Saat Ramadan datang, masyarakat bergembira dan menyambutnya dengan gegap gempita. Biasanya pengeluaran masyarakat untuk menyambutnya juga menjadi lebih besar. Hal ini menjadikan puasa sebagian masyarakat tidak ada bedanya dari hari-hari biasa. Perbedaan hanyalah pada jam makan saja. Bahkan menu makanan yang disajikan akan lebih banyak jumlahnya dan variasinya.

Kenyataan di atas juga diikuti dengan maraknya undangan buka bersama yang selalu berlebih. Hal tersebut menjadikan sisa makanan dan sampah akibat konsumsi selama Ramadan selalu meningkat dengan tajam. Pada akhirnya, esensi puasa tidak mampu digapai oleh mereka yang puasa. Walaupun dalam hadis memang dijelaskan bahwa orang puasa ada dua kegembiraan, salah satunya saat berbuka, namun kegembiraan itu harus dimaknai dengan kebaikan dan tidak berlebih.

Era Covid-19 menjadikan kebiasaan yang selama ini dilakukan dalam bulan Puasa pada tahun-tahun sebelumnya menjadi hilang dan dilarang. Hal tersebut dikaitkan dengan peraturan jaga jarak dan adanya PSBB yang menjadikan buka puasa sekarang dilakukan secafa terbatas dengan keluarga kecil saja dan di rumah saja. Cara ini tidak mengurangi kegembiraan bagi mereka yang berbuka puasa. Semangat berbagi dalam hal ini semakin meningkat seiring banyaknya mereka yang terdampak dalam pusaran Covid-19.

Gegap gempita menu masakan hotel dan restoran sudah tidak terlihat lagi. Akhirnya, banyak juga kreativitas yang dilakukan ibu-ibu membuat masakan yang mudah dan disenangi semua keluarga. Hal inilah yang memaksa bagaimana anak-anak tidak merasa bosan dan menikmati masakan yang ada di rumah.

Namun, hal di atas masih dalam koridor untuk kebaikan bersama. Adanya lockdown juga memaksa banyak masyarakat yang terkena imbasnya. Hal tersebut menjadikan mereka tidak kurang mampu dalam menghidangkan menu buka puasa sebagaimana lazimnya. Hal inilah yang menimbulkan semangat berbagi di antara umat Islam. Jika umat Islam yang memiliki kelebihan harta dapat bertanggungjawab dengan tetangganya yang kekurangan, maka kehidupan maayarakat akan lebih baik dan harmonis.

Kembali ke esensi puasa yang lebih banyak dikaji dan dibahas oleh ulama tasawuf. Kebiasaan puasa dalam hal ini sering dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang hanya berpuasa sebagai ritual tahunan dan kurang mampu menjadikan puasa sebagai alat peningkatan kualitas kehidupan setelahnya. Mereka ini cenderung hanya ikut-ikutan musim saja. Musim puasa ikut puasa dan musim lebaran ikut juga lebaran.

Bentuk kedua puasa adalah puasanya meraka yang memiliki ilmu. Mereka ini tidak terjebak dalam rutinitas namun sudah mampu menggali beragam makna yang ada sehingga kegiatan puasanya ini dapat bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kebiasaan dalam Ramadan dilakukan dengan cara yang berfaidah seperti mencari ilmu untuk menambah keberkahan hidup yang dapat dilakukan secara online dengan beragam bentuk sosmed.

Tingkatan tertinggi adalah puasanya kalangan khawasul khawas. Mereka ini adalah orang khusus yang sudah tidak lagi mencari pahala saja melainkan mencari ridha Allah swt. Mereka menjalankan puasa dan menjauhi hal-hal yang menjadi penyebab gugurnya pahala puasa.

Secara tidak langsung seluruh ajaran Islam terdapat dimensi sosial dengan berbagi. Iman dan amal saleh menjadi satu kesatuan. Bahkan dalam QS. Al-Maun (107): 1-3 dijelaskan bahwa orang orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak mampu berbagi dengan sesama. Kenyataan tersebut merupakan cambuk bagi umat Islam bahwa beragama tidak saja dengan menjalankan kegiatan seremonial ibadah saja melainkan berbagi dengan sesama. Mereka ini harus mampu berbagi apalagi dalam kondisi mewabahnya Covid-19 ini.

Komentar