Islamsantun.org. Setiap fase perkembangan manusia memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri. Tiap fasenya memiliki post yang sudah semestinya dimiliki oleh individu. Salah satu perkembangan individu di antaranya adalah fase dewasa. Fase ini merupakan masa transisi dari fase remaja menuju fase dewasa. Pada masa dewasa awal, seorang individu memiliki kesempatan luas untuk mengembangkan dirinya. Ia memiliki perubahan pada segi kognitif, sehingga dapat berpikir lebih mendalam dalam memututuskan suatu hal.
Menurut Hurlock, (1996) masa dewasa awal adalah fase di mana indvidu menghadapi penyesuaian diri pada pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial baru. Timbul ekspektasi bahwa orang dewasa awal dapat menjalani peran baru, seperti suami/istri, orangtua dan berkarir, keinginan lainnya, serta mengembangkan kualitas diri yang baru dan tugas baru (Hasnawati et al., 2020) . Dapat disimpulkan bahwa menjadi dewasa berarti memiliki peran dan tanggung jawab baru dalam hidupnya.
Perubahan peran dan tanggung jawab yang dimiliki individu pada masa dewasa awal tidak dapat dipungkiri dapat menimbulkan delematis tersendiri. Individu dewasa awal seringkali dilanda gelisah memikirkan arah hidup, pencapaian diri apa yang sudah didapatnya, dan problem kehidupan sosial yang begitu kompleks. Kondisi inilah yang dapat dinamakan sebagai Quater Life Crisis. Secara definisi quarter life crisis adalah kondisi dialami oleh individu dewasa awal yang sedang mengalami kekhawatiran masa depan, menuju kehidupan nyata individu dewasa (Syifa’ussurur et al., 2021).
Kondisi ini pada umumnya dialami ketika lulus dari perkuliahan. Apa yang akan dilakukan setelah lulus dari perkuliahan ini? Akankah melanjutkan studi? Memutuskan menikah? Jenis pekerjaan yang seperti apa yang akan sesuai dengan passion dan peluang? Pertanyaan pada diri sendiri seputar dirinya menjadi sebuah kegelisahan sendiri, apalagi jika ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Kondisi ini akan mendorong individu jatuh pada gangguan psikologis, seperti stres, cemas, insecure, dan bahkan depresi.
Berdasarkan penelitian, Quarter Life Crisis telah mempengaruhi 86% generasi milenial. Sejalan dengan survey yang dilakukan Gumtree.com 86% dari 1.110 responden di Inggris yang pernah mengalami masa quarter life crisis, dan terdapat 32% responden yang menyatakan memiliki tekanan besar untuk menikah dan memiliki anak, maksimal usia 30 tahun (Herawati & Hidayat, 2020). Dapat dikatakan bahwa kondisi Quarter Life Crisis wajar dialami oleh individu. Hal yang perlu kita highligt adalah bagaimana menghadapi quarter life crisis ini? Apa jadinya jika kita tidak memiliki formulasi ampuh untuk menghadapi masa krisis ini?
Kita generasi milenial kerap kali terjebak oleh tuntutan tanggung jawab sosial dan pertanyaan-pertanyan yang dilontarkan oleh orang lain. Pertanyaan meliputi “kapan lulus”, “kapan kerja”, “kapan nikah”, “kapan punya anak” dan pertanyaan kapan yang lainnya. Pertanyaan inilah dirasa mengandung toxic, sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak nyaman.
Pada dasarnya mempertanyakan kedirian adalah satu langkah individu lebih awal dari proses kehidupan sebelumnya. Dengan bertanya kepada diri sendiri berarti ia mulai sadar akan tujuan hidup dan bagaimana mewujudkan kehidupan yang diinginkan individu. Maka dari itu kita sebagai manusia, diberikan kenikmatan berupa akal dan agama, perlu bermuhasabah dan merefleksikan diri.
Merefleksikan diri yang berarti memberikan ruang dirinya sendiri untuk berkomunikasi pada dirinya sendiri. Hal yang terdengar remeh, tapi kerap kali dilupakan oleh manusia. Kita seringkali terjebak oleh komunikasi dua arah kepada orang terdekat kita dalam penyelesaian masalah. Padahal sejatiya diri kitalah yang lebih mengetahui dibanding orang lain. Jarak yang begitu jauh dengan “diri kita sendiri” menjadi jurang pemisah yang amat curam. Seorang Sufi Rumi mengungkapkan dalam syairnya bahwa “kenalilah dirimu maka kau akan mengenal tuhanmu”
Dalam konteks permasalahan quarter life crisis kita perlu membangun mindset baru dan keluar dari kubangan keterpurukan. Memandang masa krisis ini menjadi langkah awal untuk mengenal diri sendiri lebih dalam dan mengekspolrasi potensi diri. Kita perlu merespons fase krisis ini dengan penuh kebermaknaan.
Menyadari dengan kesadaran penuh tujuan, visi misi hidupnya, langkah apa yang harus dilaluinya dan konsekuensi terhadap piihan jalan hidup. Hal ini meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti pencapaian bidang karir, studi, relasi percintaan yang harus seirama dengan pikiran dan hati kita. Tidak perlu berpikir “nanti bagaimana”. Mulailah saja terlebih dahulu. Sebuah pencapaian diri tidak dapat diraih secara instan, tapi penuh proses perjuangan. Melewati post-post secara berurutan hingga mencapai garis finis. Jadi mari kita lakukan perubahan dalam diri kita.