Saya perlu memberikan penafian di awal bahwa saya tidak akan bicara soal pesantren. Saya hanya akan merespons status terbaru Ismail Fajrie Alatas. Status tersebut memang ditulis untuk merespons pandangan sejumlah orang tentang pesantren. Namun, saya akan abstraksikan status tersebut dari konteks spesifiknya dan hanya akan fokus pada tesis utamanya.

Tesis utama Alatas adalah bahwa tidak ada standar umum untuk menilai sebuah tradisi (atau bahkan apa pun). Sebuah tradisi hanya bisa dinilai dengan menggunakan standar atau kerangka pikir dari tradisi itu sendiri. Kategori atau standar di luar tradisi tidak bisa digunakan untuk menilai tradisi tersebut.

Tesis Alatas tersebut tentu bukan hal baru. Para pemikir pascamodernis abad ke-20 getol menyuarakan pandangan seperti itu. Di tangan antropolog seperti Alatas, penolakan atas universalisme itu menjadi relativisme budaya.

Biar adil, kita hanya bisa menilai sebuah produk atau praktik kebudayaan dengan menggunakan perspektif masyarakat yang menghidupi kebudayaan itu sendiri. Tidak boleh ada penilaian eksternal atas suatu kebudayaan.

Dalam konteks filsafat sains, pemikiran serupa diperkenalkan oleh Thomas Kuhn pada tahun 1960-an melalui konsep “ketaksepadanan paradigma” (the incommensurability of paradigms). Satu paradigma saintifik tidak bisa dinilai dengan menggunakan standar paradigma lain. Tidak ada standar umum untuk menilai dan membandingkan dua paradigma yang berbeda.

Konsekuensinya: seorang saintis memilih satu paradigma daripada paradigma lain tidak karena alasan rasional dan epistemik, tetapi karena alasan-alasan lain yang bersifat non-epistemik, seperti alasan estetik, pragmatis, atau sosiologis.

Pandangan Kuhnian ini banyak dikritik karena membuat sains beserta progresnya cenderung bersifat relativistik. Merespons kritik ini, pada tahun 1970-an, Kuhn akhirnya berusaha merumuskan sejumlah kriteria umum untuk menilai sebuah teori saintifik dan membandingkannya dengan teori saintifik yang lain. Ia menyebutkan empat kriteria: akurasi, kesederhanaan, ruang lingkup, dan kesuburan (terjemahan dari “fruitfulness”–semoga tepat).

Apa yang bisa kita pelajari dari perkembangan pemikiran Kuhn adalah bahwa kita tetap membutuhkan standar umum (common standard) untuk menilai sesuatu, termasuk produk dan praktik kebudayaan.

Menjadi relativistik, selain cenderung menjadi tidak rasional, hanya akan mengekalkan status quo. Satu praktik sosial, budaya, atau politik tidak bisa dievaluasi sama sekali kecuali dari nilai-nilai yang internal dalam praktik tersebut.

Di India, misalnya, pernah ada tradisi Sati. Seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya akan ikut membakar diri. Ada yang melakukannya secara terpaksa, tetapi tak sedikit pula yang melakukannya secara sukarela.

Di China, juga ada tradisi seorang gadis mengikat kakinya (foot binding) agar bentuk dan ukurannya sesuai dengan standar kecantikan saat itu. Kedua tradisi tersebut kini sudah tidak ada karena dinilai (melalui standar eksternal) tidak baik. Sati jelas tidak menghargai nilai kehidupan seorang janda, sedangkan “foot binding” berbahaya secara medis.

Bayangkan jika relativisme budaya diterima begitu saja. Mungkin janda-janda di India tetap akan membakar diri mereka bersama jasad suaminya, dan perempuan muda di China tetap akan mengikat kakinya. Karena mereka mencoba menggunakan standar yang eksternal dari tradisi masyarakat mereka, akhirnya kini kita tidak melihat lagi praktik Sati dan “foot binding”.

Inilah kenapa, menurut saya, kita tetap butuh standar umum untuk menilai dan membandingkan segala sesuatu, termasuk produk dan praktik kebudayaan.

Jika karena pandangan ini saya disebut modernis, tidak apa-apa, saya cukup senang dengan label itu. Namun, karena saya sendiri lahir dan besar di lingkungan pesantren tradisional, bolehlah secara oksimoron saya disebut “Santri Modernis”.

Komentar