Nadzrah Jadidah li al-Qur’an merupakan alihbahasa dari versi aslinya berjudul Rethinking the Quran yang terbit kurang lebih dua puluh tahun lalu. Barangkali buku ini adalah salah satu karya-karya terakhir yang ditulis oleh Nasr Hamid Abu Zayd.

Sebagai karya terakhir, buku ini membicarakan alternatif dari pemikiran-pemikiran Nasr; kompromi dan jalan keluar dari semua soal yang ia bicarakan dalam karya-karyanya yang dahulu, mengenai kritik nalar dan keilmuan Islam, utamanya studi Qur’an dan Tafsir.

Membaca karya-karya tentang Nasr, kita akan menemukan ia membagi dimensi Qur’an ke dalam dua dimensi; vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal merupakan dimensi tekstualitas (nash) Qur’an sementara dimensi horizontal merupakan dimensi wacana (khitab) Qur’an.

Sebagai fenomena yang hidup, Qur’an ibarat musik yang dimainkan oleh sekelompok orkestra. Mushaf Qur’an adalah not musik yang tidak menyanyikan nada apa pun sampai ia “dinyanyikan” dengan indah.

Nasr memaknai wacana (khitab) Qur’an sebagai upaya menghadirkan kembali fenomena hidup dan intensi Qur’an sebelum ia menjadi teks yang suci (nash muqaddas). Sebab, menggumuli Qur’an sebatas ia sebagai teks, atau bergumul dengan tekstualitas Qur’an, hanya akan menyempitkan kemungkinan-kemungkinan penafsiran dan akhirnya hanya mengulang-ulang tafsir yang usang. Bahkan membuka peluang terjadinya “permainan” ideologi dan perdebatan penafsiran di kalangan mutakallim.

Nasr juga menyadari bahwa pergumulan dengan tekstualitas Qur’an hanya akan mengurangi posisi sentral Qur’an dan melupakan hakikat Qur’an sebagai wahyu yang selalu menyampaikan pesan-pesannya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, memandang Qur’an sebagai teks membuatnya tidak lebih dari textus receptus (al-nash al-mutalaqqa), cara pandangan yang juga digunakan para pemikir terdahulu.

Tidak dapat diragukan lagi, terang Nasr, bahwa tekstualitas Qur’an telah dan akan terus membentuk ideologi bagi kaum muslim. Alih-alih membentuk ideologi elit yang inkulsif dan membawa nilai universal, tekstualitas Qur’an justru membentuk aturan-aturan eksklusif bagi kaum muslim.

Oleh karena itu, perlu untuk membangun pandangan baru terhadap Qur’an. Tanpa mengembalikan intensi Qur’an yang hidup (wacana), baik dalam konteks akademi atau pun kehidupan sehari-hari, kita tidak akan sampai pada pembacaan yang demokratik.

Nasr menjelaskan mengapa musti demokratik karena pembacaan tersebut berkaitan dengan makna hidup yang harus terbuka dan mengutamakan persamaan. Kalau kita memang benar-benar ingin membebaskan pemikiran agama dari dominasi dan eksploitasi penguasa, baik secara politis, sosial maupun teologis, maka kita harus mengembalikan makna tersebut kepada masyarakat beriman. Maka kita perlu untuk mengkonstruksi hermeneutika humanis yang demokratik dan terbuka.

Nasr menekankan bahwa keragaman pengalaman agama merupakan bagian dari keragaman kita sebagai manusia, terutama berkaitan dengan makna kehidupan secara umum.

Dengan demikian, untuk menyambungkan antara makna Qur’an dengan makna kehidupan kita harus merujuk pada hakikat bahwa Qur’an merupakan hasil dari dialog, perdebatan, pembantahan, penerimaan dan penolakan. Tidak hanya dengan norma dan tradisi budaya pra-Islam akan tetapi juga dengan penilaian, asumsi, penegasan dan lainnya, yang sebelumnya telah ada.

Setelah menawarkan pembacaan baru; Qur’an sebagai wacana, selanjutnya Nasr membicarakan intensi yang melingkupi Qur’an.

Quran vs Mushaf

Pada bagian ini, Nasr menyinggung tahkim, sebuah peristiwa besar yang terjadi antara Ali dan Muawiyah. Muawiyah yang terdesak oleh pasukan Ali merobek mushaf dan menancapkannya di ujung tombak sebagai simbol untuk kembali pada Qur’an dalam setiap perselisihan.

Yang menjadi fokus Nasr dalam peristiwa tersebut adalah ucapan Ali yang menyifati mushaf Qur’an sebagai sesuatu yang diam (shamit), dan yang membuatnya “berbicara” adalah para pembacanya.

Bagi Nasr, ungkapan Ali tersebut memiliki akibat yang fatal, karena anggapan Qur’an sebagai mushaf (teks) dapat membuka lebar pintu kemungkinan penafsiran ulang serta potensi eksploitasi politis pada makna Qur’an. Dan itulah yang terjadi pada peristiwa Ali-Muawiyah.

Rekonstruksi dan Manipulasi Teks

Pada poin ini, Nasr membicarakan alternatif di antara banyak corak penafsiran yang ada selama ini. Nasr memilih potensi penafsiran sufistik atau filosofis ketimbang penafsiran teologis dan yuridis yang cenderung membagi ayat menjadi muhkam yang dapat ditafsir dan mutasyabih yang tidak dapat ditafsir, serta menyandarkan pemahamannya pada prinsip nasikh dan mansukh. Dua prinsip tersebut, menurut Nasr, justru mempersempit kemungkinan penafsiran yang ada.

Alasan Nasr memilih penafsiran sufistik dan filosofis karena penafsiran tersebut merupakan unsur yang akan mengantarkan pada wacana pembacaan yang demokratik dan terbuka dalam budaya Islam. Adalah Ibn Arabi, tokoh sufisme yang dirujuk Nasr dengan karyanya berjudul al-Futuhat al-Makiyyah. Karya tersebut merupakan karya yang cukup memadai sebagai alternatif penafsiran yang demokratik.

Para sufisme menolak adanya pembagian muhkam-mutasyabih yang digunakan oleh para mutakallim. Mereka justru mendasarkan penafsiran di setiap ayat Qur’an pada empat elemen semantik yaitu zahir, batin, hadd dan matla’. Sehingga mereka dapat menjauhi prinsip para mutakallim tersebut dan memungkinkan mereka untuk menggali kemungkinan penafsiran yang lain.

Selain Ibn Arabi sebagai rujukan corak sufistik, Nasr juga merujuk Ibn Rusyd sebagai penafsir corak filosofis. Dalam menafsirkan Qur’an, Ibn Rusyd mendasarkannya pada tiga bentuk pembacaan, yiatu khitabi, jadali dan burhani.

Contoh Qur’an sebagai Wacana

Berikutnya Nasr menawarkan beberapa contoh karakteristik Qur’an sebagai wacana. Ia hanya membicarakannya, karena untuk memproyeksikannya secara komprehensif dan terperinci membutuhkan sebuah buku. Nasr hanya menyajikan beberapa karakter tersebut sebagai kerangka dari proyek yang lebih luas.

Pertama, polifoni. Nasr menerangkan bahwa Qur’an memiliki banyak suara. Bukan suara sebagai bunyi yang keluar dari sebuah benda, melainkan suara penutur. Pada satu waktu, ia menggunakan kata ganti orang pertama. Pada lain waktu, ia menggunakan kata ganti orang kedua, dan lain kesempatan lagi ia menggunakan kata ganti orang ketiga. Suara itu berubah-ubah, terkadang suara Ilahi, yang berbicara adalah Allah, kadang Muhammad sebagai manusia dan tidak jarang suara malaikat.

Kedua, dialog. Terdapat banyak ayat yang berbentuk dialog. Dialog tersebut bisa berupa polemik atau apologetik, inklusif atau eksklusif. Namun, Nasr membatasi dialog Qur’an tersebut menjadi tiga, yaitu dialog dengan orang yang tidak beriman (contohnya ayat-ayat yang diawali dengan ya ayyuhalladzina kafaru), dialog dengan para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan dialog dengan mereka yang beriman.

Nasr menjelaskan pada kita dua bentuk dialog, terutama dengan ahli kitab. Dialog tersebut memiliki dinamika sendiri dari waktu ke waktu. Mula-mula dialog Qur’an masih bersifat respek, kemudian seiring penolakan mereka, respon Qur’an berubah menjadi tegas dan bahkan cenderung menantang.

Ketiga, negosiasi. Kita dapat menemukan karakteristik ini dalam Qur’an. Sebagai contoh, Nasr menyebutkan surah ‘abasa, yang menegur Nabi Muhammad agar tidak mengabaikan seorang sahabat kecil yang buta, Umm Maktum, yang ingin belajar Islam kepada Nabi Muhammad. Surah tersebut merupakan contoh sesuatu yang dapat dinegosiasikan. Sementara contoh yang tidak dapat dinegosiasikan adalah permasalaah kepercayaan seperti politeisme. Sehingga hubungan sosial antarsesama dapat dibangun berdasarkan asas kesamaan.

Keempat, dekonstruksi syariah. Sebagai turunan, membicarakan Qur’an sebagai wacana, maka perlu pula untuk meninjau ulang konstruksi syariat yang berlaku selama ini. Sumber syariat kini bukan lain merupakan hasil dari tekstualitas Qur’an. Oleh karena itu sulit untuk menemukan keterhubungan antara Qur’an dengan realitas sebuah zaman. Nasr menyontohkan pada hukuman-hukuman yang beberapa masih berlaku hingga kini. Berbeda apabila hukum tersebut didasarkan pada Qur’an sebagai wacana, yang lebih mengendepankan penghormatan kepada hak-hak orang lain.

Kelima, tantangan modernitas. Tantangan tersebut datang dari Barat dengan agenda kolonialisasinya dalam berbagai lini kehidupan. Maka perlu bagi sarjana muslim untuk segera merespon tantangan tersebut seraya mempertahankan semangat keislamannya. Nasr membagi tantangan tersebut pada tiga hal yaitu, yaitu sains, rasionalitas dan politik.

Keenam dan ketujuh, memikirkan ulang sunnah dan ijma’ (konsesus). Sebagai sumber pengetahuan Islam, sunnah menempati posisi kedua setelah Qur’an. Namun pada praktiknya, fungsi sunnah justru lebih mendominasi karena ia dianggap sebagai penjelas detail ajaran yang ada dalam Qur’an. Begitu pula dengan ijma’, yang menurut Nasr membuat peluang ijtihad tertutup.

Kedelapan, munculnya tafsir baru. Hal ini merupakan perpanjangan dari memikirkan ulang sunnah dan ijma’. Dengan mengembalikan peran sentral Qur’an dan membuka pintu ijtihad, maka terbukalah kemungkinan untuk menemukan pembacaan baru yang signifikan dan relevan di masanya.

Terakhir, yang kesembilan adalah memikirkan ulang Qur’an. Pada bagian ini, Nasr menyebutkan tiga upaya sarjana muslim modern dalam menafsirkan Qur’an. Masing-masing adalah Ahmad Khan, Muhammad Abduh, dan Abu al-A’la al-Mawdudi. Upaya ini tidak lain sebagai tindak lanjut poin ke lima, sebagai respon terhadap tiga tantangan modernitas.

Nasr melihat karya tafsir tiga sarjana muslim tersebut sebagai respon yang perlu untuk dilanjutkan untuk menghadapi tantangan modernitas ini. Karya Khan mendesak munculnya corak penafsiran ilmiah, Abduh mendesak munculnya penafsiran sosial, dan Mawdudi mendesak munculnya penafsiran politik dan ideologi.

Akan tetapi, berkaitan dengan metodologi dan hasil, Nasr menyebut ketiganya masih mengikuti asumi klasik yang menempatkan Qur’an sebagai teks. Bukan sebagai wacana seperti yang diharapkan Nasr. Barangkali di situlah Nasr menawarkan pembacaan Qur’an sebagai wacana

Komentar