Dalam lanskap hukum Islam Sunni, empat mazhab fikih menjadi pilar utama dalam transmisi dan pembentukan otoritas keilmuan. Di antara keempatnya, mazhab Syāfi‘ī menempati posisi strategis, tidak hanya karena banyak pengikutnya di berbagai wilayah (Mesir, Hijaz, Yaman, Asia Tenggara), tetapi juga karena sumbangsih metodologis yang sangat mendasar dalam bidang uṣūl al-fiqh. Buku al-Madkhal ilā al-Mażhab al-Syāfiʻī (Jordan, 2023) menawarkan pengantar yang sistematis dan padat tentang konstruksi mazhab ini, dari biografi Imām al-Syāfiʻī hingga perkembangan madrasah-madrasah pemikirannya. Namun, pengantar semacam ini tidak bisa dibaca secara netral. Ia harus ditinjau sebagai proyek epistemik, yang membawa serta asumsi ideologis dan orientasi sosial tertentu. Esai ini akan mengelaborasi gagasan-gagasan utama dalam buku tersebut, lalu menempatkannya dalam konteks intelektual-kritis dan kebutuhan umat Muslim kontemporer.
Imam al-Syāfiʻī dan Revolusi Epistemologis
Buku ini secara konsisten menempatkan Imām al-Syāfiʻī sebagai figur revolusioner. Ia bukan sekadar ahli fikih, tetapi pendiri metodologi hukum Islam yang sistematik. Karya monumentalnya al-Risālah disebut sebagai tonggak pembentukan uṣūl al-fiqh sebagai ilmu tersendiri. Dalam konteks sejarah pemikiran Islam, al-Syāfiʻī berdiri di tengah medan tarik-menarik antara ahl al-raʻyi (seperti Ḥanafiyyah Kufah) dan ahl al-ḥadīṡ (seperti ulama Madinah). Posisi ini menjadi titik tolak bagi bangunan epistemik yang mengutamakan teks (naṣṣ) sebagai pusat gravitasi hukum, namun tetap memberi ruang bagi rasionalitas terukur (qiyās) dan ijmā‘.
Yang menarik, buku ini tidak sekadar mendeskripsikan sisi historis Imām al-Syāfiʻī, tapi juga memberi tekanan pada kejeliannya dalam membangun otoritas hukum berbasis dalil, bukan tradisi lokal atau kekuasaan politik. Di sinilah letak signifikansi al-Syāfiʻī dalam sejarah Islam; memisahkan antara ilmu dan kekuasaan, antara ḥujjah dan taqlīd buta. Tetapi tentu, seperti semua proyek intelektual, ia juga bukan tanpa keterbatasan.
Ushūl al-Fiqh Syafi‘iyyah: Rasionalitas yang Berbatas
Pembahasan tentang metodologi uṣūl Syāfi‘ī dalam buku ini merupakan bagian paling kuat. Penulis menjelaskan struktur epistemik mazhab ini; al-Qur’ān sebagai sumber utama, diikuti Sunnah, ijmā‘, dan qiyās. Sikap keras al-Syāfiʻī terhadap istiḥsān dijelaskan sebagai bentuk kehati-hatian terhadap kecenderungan subyektivisme dalam hukum.
Mazhab Syāfi‘ī menjadikan qiyās sebagai alat istinbāṭ yang valid, tetapi dalam koridor sangat ketat. Ini menunjukkan bahwa mazhab ini tidak menolak akal, tetapi menetapkan rambu-rambunya. Rasionalitas diakomodasi, namun bukan dalam bentuk spekulasi bebas, melainkan sebagai perpanjangan dari teks dan maqāṣid. Hal ini menjadikan mazhab Syāfi‘ī sebagai jalan tengah antara ‘tekstualisme’ Ḥanābilah dan rasionalisme Ḥanafiyyah.
Namun, pendekatan ini juga mengandung risiko stagnasi, terutama dalam konteks perubahan sosial. Buku ini tidak membahas sejauh mana struktur uṣūl ini mampu merespons dinamika kontemporer seperti HAM, gender, demokrasi, lingkungan, atau ekonomi modern. Di sinilah peran reinterpretasi epistemik dibutuhkan, bukan sekadar taqlīd metodologis.
Penulis buku ini cukup adil dalam mengakui bahwa mazhab Syāfi‘ī bukan bangunan yang monolitik. Ia berkembang melalui berbagai madrasah dan tokoh. Madrasah Khurāsāniyyah (yang melahirkan al-Ghazālī) lebih filosofis dan sistematik, sedangkan madrasah ‘Irāqiyyah (yang mengusung al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī) lebih teknis dan konservatif.
Dalam konteks dinamika ini, terlihat bagaimana mazhab Syāfi‘ī mampu mengakomodasi pluralitas internal. Misalnya, perbedaan antara qaul qadīm dan qaul jadīd membuka ruang pembaruan di masa al-Syāfiʻī sendiri. Namun, dalam fase kodifikasi akhir, pluralitas ini cenderung disederhanakan menjadi rigiditas qaul mukhtār. Buku ini tidak banyak menggali problem epistemik dari proses kodifikasi mazhab yang menjadikan khilāf sebagai anomali, bukan sebagai kekayaan.
Syāfi‘iyyah dan Tasawuf: Sintesis Etika dan Hukum
Aspek paling menarik dari buku ini adalah pembahasan tentang hubungan mazhab Syāfi‘ī dengan tasawuf. Tidak seperti mazhab Ḥanbalī yang cenderung menaruh ‘curiga’, mazhab Syāfi‘ī sejak awal bersanding erat dengan kalangan sufi. Figur seperti al-Ghazālī dan al-Nawawī menjadi bukti bagaimana dimensi syar‘ī dan rūḥānī bisa berpadu padan. Bagi al-Ghazālī, syariat adalah fondasi, tasawuf adalah penyempurnanya.
Namun, relasi ini juga menimbulkan tantangan lanjutan; bagaimana mengelola batas antara legalitas dan spiritualitas? Buku ini tidak mengelaborasi lebih lanjut ketegangan tersebut, padahal dalam sejarahnya terdapat friksi antara sufi ekstrem dengan fuqahā’ Syāfi‘iyyah. Juga tidak dibahas bagaimana tasawuf dijadikan alat domestikasi politik di era Mamluk dan Utsmani.
Mazhab Syāfi‘ī menyebar luas melalui jalur dakwah dan pendidikan. Di Asia Tenggara, ia menjadi mazhab dominan karena interaksi dengan jaringan perdagangan, tarekat, dan ulama Yaman-Hijaz. Buku ini mengulas peran madrasah sebagai medium penyebaran mazhab.
Namun, satu hal yang tidak tampak dari pembahasan adalah dampak kolonialisme terhadap transformasi mazhab. Di banyak wilayah, Syāfi‘iyyah mengalami kooptasi oleh sistem hukum kolonial-modern. Fiqh berubah menjadi hukum positif. Maka, menulis tentang penyebaran mazhab tanpa membahas proses pelembagaan institusionalnya menjadikan argumentasi yang berhenti pada narasi-narasi deskriptif saja.
Reaktualisasi, Bukan Sekadar Revitalisasi
Pertanyaan yang krusial dan belum terjawab oleh buku ini adalah: bagaimana masa depan mazhab Syāfi‘ī? Apakah ia akan berhenti menjadi monumen fiqh klasik? Ataukah mampu menjadi fondasi bagi ijtihād kontemporer?
Madzhab Syāfi‘ī memiliki kerangka metodologis yang solid, kedekatannya dengan tradisi sufistik yang etis, serta kemampuannya bertahan dalam pluralitas sosial. Namun, tantangan hari ini bukan lagi sekadar soal validitas qiyās, tetapi bagaimana merespons isu gender, lingkungan, digital, dan lain sebagainya. Mazhab Syāfi‘ī harus membuka ruang dialog dengan maqāṣid al-syarī‘ah, filsafat hukum, dan sosiologi hukum.
Al-Madkhal ilā al-Mażhab al-Syāfiʻī adalah karya penting sebagai pintu masuk memahami struktur internal mazhab Syāfi‘ī. Namun, sebagai pembaca, kita tidak cukup berhenti pada kekaguman atas romantisme historis. Kita perlu untuk melampaui apologetika keilmuan menuju proyek reaktualisasi hukum Islam. Mazhab Syāfi‘ī, dengan seluruh kelenturan dan kekayaannya, hanya akan hidup jika terus didialogkan dengan realitas kontemporer.
Esai ini menegaskan bahwa studi mazhab bukanlah upaya mengabadikan tradisi semata, melainkan menautkannya dengan kebutuhan zaman. Dari Imām al-Syāfiʻī kita belajar bahwa perubahan hukum tidak hanya membutuh metodologi yang kuat, tapi juga keberanian intelektual untuk menimbang ulang fondasi-fondasinya. Mazhab bukanlah produk kaku lalu menjelma ‘berhala’, tapi medan ijtihād yang dinamis terus bergerak berkelindan dengan zaman.
Bahan Bacaan
Jordan, D. al-I. al-‘Ām. (2023). Al-Madkhal ilā al-Mażhab al-Syāfi‘ī. (D. al-I. Jordan, Ed.). Amman: Dār al-Fatḥ.