“Anak saya batuk dan muntah-muntah, sejak ada asap ini, banyak anak lain yg sudah kritis”

Kalimat di atas adalah curhatan teman saya di grup WA alumni sekolah. Sebagai orang asli Riau, dia tahu betul kondisi yang sebenarnya. Anak kecil, apalagi bayi yang polos, masih terlalu dini untuk menerima kenyataan yang mereka pun tidak mengerti sebabnya.

Apa yang ditakutkan banyak orang akhirnya terjadi juga. Karhutla memakan korban jiwa. Seperti dilansir detik.com, seorang bayi laki-laki berusia 3 hari meninggal di Pekanbaru. “Anak saya meninggal dalam perjalanan akan dibawa ke Rumah Sakit Syafira,” ujar ayah sang bayi, Evan Zebdrato (28). Evan merupakan warga di Kelurahan Kulim, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru. Bayinya meninggal pada Rabu (18/9) malam sekitar pukul 22.00 WIB.

Asap yang tak kunjung hilang membuat orang-orang naik pitam. Sumpah serapah di medsos berhamburan. Terutama ditujukan kepada mereka para pemangku jabatan. Semua terkena imbas. Ditambah pejabat yang bersangkutan malah mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri dengan alasan tugas negara. Miris.
Teman saya yang lain menceritakan, di waktu yang bersamaan, ada surat edaran untuk melakukan salat istisqa (minta hujan) yang ditandatangani oleh Plt Gubernur Kepri. “Bagaimana mau melakukan jika yang memerintahkan tidak ada di lokasi?” Celetuk teman saya waktu itu. Saya pun hanya tersenyum kecut.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, kebakaran hutan dan lahan ( karhutla) disebabkan oleh manusia dengan motif land clearing. Motif pembakaran tersebut diterapkan karena lebih murah.
Doni bahkan menyebutkan bahwa 80 persen lahan yang terbakar berubah menjadi lahan perkebunan. “Sebesar 99 persen karhutla akibat ulah manusia, 80 persen lahan terbakar berubah menjadi lahan perkebunan.” (kompas.com, 18/9).

Langkah Pemerintah

Diketahui, hingga Selasa (17/9/2019), polisi telah menetapkan 218 orang dan 5 perusahaan sebagai tersangka karhutla di Sumatera dan Kalimantan. Jumlah tersebut bertambah dari total 185 tersangka individu dan 4 perusahaan pada Senin (16/9/2019).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim telah menyegel 52 bidang lahan di Kalimantan dan Sumatera seluas lebih dari 9.000 hektar sepanjang tahun 2019 berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, yang tersebar di sejumlah provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, penyegelan itu merupakan bentuk ketegasan pemerintah bagi perusahaan yang diduga membakar lahan dan memberi efek jera. “Penyegelan ini salah satu langkah untuk melakukan penegakan hukum memberikan sinyal cepat kepada perusahaan lain akan dilakukan penegakan hukum sangat tegas kepada seluruh pihak di lokasi-lokasi kebakaran,” kata Ridho, Sabtu (21/9/2019).

Melihat ketegasan pemerintah tersebut tidak berbanding lurus dengan regulasi hukum. Terutama yang berkaitan dengan lahan gambut. Hal ini yang disampaikan oleh juru kampanye Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Indonesia, Zenzi Suhadi, dalam diskusi publik dengan judul “Karhutla: Kebakaran Hutan Lagi?” yang diadakan oleh Populi Center (Public Opinion & Policy Research).

Penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai selama ini hanya menerapkan hukuman administrasi. Padahal semestinya, bisa langsung masuk ranah pidana.

Melihat langkah pemerintah, lalu apa langkah kita?

Mu’amalah ma’al Bi’ah

Islam mengajarkan empat muamalah (hubungan) yang harus kita terapkan. Pertama, kepada Tuhan, kedua, kepada manusia, ketiga, kepada diri sendiri, keempat, kepada lingkungan. Tapi muamalah yang paling terakhir jarang sekali kita perhatikan.

Selama ini, para dai dan ustaz/ustazah jarang sekali mengambil tema tentang isu lingkungan dalam setiap ceramahnya. Tanpa mengesampingkan pentingnya tema-tema sentral dalam berdakwah, tema lingkungan juga harus mendapat porsi yang sama dengan tema lainnya. Meski kita sudah didoktrin sejak kecil bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Tapi pada prakteknya sangat mengkhawatirkan.

Tidak heran jika Indonesia tidak masuk 10 besar negara yang islami. Adalah Hossein Askari, seorang guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington, AS, melakukan sebuah studi yang unik. Askari melakukan studi untuk mengetahui di negara manakah di dunia ini nilai-nilai Islam paling banyak diaplikasikan. Hasil penelitian Askari yang meliputi 208 negara itu ternyata sangat mengejutkan karena tak satu pun negara Islam menduduki peringkat 25 besar.

Dari studi itu, Askari mendapatkan Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru sebagai negara lima besar yang paling Islami di dunia. Negara-negara lain yang menurut Askari justru menerapkan ajalan Islam paling nyata adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia. Hasil penelitian Profesor Askari dan Profesor Scheherazade S Rehman ini dipublikasikan dalam Global Economy Journal.

Tapi tidak ada yang terlambat. Selama kita masih punya kesadaran pada diri sendiri akan pentingnya lingkungan untuk kelangsungan hidup yang harmonis. Alam yang murka sejatinya adalah cerminan dari kelakuan kita sendiri yang semena-mena terhadap lingkungan.

 

Komentar