Ketika saya menulis makalah untuk acara “debat akademis Islam nusantara” (selanjutnya IN) yang diadakan Unusia (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) kemaren, 20/6, salah satu hal yang asyik tetapi sekaligus menyita waktu adalah: membacai satu-satu tulisan sarjana Indonesia (sekali lagi: sarjana Indonesia) yang lain yang telah menulis tentang tema IN serupa. Hal itu saya lakukan karena selama ini saya “mendakwahkan” gagasan “agar sesama sarjana Indonensia saling mengutip.” Dakwah ini saya gaungkan terakhir kali di acara Kemenag yg dimotori oleh Mas Ayus Mahrus EL-Mawa beberapa waktu lalu.
(Ini link untuk makalah saya: shorturl.at/n1345)
Sejauh ini saya melihat gejala berikut: sarjana Indonesia cenderung menulis ribuan artikel di jurnal tetapi tidak menyitir secara sungguh-sungguh karya sesama teman sarjana yang lain. Yang terjadi adalah “monolog,” percakapan searah. Tidak ada kehendak untuk “engage others scholarly/theoretically.” Tampaknya menulis di jurnal hanya untuk memenuhi “ritual akademis” saja, bukan untuk melakukan percakapan dengan sarjana lain secara sungguh-sungguh.
Observasi saya ini mungkin, atau semoga saja salah, karena saya tidak membaca secara “close reading” semua jurnal ilmu-Ilmu sosial/keislaman (karena ini minat saya) di Indonesia. Tetapi itulah kesan yang ada pada diri saya. Yang saya maksud dengan “engagement” di sini bukan sekedar “sitasi” atau pengutipan biasa, tetapi sitasi yang diniatkan untuk “engage,” bergulat dan berdiskusi dengan gagasan sarjana lain.
Karena “kudet” (kurang update), saya akan memberi contoh gamblang tentang “scholarly/theoretical engagement” yang saya tahu. Tetapi ini contoh dari tahun 80an (kalau tidak salah). Contoh dari periode yang lebih mutakhir tidak bisa saya berikan karena kekurangan informasi pada diri saya. Contoh yang saya maksud adalah berikut ini.
Yang akrab dengan bukunya Clifford Geertz “The Religion of Java” pastilah akan mengenal juga resensi yang ditulis oleh ilmuwan sosial besar kita dari LIPI, Harsya W. Bachtiar. Resensi Bachtiar ini begitu “nendang” sehingga terus diingat oleh siapapun yang membaca teorinya Geertz tentang taksonomi masyarakat Jawa itu. Resensi Bachtiar ini dikutip oleh banyak para sarjana, baik dalam atau luar. Bukan hanya dikutip, tetapi juga dikomentari, baik komentar yang mendalam atau sekilas saja.
Catatan: Saya sengaja mengintrodusir Bachtiar sebagai ilmuwan sosial besar (untuk ukuran Indonesia) karena dia bisa melakukan “theoretical engagement” dengan ilmuwan sosial lain yang besar juga, yaitu Geertz. Saya harus menyebut sarjana kita, Amanah Nurish, yang ikut memberikan catatan atas teori Geertz ini melalui bukunya: Agama Jawa. Tetapi pertanyaannya: Apakah sarjana kita “engage” dengan buku Nurish ini atau tidak, sebagai bentuk keseriusan dalam bercakap-cakap di antara sesama kolega? Atau buku Nurish ini dilupakan saja? Perlu kita lihat.
Itulah yang saya maksud dengan “bercakap-cakap” secara sungguh-sungguh dengan sesama sarjana. Sayangnya, saya tidak melihat hal ini sekarang. Tidak ada percakapan di jurnal-jurnal ilmiah di antara sesama sarjana kita sendiri. Sarjana kita cenderung bercakap-cakap dengan sarjana asing, dan inilah yang menjelaskan kenapa sitasi atas karya sarjana asing lebih banyak.
Saya tidak tahu, kenapa hal ini terjadi. Ada tiga kemungkinan, dan ini hanya dugaan saya saja; semoga saya keliru. Pertama, kemalasan untuk membaca karya sesama sarjana Indonesia dengan sungguh-sungguh. Kenapa malas, saya tidak tahu. Kedua, karena tidak ada “temuan teoretis” yang menarik oleh sarjana kita sendiri, sehingga mereka malas mengutip tulisan ilmiah oleh kawan-kawan sendiri. Ketiga, karena faktor “kekerenan,” merasa lebih keren jika mengutip karya sarjana asing dalam bahasa-bahasa Eropa.
Apapun alasannya, gejala “monolog akademis” atau berbicara sendiri tanpa bercakap-cakap dengan sesama kolega dalam bidang yang sama ini, jelas tidak baik, untuk tidak mengatakan: menjengkelkan. Sebab, pengetahuan hanya bisa berkembang jika dibangun dalam sebuah komunitas. Tetapi, apa yg disebut “komunitas” tidak akan terbentuk jika tidak ada “engagement” antara satu anggota dengan yang lain. Jika semua orang berbicara sendiri-sendiri dalam sebuah monolog, komunitas pastilah tidak akan terbentuk; komunitas dalam pengertian “komunitas epistemik.”
Dalam makalah saya untuk diskusi “debat akademis IN” itu, secara sadar saya ingin “mengamalkan” apa yang saya dakwahkan itu. Saya mencoba untuk “engage” semampu saya dengan karya sarjana Indonesia yang lain. Ketika saya mengutip sarjana asing untuk kebutuhan membangun sebuah argumen, saya berusaha “njawil” sesama teman sarjana Indonesia yang lain. Dengan cara ini, saya juga ingin menghormati peluh-keringat yang telah menetes dari sarjana Indonesia lain yang telah mengerjakan tema serupa.
Saya berharap teman-teman sarjana lain melakukan hal serupa di masa-masa mendatang. Sekali lagi, pengetahuan tidak akan mengalami “akumulasi” dan pertumbuhan pelan-pelan jika tidak ada komunitas yang masing-masing anggotanya bercakap-cakap, berdialog, bukan “ber-monolog.”
Matur nuwun.