Indonesia adalah negara yang memiliki populasi penduduk umat Islam terbesar di dunia. Ibadah wajib umat Islam yang terdiri dari lima waktu itu menjadi tanggung jawab setiap musafir untuk harus berhenti untuk istirahat dan sholat, baik dengan menggunakan rukhshah atau kemudahan yang diberikan Allah Swt atau tidak.

Banyak sekali di zaman sekarang terutama masjid kota tidak ramah terhadap musafir. Seperti dilarang tidur di masjid, masjid hanya buka pas waktu shalat fardhu selebihnya dikunci rapat-rapat, ada yang lebih toleran namun tetap saja tidak ramah yakni masjid buka hanya sampek jam 22.00 malam keatas dan baru buka lagi saat pagi hari. Kesimpulan yang dapat diambil dari sini, bahwa masjid hanya tempat untuk shalat dan mengaji.

Banyak alasan yang kemudian menjadi dasar dari pengurus masjid untuk melakukan hal tersebut, salah satunya untuk menghindari pencurian terhadap kotak amal. Namun apakah jalan satu-satunya hanya mengunci pintu masjid? Kenapa tidak kotak amalnya yang di tempatkan yang aman?.

Masjid yang berlokasi di samping jalan raya  yang mana banyak musafir yang melintas, dan seringkali para musafir ini merasa lelah dengan berkendara terutama yang menggunakan motor. Sehingga butuh tempat istirahat, sholat, buang air, mandi dll. Namun di zaman sekarang ini masih ada masjid yang tidak peduli akan hal itu, padahal umat membutuhkannya.

Jika berkaca pada masjid masa Rasullullah hal ini sangat berlawanan. Dalam buku Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam menjelaskan, bahwa waktu itu Rasullullah tidak semata menjadikan masjid sebagai tempat peribadatan, namun menjadi Islamic center, yakni menjadikan masjid sebagai sarana dakwah dari berbagai aspek seperti membangun semangat spiritual dan pemberdayaan umat dari segi sosial maupun ekonomi. Hal itu dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat di Madinah.

Masjid Nabawi pada masa Rasulullah selain tempat peribadatan juga berfungsi sebagai tempat santunan sosial, tempat menerima tamu, latihan militer, konsultasi dan komunikasi masalah ekonomi dan sosial budaya, perdamaian dan pengadilan sengketa, tempat pengobatan dll.

Minimnya pengetahuan takmir dalam pengelolaan dapat menjadi sebab sepi dan berkurangnya kebermanfaatan masjid untuk umat. Padahal masjid berpotensi besar untuk dapat mengembangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi umat. Sejahteranya masyarakat yang berasal dari masjid inilah yang akan memunculkan mahabbah atau cinta umat terhadap masjid sehingga semangat untuk beribadah dan bersyukur kepada Allah Swt.

Sebagai musafir tentu masjid menjadi tempat yang menjadi opsi utama untuk beristirahat dan tidur sebentar melepas lelah, tidak mungkinlah jika harus tidur di jalan tol, pinggir jalan raya, atau di warung. Jika istirahat di masjid akan mengingatkan musafir untuk beribadah kepada Allah Swt,  minimal beriktikaf atau setidaknya ingat pada Allah SWT dengan bernaung di rumahnya.

Perkara tidur memang berpotensi mengganggu jama’ah lain jika masjid atau musala itu sempit dan itu perlu di tegur. Namun tidak harus dipukul rata ke semua jamaah yang memang benar-benar lelah.

Sebagai contoh ada sebuah masjid di Sragen yang cukup ramah dengan musafir yaitu Masjid Al-Falah di kabupaten Sragen. Di sana takmir menyediakan tempat istirahat khusus musafir berupa kasur dan bantal. Takmir masjid tersebut jika ditanya kenapa melakukan itu? Jawabannya “Karena yang datang ke masjid adalah tamu Allah, maka pelayanannya juga harus lebih baik,” ungkap Kusnadi Ikhwani. (Lihat Liramedia.co.id)

Sudah banyak masjid yang mulai ramah musafir, tapi masih banyak juga masjid melarang tidur dimasjid bahkan sampai memasang plang larangan, mengunci masjid dan hanya membuka pada waktu shalat, atau menutup masjid jam 22.00 keatas.

Pemikiran untuk terlalu mensakralkan masjid hingga melarang kegiatan apapun selain kegiatan peribadatan akan menjadikan salah satu sebab sepinya masjid. Hal tersebut karena tidak adanya kemistri(ketertarikan seseorang atau perasaan yang nyambung) antara masyarakat dengan masjid. Terutama anak-anak yang dilarang bermain atau beraktifitas dimasjid selain peribadatan, akan mengukir minset terhadap anak secara kuat bahwa masjid hanya untuk sholat.

Harusnya pengurus masjid dapat menggunakan strategi dakwah melewati masjid dengan menjalin dan mengeratkan hubungan antara masjid dengan masyarakat. Seperti pendekatan sosial, menjadikan masjid ramah anak dan remaja, ramah musafir, ramah terhadap kesenangan masyrakat selama tidak menuju kemaksiatan.

Dengan hadirnya umat di masjid, hal tersebut saat sudah waktu masuk shalat mereka akan sungkan jika tidak ikut jama’ah shalat tersebut. Masjid yang berasal dari umat ini akhirnya akan secara maksimal kembali kepada umat, tidak hanya secara spiritual atau batin saja namun juga secara lahir.

Jika Rasulullah SAW mencontohkan fungsi masjid sebagaimana diatas, lalu melarang tidur, membuka masjid hanya pada waktu shalat, atau menutup masjid diatas jam 22.00 itu tuntunan siapa?. Apakah itu yang disebut dengan bid’ah?. Apakah itu tergolong bid’ah dhalalah atau hasanah? Wallahu A’lam.

Komentar