Islamsantun.org – Obituarium ini awalnya telah saya tulis via status Whatsapp dan story Facebook secara bersambung pada saat satu hari selepas meninggalnya Mbak Pon. Serial trivia tersebut secara berkala saya sajikan selama dua hari dengan jeda waktu yang tak pasti, alias suka-suka saya. Disebabkan hanya tuk diniatkan sekadar mengisi waktu kosong, maka sengaja tak saya dokumentasikan. Hingga kemudian Mas Zakki meminta saya untuk menuliskan ulang obituarium tersebut (dan sangat susah menolak permintaan seorang kolega sekaliber beliau) maka akhirnya saya seriusi untuk menuliskannya ulang.

Pada tanggal 5 Januari 2023 pukul 19.00 WIB, Mas Wildan, seorang kawan penikmat musik indie (seperti halnya saya juga) mengirimkan sebuah foto tangkapan layar dari laman Twiter organisasi Kontras yang mengabarkan berita duka meninggalnya Ibu Siti Dyah Sujirah atau yang lebih dikenal dengan nama Mbak Pon atau Sipon, istri dari Wiji Thukul. Sebagai kawan baik, ia tahu bahwa saya pernah berhubungan baik, walaupun relatif singkat dengan Mbak Pon dan putranya, Fajar Merah, pentolan grup musik Merah Bercerita. Meskipun remeh, cerita ini selalu saya sampaikan kepada kawan baik, apalagi ketika tahu ia menggemari grup musik rock yang lirik-liriknya kebanyakan bersumber dari puisi itu. Meski demikian, sejak awal harus saya sampaikan bahwa apa yang saya tuliskan ini hanyalah trivia yang tak terlalu penting sebenarnya.

Awal Perkenalan

Cerita bermula pada tahun 2007, saat saya tengah memasuki fase mahasiswa semester akhir yang malu-malu menyebut jumlah semesternya. Ketika itu, saya pernah ikut mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar kecil yang didirikan oleh seorang kawan. Kebetulan, pasokan tenaga pengajar dari lembaga kecil itu salah satunya adalah dari kos-kosan kami, karena semua penghuninya adalah mahasiswa FKIP dari berbagai jurusan. Meski demikian, saya adalah salah satu pengajar yang jarang mendapat job, sebab anak siapa sih yang ingin les mapel Bahasa Indonesia?

Meski demikian, pada suatu waktu sebuah telepon masuk di ponsel saya dari admin bimbel yang mengabarkan bahwa ada satu orang tua yang menginginkan jasa les privat mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk anaknya yang masih duduk di bangku SMP. Ibu tersebut bernama Mbak Pon dari Jagalan. Usai menyanggupi, maka diberikanlah nomor ponsel si pemesan tanpa ada rasa curiga sedikit pun tentang siapa dia.

Tak berselang lama kemudian saya pun menghubungi nomor tersebut via telepon. Sudah menjadi hal yang lumrah jika seseorang menelepon orang yang belum ia kenal harus menunjukkan rasa hormat kepada lawan bicaranya, dan ketika itu wujud penghormatan saya adalah dengan menyapa orang yang saya telepon dengan sebutan Ibu, bukan Mbak seperti apa yang disampaikan oleh admin bimbel tadi. “Selamat siang,” sapa saya membuka percakapan, “Perkenalkan saya Andi dari lembaga bimbel anu (serius, saya lupa nama bimbelnya hehe). Apakah benar ini dengan Ibu Pon yang membutuhkan jasa pengajar privat mata pelajaran Bahasa Indonesia?”

“Iya Mas, benar. Saya Mbak Pon,” jawab perempuan itu cukup mengejutkan. Ternyata informasi dari admin bimbel memang benar terkait kata sapaan tersebut. Meskipun demikian, karena canggung saya memilih untuk tetap menyapa beliau dengan sebutan ibu dalam percakapan lanjutan yang membahas tentang teknis dan penentuan hari les ke depan. Hingga pada pertanyaan terakhir saya bertanya, “Kalau boleh tahu nama ananda siapa njih, Bu?”

Perempuan itu kemudian menjawab dengan ramah, “Namanya Fajar, Mas.”

Agak terkejut saya menerima jawaban singkat tersebut. Rasa penasaran pun sontak bermunculan. Coba Anda bayangkan tiga kata kunci berikut ini, Mbak Pon, dari Jagalan, punya anak lelaki bernama Fajar. Jika Anda cukup intens mengikuti perkembangan kesastraan Indonesia, ketika itu pasti Anda pun akan sama terkejutnya seperti saya. Tiba-tiba seolah terpanggil kembali memori-memori masa perkuliahan Sejarah Sastra dan Apresiasi Puisi yang diajarkan oleh mendiang Pak Yant Mujiyanto yang memang cukup getol mendengungkan nama Wiji Thukul. Ingin sekali saya bertanya lebih lanjut, tapi saya urungkan. Saya simpan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk besok saja ketika pertemuan pertama kursus dimulai.

Akhirnya hari yang disepakati itu pun tiba. Jarak tempuh dari kos-kosan saya di belakang UNS hingga rumah Mbak Pon di Jagalan relatif dekat, sehingga tak terlalu lama menuju ke alamat rumah yang sudah ia kirimkan sebelumnya. Sesampai di Jagalan, untuk mencari Kampung Kalangan pun tak terlalu susah. Saya perhatikan dengan seksama deret hunian demi hunian hingga sampailah saya di depan rumah yang masih berlapis tembok semen. Rumah itu cukup tinggi, bahkan seingat saya paling tinggi dibanding rumah-rumah di sekitarnya, sehingga untuk mengetuk pintunya saya harus menaiki beberapa anak tangga. Dan ketika saya ketuk pintu sembari beruluk salam, tak berapa lama kemudian keluarlah si empunya rumah. Seorang wanita yang wajahnya sudah tak asing dan cukup saya kenali karena beberapa kali muncul di media. Persangkaan saya sejak awal ternyata benar dan beragam pertanyaan yang tadinya hendak saya tanyakan kemudian saya urungkan. Sembari dipersilakan duduk di ruang tamu, saya berbasa-basi mengenalkan diri lagi. Segelas teh hangat telah dihidangkan dan tak berselang lama wanita itu memanggil anaknya. Fajar kecil pun keluar dengan membawa buku, dan Ya Allah untuk pertama kali saya melihat wajahnya yang begitu mirip dengan ayahnya, Thukul.

Sepanjang les, saya paham ternyata Fajar bukan anak yang pemalu seperti anak-anak sebayanya. Ia cukup komunikatif dan berani untuk menyampaikan materi-materi mana yang ia rasa susah, sehingga ini mempermudah saya sebagai pengajar untuk melakukan review ulang materi tersebut. Perlu dicatat, sepanjang kursus privat itu kami tak pernah membahas tentang PR dari guru. Jadi, apa yang kami ulas sepanjang proses pembelajaran otomatis hanya berisi pembahasan ulang materi dan sedikit latihan soal untuk sekadar evaluasi.

Pada akhir les kemudian saya dipersilakan untuk duduk di ruang tamu sembari menghabiskan segelas teh yang tadi telah disajikan. Pada waktu itu saya berbincang ringan dengan Mbak Pon. Melalui obrolan ringan itulah kemudian saya jadi tahu bahwa Fajar sendiri yang minta untuk dileskan Bahasa Indonesia. Jadi, kelas privat tersebut bukan atas inisiatif ibunya. Dari sinilah kemudian saya sedikit paham bahwa Mbak Pon bukanlah tipe orang tua yang terlalu mendikte anaknya.

Setelah itu pun kami bincang-bincang sekadar basa-basi, semisal membahas nilai sekolah Fajar, progres kuliah saya, aktivitas harian Mbak Pon, dan sebagainya. Sebenarnya di dalam hati kecil ingin sekali saya menanyakan tentang sosok Wiji Thukul, tapi tentu saya canggung karena belum begitu kenal dengan keluarga tersebut. Sampai tiba-tiba kemudian Mbak Pon sendiri yang membelokkan pembahasan tentang Thukul. Ia bisa bercerita dengan begitu lancar dan tenang. Sampai pada satu kesempatan dengan penuh hati-hati saya bertanya tentang sikapnya terkait hilangnya suaminya yang sudah masuk pada hitungan sekian tahun, maka kemudian ia bercerita bahwa sudah beberapa hari yang lalu keluarga tersebut diimpeni Thukul. Lelaki itu datang dalam mimpi Mbak Pon dan kedua anaknya dalam jarak waktu yang hampir berdekatan, hanya hitungan hari. Entah saya sendiri tak tahu apa arti mimpi tersebut, tapi itu cukup membuat saya terharu sekaligus takjub. Meski demikian, Mbak Pon melanjutkan dengan tegas bahwa sikap mereka sekeluarga tetap sama, akan terus mencari keberadaan kepala keluarganya sampai kapanpun dan di manapun itu.

Tak terasa hari makin petang. Tentu saya tak enak jika berlama-lama di rumah sederhana itu. Sembari beruluk salam saya meninggalkan rumah tersebut dengan perasaan yang tak karuan. Langit Kalangan petang itu memerah, tak berselang lama azan dari surau-surau pun bersahutan menemani saya berkendara pulang menuju kos-kosan.

Akhir Perjumpaan

Meskipun apa yang saya tuliskan di atas hanyalah kisah pada hari perjumpaan pertama, tapi sebenarnya begitulah gambaran pola perjumpaan lanjutan kami pada hari-hari berikutnya. Saya tak terlalu lama bisa berbincang dengan Mbak Pon dalam setiap pertemuan les. Kesempatan kami berjumpa dan ngobrol sejenak hanyalah ketika usai saya mengajar Fajar. Sembari duduk di ruang tamu, menikmati teh yang telah terhidang, maka pada saat itulah kemudian kami bisa berbincang. Saya menilai Mbak Pon adalah sosok istri sekaligus ibu yang tangguh, tegar, dan terbuka. Ia begitu mudah menceritakan hal-hal menakjubkan bagi saya terkait keluarga tersebut, semisal perjumpaan ajaib mereka di Malioboro yang sama sekali tanpa janjian terlebih dahulu. Takdir langit sepertinya yang menyetir mereka berempat untuk datang di satu titik lokasi, dan entah bagaimana pula Thukul sudah mempersiapkan sebuah mobil-mobilan untuk Fajar kecil. Selepas itu sudah, berpisah, dan siapa menyangka itulah pertemuan terakhir mereka.

Satu hal lagi yang sangat mencengangkan saya adalah bahwa Mbak Pon ternyata sosok ibu yang sangat perhatian terhadap pendidikan anaknya. Hal ini saya simpulkan dari pengalaman pribadi, ketika pada satu kesempatan Fajar minta diajari tentang materi konsep-konsep dalam drama. Maka sebisa mungkin saya jelaskan saja, karena toh informasi awal bisa saya baca dari buku paketnya yang kemudian saya tambah dari bekal mengikuti perkuliahan Apresiasi Drama, Penyutradaraan, dan sebagainya. Selepas pembelajaran sambal mempersilakan saya minum teh maka tiba-tiba Mbak Pon berujar, “Saya suka dengan cara mengajar Mas Andi tadi. Saya juga jadi mendapat pengetahuan tambahan terkait drama.”

Sontak saya terkejut, jadi selama ini Mbak Pon ikut menyimak proses pembelajaran kami dari ruang sebelah. Dan tidak menutup kemungkinan, jangan-jangan sejak dari pertemuan pertama beliau seperti itu. Padahal sepanjang pengalaman saya mengajar les privat, belum pernah saya menemukan orang tua yang seperti ini. Dari kejadian itu pula kemudian saya tahu Mbak Pon ternyata selain beraktivitas harian mencari nafkah dengan menjahit juga ikut mendampingi kelompok-kelompok kesenian berbasis kampung yang tersebar di Solo Raya, yang salah satunya tentu adalah kelompok teater.

Pernah satu ketika Mbak Pon sebenarnya mempersilakan saya untuk masuk melihat perpustakaan pribadi Wiji Thukul usai membahas kebiasaan lelaki tersebut yang sering menghabiskan waktunya di pasar buku bekas dan pulang-pulang sudah membawa sekarung buku yang dibawanya dengan becak. Namun, entah bagaimana ketika itu saya menolak secara halus. Keputusan inilah yang belakangan kemudian membuat saya menyesal. Ngapain juga saya tolak sih, meskipun memang barangkali saya memutuskan itu karena melihat kondisi rumahnya yang sederhana itu. Meskipun tokoh nasional, jangan dikira rumahnya gedongan. Maka dari itu, barangkali saya ketika itu benar-benar tak enak jika harus masuk-masuk di ruang yang mungkin sudah dalam ranah privat keluarga tersebut.

Terakhir, pada sesi yang ternyata belakangan saya sadari sebagai sesi akhir kursus, Mbak Pon sempat memberikan sebuah buku kepada saya yang berjudul Kebenaran Akan Terus Hidup. Sembari memberikan buku bersampul hitam dengan kover wajah Thukul itu ia mengundang saya untuk hadir pula dalam diskusi buku tersebut di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) yang di salah satu sesinya, Fajar akan tampil bermusik di dalamnya. Dari situ kemudian saya baru paham bahwa pada usia SMP itu ternyata Fajar sudah sering tampil di TBJT, sebuah panggung yang bagi kebanyakan seniman pemula merupakan tempat “horor,” karena di situlah tempat berkumpulnya para seniman tersohor. Maka dari itu, jika kini Fajar bisa malang melintang di dunia musik Indonesia, tentu itu dari pengalaman belajar musiknya sejak belia yang tidak instan.

Akhir perjumpaan saya dengan keluarga tersebut sebenarnya tak pernah terencana, karena seperti halnya kursus pada lumrahnya berakhir karena habis masa kontrak. Namun, kursus ini terpaksa dihentikan karena faktor keadaan. Ketika itu Solo masuk musim hujan dengan curah hujan yang begitu derasnya. Pada suatu sore ketika saya hendak berangkat mengajar, tiba-tiba Mbak Pon SMS saya, “Mas Andi, maaf lesnya diliburkan dulu ya, ini kami habis kebanjiran dan masih harus bersih-bersih rumah dulu.”

Mendapat pesan singkat seperti itu tentu saya bisa memaklumi. Kampung tersebut seperti yang saya pahami lama adalah salah satu kampung langganan banjir di Solo. Meskipun seperti apa yang telah saya sampaikan di awal bahwa rumah Mbak Pon termasuk rumah yang paling tinggi, tapi nyatanya ia mengabarkan bahwa air sampai masuk ke rumah. Tentu ini adalah musibah yang tak bisa diprediksi. Maka dari itu, saya pun memaklumi sembari menunggu barangkali akan dihubungi lagi untuk mengajar. Namun, kenyataannya itulah SMS terakhir Mbak Pon kepada saya.

Selamat jalan Mbak Pon, semoga lelahmu dalam memperjuangkan keadilan diganjar sebagai amal baik oleh Gusti Allah. Semoga kelak engkau bisa dikumpulkan kembali dengan suamimu, Wiji Thukul.

Komentar