Muhasabah Kebangsaan
al-Zastrouw*
Sebagai orang yang awam hukum, saya melihat ada beberapa hal yang janggal tapi menarik dalam persidangan sengkata Pilpres di MK hari Jum’at kemarin. Event yang saya saksikan melalui TV ini lebih terkesan sebagai peristiwa budaya dan pendidikan sosial daripada peristiwa hukum.
Saya merasakan perselisihan sengketa Pilpres ini seperti ajang pemberian panggung pada anak kecil yang marah dan kecewa karena kalah dalam bermain. Melalui forum persidangan ini sang anak yang kecewa diberi kesempatan menyampaikan segala kekesalan dan kekecewaannya lengkap dengan berbagai harapan dan permohonan.
Dalam persidangan itu terlihat bagaimana para hakim konstitusi dengan bijak dan sabar mendengarkan berbagai uraian dalih, tuduhan dan uneg-uneg dari para kuasa hukum paslon 02. Majlis hakim membiarkan dan memberi kebebasan kepada kuasa hukum paslon 02 sekalipun apa yang disampaikan dianggap beberapa ahli hukum banyak melanggar UU. Misalnya revisi materi dan penambahan petitum dari 7 item menjadi 15 item. Juga tuntutan lain bisa sebenarnya melampaui wewenang MK dan tidak sesuai UU.
Sikap kekanak-anakan ini juga terlihat dari materi tuduhan (dalil) yang disampaikan oleh para kuasa hukum penggugat. Menurut saya materi yang disampaikan lebih banyak uraian normatif mengenai moral dan etika daripada masalah fakta hukum. Saat mendengarkan paparan para kuasa hukum paslon 02 saya lebih merasa sedang mendengar ustaz yang sedang memberikan ceramah dan orator yang sedang memberikan orasi di mimbar unjuk rasa dari pada mendengar seorang pengacara yang sedang menyampaikan tuntutan di persidangan.
Kondisi ini sempat diprotes oleh kuasa hukum paslon 01 sebagai pihak terkait, karena menganggap apa yang disampaikan oleh kuasa hukum 02 tidak sesuai UU . Namun majlis hakim tetap memberikan kesempatan pihak penggugat meneruskan paparannya. Dan atas keputusan majlis hakim tersebut pihak kuasa hukum 01 bisa memahami dan menerima sehingga tidak meneruskan protesnya kepada majlis hakim. Bisa dibayangkan bagaimana suasana persidangan kalau pihak kuasa hukum 01 tetap ngotot dan menolak kebijakan majlis hakim yang memberi kesempatan pada pihak penggugat menyampaikan sesuatu yang menurut mereka jelas melanggar UU.
Di sini saya melihat kedewasaan para penasehat hukum pihak terkait yang dengan legowo menerima kebijakan majlis hakim tanpa perdebatan yang berkepanjangan. Dengan sikap yang bijak ini akhirnya persidangan dapat diteruskan. Dan para kuasa hukum 01 serta para hakim mendengarkan paparan para kuasa hukum 02 dengan sabar.
Sebagai ahli hukum yang sangat kompeten, saya yakin para kuasa hukum 02 sangat mengerti dan memahami UU dan peraturan yang terkait dengan pokok perkara. Misalnya bahwa tuntutan atau petitum dalam sengketa pilpres tidak bisa direvisi atau diubah. Juga tuntutan pencopotan anggota KPU, mendiskualifikasi paslon 01, menetapkan pasangan 02 sebagai Presiden dan Wapres. Saya yakin para kuasa hukum tahu bahwa itu semua bukan wewenang MK. Namun mengapa mereka tetap ngotot dan menyampaikan tuntutan tersebut ke MK?
Menurut saya ini merupakan bentuk kearifan dari para kuasa hukum 02 yg tidak mungkin menolak keinginan anak-anak kecil yang ngeyel dan kecewa karena kalah dalam permainan. Jika penguasa hukum langsung menolak keinginan tersebut dan menjelaskan dengan logika hukum yang sesuai, maka mereka akan menghadapi arus gelombang emosi massa yg dibelanya. Dan bisa jadi mereka akan dilindas dan dicurigai melemahkan semangat para pendukung dan dianggap membela pihak lawan.
Atas pentimbangan inilah maka para kuasa hukum 02 ini mengalah, sehingga memasukkan beberapa keinginan dalam tuntutan di MK, agar yang memutus masalah ini lembaga peradilan, bukan tafsir para kuasa hukum. Untuk melakukan hal ini para kuasa hukum 02 mengambil resiko dianggap tidak mengerti hukum karena mengajukan tuntutan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum bahkan bertentangan UU.
Berbagai fakta ini jelas menunjukkan bahwa persidangan sengketa Pilpres di MK bukan semata persoalan hukum tapi soal mengasuh anak bangsa yang belum dewasa, mendidik anak kecil yang masih emosional. Sehingga tidak bisa menerima kekalahan saat bermain. Kemudian terus ngeyel dengan membuat berbagai tudingan agar keinginannya untuk menang dikabulkan.
Inilah resiko berdemokrasi dalam suatu bangsa yang derajad perkembangan sosialnya beragam. Yang sudah dewasa kadang dituntut untuk lebih arif memahami kemauan yang masih anak-anak dan mengasuhnya dengan sabar. Tapi jika ada anak-anak yang tetap ngeyel dan tidak tahu diri, terus bikin kegaduhan dan mengganggu yang lain, maka ada baiknya yang dewasa bersikap tegas dan keras pada mereka agar tidak merusak tatanan yg sudah disepakati bersama.***