Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
(Chairil Anwar)
Belum pupus kesedihan saya lantaran ditinggal seorang bulik yang sudah seperti ibu, saya harus mendengar kabar duka: Pak Hudaya wafat. Sontak kesedihan dan rasa kehilangan menyeruak. Group-group WA dan WA story penuh ucapan belasungkawa. Duka itu benar-benar tak bisa disembunyikan.
Dua bulan ini, rasanya kita dipaksa berkarib dengan kabar kematian. Satu demi satu orang-orang terdekat kita wafat. Seperti sedang menunggu keberangkatan kereta di stasiun kota, kita berjajar di peron. Jika saatnya tiba, kita akan bertolak ke tujuan akhir. Dan tatap tajam mata wabah seolah mengintai dari balik tirai.
Saya mengenal Pak Hudaya pertama kali ketika di tahun 2016 saya menjadi pengajar di KPI FUD IAIN Surakarta. Saat itu beliau adalah Wakil Dekan 1 FUD. Kesan saya, beliau adalah sosok yang santun dan bersahaja, ramah dan murah senyum. Tampak bahwa baginya jabatan hanyalah titipan. Tak ada kesan bossy meski sedang jadi pejabat. Hakikat “menjabat sama dengan melayani” justru yang beliau tampakkan.
Itu menarik mengingat beliau sebetulnya adalah kiai, dalam arti sesungguhnya. Di wilayah Karanganyar, dan Solo pada umumnya, beliau dihormati sebagai tokoh agama. Namun, beliau pandai menempatkan diri. Di kampus, ia memposisikan diri sebagai dosen dan kawan belajar. Egaliter. Menanggalkan “pakaian kiai” di rumah. Sedangkan di rumah atau di majelis-majelis, beliau menjalankan perannya sebagai seorang agamawan. Ketika wafat beliau menyandang amanah sebagai Rais Syuriyah PCNU Karanganyar.
*
Salah satu kenangan saya dengan Pak Hudaya adalah manakala saya mengikuti Latsar CPNS. Beliau adalah mentor saya saat latsar. Sebagai mentor, beliau diwajibkan membimbing dan hadir ketika saya ujian di Semarang. Dengan ringan, beliau datang ke Semarang dengan nyopir sendiri mobilnya. Di situ saya melihat betapa humble dan entengan beliau. Dan itu membuat saya jadi pekewuh.
Di lain kesempatan, Pak Hudaya mendampingi mahasiswa-mahasiswa KPI dalam kegiatan KKL di Jakarta dan Bandung. Pada acara makan malam di sebuah café, Pak Hudaya didaulat menyanyi. Begitu beliau naik panggung, saya tercengang. Beliau menyanyi dengan sangat memukau. Seolah naik panggung untuk menyanyi adalah hal yang sering beliau lakukan. Sayangnya saya tak ingat betul lagu apa yang beliau nyanyikan malam itu, yang pasti berbahasa Inggris dan dibawakan penyanyi/band luar.
Jika menyaksikan beliau malam itu di atas panggung, mungkin banyak yang tak ingat jika beliau adalah kiai. Lebih-lebih ketika tepuk tangan riuh para mahasiswa membahana meramaikan café. Lantaran takjub dengan suara dan aksi panggung Pak Hudaya.
Setelah turun panggung Pak Hudaya bertanya kepada saya: “Mas Zakky suka lagu apa?” Saya menjawab suka The Beatles dan Coldplay. Beliau berujar kalau suka musik rock. Dengan runut beliau menyebut musisi-musisi dan band luar yang beliau suka. Saya langsung teringat Gus Dur, sosok kiai yang menggemari musik.
Kini Pak Hudaya telah tiada. Beliau meninggalkan teladan baik kepada kita. Tentang sikap rendah hati dan santun dalam laku. Tentang kemauan melayani dan mengayomi. Jabatan dan segala yang melekat di diri kita hanya semantara. Sehingga tidak ada alasan menjadi angkuh dan merasa digdaya, di dunia yang sejatinya fana belaka.
Sugeng tindak, Pak Hudaya. Swargi langgeng. Matur nuwun.