“Orang-orang dulu sibuk mempersatukan, kok sekarang malah sibuk memecah belah ya.” Pernyataan itu tak sengaja saya dengar ketika sedang berada di angkringan. Tampaknya yang nyeletuk itu adalah mahasiswa. Kemungkinan, pernyataan itu adalah respons dari situasi terkini. Situasi pasca pilpres yang masih menghangat.

Jika direnungkan, celetukan itu memang benar. Dulu, bangsa ini terkotak-kotak dalam semangat kesukuan. Untuk mempersatukannya, perlu kerja keras dan waktu yang panjang. Hari ini, bukannya merawat persatuan, sebagaian orang justru mengotakkan diri masing-masing. Berkubu-kubu, saling menyekat dan menganggap orang lain yang berbeda sebagai “musuh”.

Nahasnya, mereka yang gemar berkubu-kubu ini hanya dilatari masalah politik lima tahunan. Kebencian terhadap liyan yang mendarah daging mematikan akal sehat. Di saat yang sama, ironisnya, mereka juga bicara soal ukhuwah. Mungkin mereka lupa bahwa ukhuwah bukan hanya ukhuwah Islamiyah, namun juga ukhuwah (persaudaraan) sesama manusia.

Kita tahu, Tuhan bisa saja menjadikan semua orang di dunia sama. Sama agamanya, sama mazhabnya. Tapi Tuhan tidak mengendaki itu. Ia memilih menjadikan manusia hidup dalam keragaman. Pesan ini sudah jelas dan mudah dipahami, bahwa perbedaan itu memang sunatullah. Maka yang harus dilakukan manusia adalah mengupayakan kerukunan dan kehidupan yang harmonis.

Perihal merawat persatuan dan persaudaraan (ukhuwah) sesama anak bangsa, kita perlu belajar kepada Sinta Nuriyah, istri almarhum Gus Dur. Belasan tahun ia mengadakan sahur keliling untuk merajut damai antar umat beragama. Sahur keliling itu diadakan di masjid, gereja, wihara, lembaga pemayarakatan dan tempat-tempat lain.

Upaya semacam itu penting mengingat salah satu persoalaan yang menggerogoti bangsa adalah adalah intoleransi yang dipupuk prasangka buruk pada penganut agama lain. Maka harus ada orang-orang yang mau turun ke lapangan untuk menjaga komunikasi yang baik dengan banyak kelompok dan golongan. Sinta Nuriyah adalah teladan itu.

Hanya saja, tetap akan kita temui orang-orang yang nyinyir dengan kerja-kerja yang dilakukan Sinta Nuriyah. Ada pula yang menanyakan kedalaman agamanya, hanya karena makan sahur di rumah ibadah agama lain. Mereka hanya bisa nyinyir dan mencibir. Padahal kerja besar untuk keutuhan bangsa itu tak pernah mudah. Karena tak mudah tak banyak yang mau melakukannya.

Kabar buruknya, meskipun ada orang-orang berhati tulus seperti Sinta Nuriyah yang terus-menerus menjadi jembatan persaudaraan, ada juga orang-orang yang menganjurkan perpecahan bangsa dengan melakukan provokasi. Apa tujuannya? Tak lain dan tak bukan adalah demi kekuasaan. Mereka pun tak segan menebar kebohongan dan kebencian, dan itu dilakukan terus menerus. Energi mereka seperti tak ada habisnya, tak pernah lelah dan tak kenal henti.

Mereka seperti tak peduli jika masyarakat tercerai berai. Tak peduli jika intolerasi dan radikalisme atas nama agama meningkat. Jika tujuan sudah tercapai mereka tak ambil pusing dengan anak bangsa bangsa yang berdarah-darah dalam pertikaian berkepanjangan.

Mungkin mereka tak sadar jika kerja-kerja keji memecah bangsa akan dicatat oleh sejarah. Semoga dapat kita renungkan kembali makna ukhuwah.

 

 

Komentar