Alfin Miftahul Khairi*

Bulan Ramadan adalah bulan penuh dengan keberkahan. Selain pahala dilipatgandakan, sektor ekonomi kerakyatan juga naik signifikan. Banyak kita temui di jalanan, pelbagai macam jajanan yang dijajakan oleh pedagang. Terutama pedagang dadakan yang muncul karena memang melihat keuntungan dari bulan Ramadan ini dengan cara berjualan. Mulai dari makanan remeh-temeh (dan mengenyangkan), sampai ke level makanan berat; nasi dan kawan-kawannya.

Pemandangan seperti ini sudah jamak kita temukan di banyak tempat, di bulan Ramadan. Food court, Pujasera, trotoar jalan, pinggir jalan, pun di gang sempit. Semua mendapat keuntungan. Pembeli datang bergonta-ganti. Mulai dari kanak-kanak hingga yang sudah berumur tua, mulai dari yang membeli hingga yang sekedar mencari tambatan hati. Semua mengekspresikan diri di pusat jajanan tersebut. Meski harga sembako naik, aktivitas pasar dadakan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Itulah Indonesia. Dibalik ramainya aktivitas jual-beli tadi, ada satu yang mengganjal dan menghantui hati saya. Masalah klasik, hantu itu bernama plastik. Karena setiap transaksi dibungkus dengan plastik.

Andai kebijakan negara kita seperti negara tetangga, Singapura. Saya jamin haqqul yaqin tidak akan ada sampah berseliweran di sekitar kita. Ketegasan Pemerintah Singapura soal kebersihan perlu diacungi sepuluh jempol. Hal berbeda jika dibandingkan di negara Indonesia. Orang tidak merasa malu bahkan terang-terangan membuang sampah sembarangan. Gelar akademik tertinggi tidak menjamin si empunya gelar aware akan sampah. Saya pernah melihat seseorang dengan gelar tertinggi dalam bidang akademik buang sampah sembarangan. Pun juga dengan yang bergelar ustad. Acuh ketika membuang sampah.
Jika ditelusuri lebih jauh, motto ‘Kebersihan sebagian dari Iman’ sudah kita kenal sejak di bangku sekolah dasar. Guru kita tidak pernah lelah menyampaikan, belum lagi tulisan tersebut kita temukan di dinding sekolah. Akan tetapi, dalam prakteknya berkata sebaliknya. Kita masih sulit untuk membuang sampah pada tempatnya.

Sampah terutama plastik sudah menjadi menjadi musuh kita bersama. Hasil riset Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang dipublikasikan pada 2015 menyebutkan bahwa Indonesia menyumbang sampah plastik terbanyak nomor dua di dunia. Pada saat itu, berat sampah plastik yang disumbang mencapai 187,2 juta ton. Jumlah yang tidak sedikit.

Lebih lanjut dijelaskan, sumber sampah plastik beragam. Namun satu fakta menyebutkan sekitar 43,4% dari plastik di Indonesia dipergunakan sebagai kemasan. Fakta lain yang didapat adalah setiap orang di Indonesia membuang 700 kantong plastik per tahun. Satu fakta lagi, konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) terus meningkat 10 persen per tahun.

Ditambah sampah dari peralatan elektronik yang kita pakai. Limbah elektronik yang dihasilkan penduduk Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Data yang dirilis United Nations University bersama International Telecommunication Union (ITU) dan International Solid Waste Association (ISWA) dalam penelitian mereka, The Global E-waste Monitor 2017 Quantities, Flows, and Resources, menyebut limbah elektronik yang dihasilkan penduduk Indonesia diestimasi berjumlah 1,274 juta ton atau rata-rata 4,9 kilogram per kapita sepanjang 2016.

Disebutkan dalam Alqur’an Surah Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ditegaskan kembali oleh Allah di surah berikutnya. Surah Al-A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadanya rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yg berbuat baik.

Dua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa kita harus berbuat baik kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Baik yang bernyawa maupun yang tidak. Cintai lingkungan sekitar kita dengan tidak mengotorinya. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan plastik. Jika beli sesuatu, upayakan kita sudah membawa kantong plastik sendiri. Alangkah baiknya lagi, kantong khusus makanan. Jadi, bisa dipakai berkali-kali.

Provinsi Bali sudah memulai langkah ini. Kemarin saat ke Bali beberapa hari lalu. Toko pusat oleh-oleh khas Bali sudah tidak menyediakan kantong plastik. Mereka menggunakan canvas tote bag sebagai penggantinya. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Gubernur Bali No. 97 Tahun 2018. Dalam Peraturan Gubernur 3 bahan yang dilarang yaitu kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. Semoga ada pemerintah daerah yang lain bisa menerapkan apa yang diterapkan di Bali. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk generasi mendatang.

*Dosen Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta

Komentar