Di Indonesia, sektor pendidikan masih menjadi permasalahan bagi bangsa ini. Dengan beragam budaya dan agama menjadi pertimbangan untuk mencari formulasi pendidikan yang baik dan cocok untuk menciptakan kurikulum yang dapat diterima di institut pendidikan serta berdampak baik bagi masa depan anak-anak Indonesia.

Mengawali tahun 2025 ini, Menteri Agama, Prof. Dr. Nasaruddin Umar memberikan wacana alternatif pendidikan di bawah naungan Kemenag dengan menggunakan ‘Kurikulum Cinta’. Kurikulum ini erat kaitannya dengan pesan moderasi beragama, agar ke depan anak-anak Indonesia bisa saling menghargai satu sama lain. Meski berbeda keyakinan, mereka mempunyai rasa cinta dan persaudaraan di lingkungan masyarakat tanpa perlu menyalahkan atau saling memfitnah sesat-menyesatkan.

Dalam mewujudkan toleransi dalam kehidupan, saya berpandangan salah satu cendekiawan muslim yang bernama Ziauddin Sardar dalam bukunya, Reading the Quran: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam, beliau sangat miris melihat sistem madrasah di Pakistan—yang juga mempunyai kesamaan dengan beberapa tradisi pendidikan tradisional di Indonesia.

Saat santri melakukan kesalahan, mereka akan dihukum dengan hukuman fisik. Menurut Sardar, metode itu berbeda dengan pendidikan yang digunakan oleh ibunya. Sang ibu mendidik anak dengan penuh kasih yang membuat rasa mencintai Al-Qur’an. Berbeda dengan rasa saat Sardar dididik dengan keras di lembaga pendidikan madrasah.

Jika ditelisik lebih dalam, kurikulum cinta yang digagas oleh Menag saat ini dapat menjadi obat penawar di tengah kekerasan di lingkungan pendidikan. Cinta adalah esensi dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Menegaskan hal tersebut, Dr. Aidh al-Qarni dalam buku “Muhammad Sang Inspirator” mengatakan bahwa Rasulullah diutus untuk membawa kabar gembira bagi alam semesta.  Sebagaimana termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 45.

Wahai Nabi (Muhammad), sesungguhnya Kami mengutus engkau untuk menjadi saksi, pemberi kabar gembira, dan pemberi peringatan.

Ayat tersebut mendahulukan diksi kabar gembira sebelum memberi peringatan kepada manusia. Al-Qarni menambahkan bagaimana Nabi menghadapi setiap situasi yang berbeda-beda. Saat sahabat mengalami kegelisahan dan mendapat musibah, Nabi selalu menyampaikan perkataan yang baik agar hati dan pikiran sahabat bisa lebih tenang.

Ada satu kisah familiar dalam kehidupan Nabi berinteraksi dengan aneka rupa manusia. Salah satunya orang Arab Badui. Saat itu orang Badui buang air kecil di samping masjid. Nabi dan sahabat melihat perilaku tersebut. Sahabat pun ingin menghentikan orang Badui itu. Namun, Nabi menghentikannya seraya berkata “Jangan kalian menghentikannya, biarkan dia.”

Setelah selesai, Nabi meminta air untuk diguyur di tempat Badui mengeluarkan hajat tersebut. Setelah itu, Nabi memanggil dan mengajarinya dengan penuh kelembutan dan keramahan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk terkena air kencing ini. Tidak pula kotoran. Tetapi, masjid ini adalah tempat untuk berzikir kepada Allah Swt, salat, dan tilawah Al-Quran.”

Dari kisah ini kita dapat melihat sosok Nabi yang sabar dalam memberi pemahaman kepada sahabat atau pun orang Badui. Mereka semua masih dalam proses belajar. Di sini Nabi Muhammad sangat tenang dan tutur kata lemah lembut di dalam menasihati.

Pendidikan dengan kasih dan cinta ini perlu disebarluaskan terutama kepada orang tua. Karena orang tua, terutama ibu adalah madrasah utama dan pertama. Dalam banyak kisah orang besar seperti Imam Syafi’i, kehadiran orang tua sangat berperan aktif membentuk karakter anak dan pola pikir. Saat di rumah sudah ditanamkan nilai-nilai keislaman, lalu diteruskan pendidikan selanjutnya dengan pendidikan yang menekankan kurikulum cinta, maka akan melahirkan generasi emas ke depannya.

Lantas jika santri sudah kelewatan batas baik itu dari sikap dan tutur kata yang kurang pantas, maka boleh diberikan hukuman yang sesuai dengan tingkat dan kapasitasnya. Sebagaimana Nabi yang juga berfungsi sebagai nadzir selain basyir.

Refleksi yang saya ambil adalah seorang guru perlu mendidik dengan penuh kenyamanan dan cinta. Sikap guru yang harmonis dan penuh makna dapat menyentuh hati perasaan santri agar tidak mudah menyerah dalam menuntut ilmu. Bukan dengan kekerasan yang melahirkan rasa takut dan trauma yang menyebabkan santri menyerah pada tujuannya.

Sama seperti Ziauddin Sardar yang dididik oleh ibunya. Sang ibu selalu memberikan nasihat dan motivasi positif tanpa kekerasan di dalam mendidik Ziauddin kecil. Alhasil, Sardar pun menjadi makin cinta dalam berinteraksi dengan Al-Quran.

Nabi juga mendidik para sahabat dengan penuh cinta dan perhatian yang hangat. Nabi selalu memberikan kabar baik dan motivasi yang membuat hati para sahabat tenang dan tersentuh. Akhirnya, hal ini meningkatkan kecintaan pada Al-Quran dan agama Islam sangat kuat, bukan dengan cara kekerasan.

Komentar