasi besar tersebut, penulis menggarisbawahi, sebagai bangsa mega diversity, Indonesia tentu saja memiliki keunggulan potensial berbanding negara-negara lain. Keragaman dan keunikan budaya yang tumbuh berkembang dari ujung Serambi Mekkah hingga ujung Tanah Papua sebagai kekayaan nasional yang berharga idealnya memang harus ditransformasi menjadi kata kerja aktif. Premis ini tentu saja menyuratkan pentingnya gerak kebudayaan yang selalu kreatif di semua ruang dan waktu serta mampu mengatasi pelbagai hambatan untuk melahirkan kreatifitas baru yang bergerak ke segala arah. Kesadaran semacam inilah yang disebut Henri Bergson filsuf terkemuka Prancis sebagai elan vital.
Dengan demikian, gagasan Menemukan Kembali Identitas Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai Ibukota Budaya Dunia sangatlah relevan setidaknya disebabkan dua hal: Pertama, menemukan akar dan konteksnya karena pelbagai keberagaman dan keunikan budaya Indonesia serta sejarah panjang perkembangan kebudayaan Indonesia. Kedua, gagasan ini menjadi semakin strategis di tengah kontestasi kebudayaan dan peradaban antar bangsa dan globalisasi budaya yang nyaris tanpa kendali. Oleh karena itu, kemunculan gagasan tersebut bukan untuk mengubah definisi dan terminologi identitas nasional Indonesia yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 melainkan penegasan ulang tentang keragaman dan keunikan budaya di setiap daerah yang bisa menghantarkan Indonesia menjadi bangsa besar yang maju bahkan menjadi ibukota budaya dunia.
Berbekal keunggulan itulah, pilihan menempatkan kebudayaan – selain agama – sebagai basis-infrastruktur adalah kebutuhan bangsa yang layak dipertimbangkan tanpa menegasikan elemen-elemen lain yang selalu diletakkan dalam ruang suprastruktur seperti halnya politik, hukum, ideologi. Postulat ini secara tegas memosisikan kebudayaan sebagai suatu yang melampaui kedudukan entitas kesadaran atau dikenal sebagai suprastruktur termasuk ekonomi sekalipun. Premisnya tentu saja tidak bersifat hegemonik-deterministik bahwa basis-infrastruktur menjadi penentu suprastruktur, melainkan sebagai prasyarat yang berpengaruh besar terhadap perkembangan aspek-aspek lain di kehidupan masyarakat dan bangsa.
Bercermin pada pengalaman negara-negara maju dan berkembang yang sebagian besar bercorak kapitalistik dan dipandang loyal pada determinisme ekonomi justeru secara sadar menjadikan kebudayaan sebagai instrumen vital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik mereka dan menjadikan mereka bertengger di panggung kebudayaan dunia dengan ditopang oleh teknologi informasi dan komunikasi yang mapan.
Mereka bahkan memproduksi produk-produk kebudayaan popular untuk diekspor ke berbagai negara. Amerikanisasi melalui slogan American Dream dan Make America Great Again, Korea Selatan melalui K-Pop, Harajuku Style ala Jepang, Culture to Commerce ala Thailand, Tiongkok dan India melalui China Beyond Your Imagination dan instrument Bollywood berikut produksi film-film kolosal yang bercorak kesejarahan dan ornamen kebudayaan khas India dan Tiongkok, Kamboja yang begitu bangga menampilkan kemegahan Angkor Wat dan tradisi kebudayaan bangsa Khmer dan lain-lain merupakan bukti riil kebudayaan diposisikan begitu strategis.
Dalam konteks inilah, Indonesia dengan national treasures yang melimpah serta narasi kesejarahan dan kebudayaan yang megah baik di era neolitik-megalitik, era kejayaan kerajaan dan kesultanan masa lalu maupun di era kontemporer yang tersebar hampir di semua teritorial Indonesia menjadi titik pijak mewujudkan Reinventing Indonesian Identity dan Indonesia sebagai Ibukota Budaya Dunia.
Jalan Baru Diplomasi Kebudayaan Indonesia
Jika agenda besar tersebut dapat dilakukan dengan baik maka kebudayaan sebagai penopang kemajuan Indonesia dan instrument diplomasi internasional bukan tidak mungkin dapat terwujud. Terlebih lagi isu kebudayaan selain telah menjadi fokus global dalam konteks diplomasi juga menawarkan sesuatu yang tidak dapat ditawarkan oleh diplomasi politik, ekonomi, dan diplomasi militer.
Di samping itu, kapasitas dan pengalaman Fadli Zon dalam dunia diplomasi dan diskursus hubungan internasional akan sangat melengkapi pengalaman panjangnya di dunia kebudayaan yang pada gilirannya akan berkontribusi terhadap kinerja pemerintahan Kabinet Merah Putih. Akhirnya, Reinventing Indonesian Identity dan Indonesia sebagai Ibukota Budaya Dunia layak menjadi strategi kebudayaan nasional dan ruh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sekaligus jalan baru diplomasi kebudayaan Indonesia di pergaulan internasional.