Marhaban ya Ramadan, selamat datang bulan Ramadan. Kata marhaban terambil dari kata rahb yang berarti luas atau lapang. Sehingga marhaban menggambarkan tamu yang datang disambut dengan lapang dan penuh kegembiraan. Suka cita itu bahkan saat ini diekspresikan tidak hanya oleh masyarakat Muslim, tetapi juga nonmuslim. Di media sosial kita melihat tren war takjil yang menggambarkan suka cita bagi semua golongan.

Tentu hal itu adalah pertanda positif. Selain menjadi potret harmoni toleransi, juga menjadi roda penggerak ekonomi. Namun, rasa suka cita menyambut kedatangan Ramadan ini perlu ditingkatkan lagi. Tidak sebatas bergembira dengan hal-hal artifisial, tetapi juga menyentuh poin yang substansial. Bergembira dengan aneka jajanan yang kadang tidak dijual selain bulan Ramadan adalah kegembiraan artifisial. Segala yang ‘buatan’ itu hanya akan mendatangkan kebaikan semu, biasanya.

Lantas apa kegembiraan substansial dari menyambut Ramadan? Tiada lain kesiapan mental, fisik dan spiritual kita menyambut Ramadan. Substansi dari puasa adalah al-imsak, menahan. Lebih tegas Cak Nun dalam buku “Tuhan Pun Berpuasa” menguraikan spirit shaum sebagai berikut:

“Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan. Mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini: ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan.”

Pernyataan Cak Nun lebih dari tiga dasawarsa silam, kiranya makin tepat dengan kondisi mutakhir. Ironi memang, bulan puasa yang seharusnya dapat menahan, justru realitanya jadi ajang pelampiasan. Berbagai penelitian menyebutkan pada bulan inilah pemasok sampah terbanyak sepanjang tahun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sampah melonjak 20% ketika puasa tiba.

Data ini menjadi potret sekaligus kritik keras bagi cara beragama kita yang sebagian besar masih senang dengan artifisial-seremonial daripada substansial jangka panjang. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183 yang menjadi ayat favorit para pendakwah di bulan Ramadan ditegaskan bahwa hasil dari puasa adalah ketakwaan.

Sayangnya kita gagal memberikan definisi implementatif terhadap takwa. Selama ini takwa hanya dipahami sebagai proses menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Sangat abstrak dan tak punya daya gebrak.

Padahal kalau kita buka kitab suci, salah satu indikator takwa dalam Surat Ali ‘Imran ayat 134 adalah wa al-kazhimin al-ghaiz, orang-orang yang mampu mengendalikan emosinya. Emosi berkaitan dengan rasa dan nafsu. Termasuk dalam hal ini adalah keserakahan dan kerakusan untuk meraup apa yang selama satu hari telah ditahan.

Puasa yang benar akan melahirkan pribadi yang mampu mengelola emosi, mindfullness, berdaya guna tidak gagal berdaya. Pengendalian emosi ini pada akhirnya akan mengekang nafsu ketamakan untuk membalas dendam. Mengonsumsi semua makanan ketika berbuka, padahal yang dimakan hanya beberapa jenis makanan saja. Selebihnya dibuang menjadi sampah makanan. Belum lagi plastik kemasan takjil yang juga secara otomatis menjadi sampah.

Karenanya data dari berbagai lembaga seputar sampah di bulan Ramadan bukanlah isapan jempol. Kalau seandainya kita bisa menahan ego, makan secukupnya, minum seperlunya, tentu sampah pun berkurang drastis. Kalau ini menjadi gerakan masif, dampaknya begitu besar. Di sinilah bulan Ramadan sebagai bulan pendidikan berhasil menciptakan agen-agen muttaqin.

Alih-alih berdebat soal isu klasik memulai puasa dengan hisab atau rukyat; tarawih berapa rakaat; masjid mana yang takjilnya paling nikmat; dan sebagainya, sudah saatnya umat Islam lebih peka dengan kondisi lingkungan yang sudah makin memprihatinkan. Krisis iklim bukan ilusi, bahkan kita rasakan hingga ke pelosok negeri. Dan semua itu karena ulah manusia yang lupa dengan jati diri. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Surat Al-Rum ayat 41.

Oleh karena itu, bulan puasa seharusnya menjadi bulan pemulihan bagi alam. Ramadan menjadi bulan pertobatan ekologis bagi umat Islam yang nakal merusak lingkungan. Bukan malah justru bertambah destruktif di kala Tuhan menyuruh manusia untuk konstruktif melalui puasa.

Destruktif meski berpuasa ini sudah disampaikan oleh Nabi Muhammad. Beliau memberikan indikasi, betapa banyak orang yang berpuasa dan yang didapat hanya lapar dan dahaga. Hadis ini dapat dipahami dalam konteks kekinian. Mereka yang berpuasa selevel lapar dan dahaga adalah yang terus menumpuk sampah kehidupan. Sampah yang keluar dari kata-katanya, sampah makanan yang tidak habis disantapnya, juga sampah plastik dan barang-barang sekali pakai lainnya.

Mari kita menyambut Ramadan dengan penuh kegembiraan. Gembira karena kita akan dididik langsung oleh Tuhan untuk menjadi pribadi yang muttaqin. Mereka yang hidup sewajarnya dan secukupnya di tengah gemerlap kehidupan duniawi. Mereka yang mampu menjaga alam dengan mengekang ketamakan. Mereka yang mampu memulihkan lingkungan yang rusak menjadi baik kembali. Itulah esensi pribadi takwa. Itulah tujuan puasa. Wallahu a’lam.

Komentar