Masa muda kerap kali merupakan saat di mana seseorang mulai bermimpi tentang masa depan, berpikir tentang jalan hidup dan secara berani serta agresif bergerak menuju tujuan tersebut. Di banyak daerah perdesaan, menjadi petani bukan bagian dari impian masa depan. Petani adalah pekerjaan rendahan dan tidak menguntungkan, sehingga tidak sedikit orang muda bermigrasi ke perkotaan atau ke luar negeri dianggap lebih baik karena menjanjikan lebih banyak peluang dan petualangan.

Lantas bagaimana jadinya masa depan pertanian dan pangan tanpa petani muda? Mengapa pertanian tidak dianggap menarik oleh orang muda? Lantas bagaimana masa depan pertanian kita jika anak muda enggan menjadi petani? Ketidakberminatan generasi muda untuk menjadi petani merupakan fenomena umum di banyak negara, termasuk Indonesia. Tetapi gejala umum ini perlu diteliti lebih dalam dengan melihatnya dari berbagai segi alasan yang saling berkaitan mengapa banyak pemuda, bahkan putra dan putri keluarga petani enggan bertani. Namun sebelum mengelaborasi lebih dalam terkait dengan pertanyaan tersebut, penulis terlebih dahulu menganggap perlu dipaparkan sekilas tentang maksud orang muda dalam tulisan ini.

Maksud ‘orang muda’ disini ini adalah kaum muda yang peduli, mempraktekkan dan mengembangkan pertanian agroekologis baik laki-laki maupun perempuan. Tulisan ini mencoba menghindari kata ‘pemuda’, dan lebih memilih menggunakan frase ‘orang muda’. Pilihan ini bukan untuk mendepolitisasi maksud dari tulisan ini, namun lebih pada menghindari menggunakan kata pemuda dikarenakan telah terkoropsi secara politis dengan penggunaan diberbagai organisasi dimana banyak organisasi kepemudaan menggunakan batas usia yang terlalu tua untuk kata tersebut.

Di samping itu yang lebih penting lagi adalah menghindari dari bias gender dari kata tersebut yang dikenal secara popular untuk lelaki. Selanjutnya secara sosialogis setiap masyarakat juga mempunyai pengertian sendiri akan apa yang dimaksud dengan ‘pemuda’. Konstruksi sosial yang berbeda-beda ini kemudian diterjemahkan kedalam definisi resmi ‘orang muda’ diambil dari konversi yang banyak digunakan dalam pembangunan internasional. 

Krisis Regenerasi

Begitu banyak ulasan dan kajian historis yang menempatkan kaum muda sebagai pelaku utama perubahan dan keberlanjutan kehidupan yang lebih baik disetiap jamannya. Untuk konteks sekarang orang muda adalah merupakan harapan bagi keberlangsungan kehidupan desa dan pangan. Penulis menyadari dari desa-lah harapan bangsa ini berawal, betapa tidak hampir semua sumber alam ada di sini. Sedari sumber energi, sumber pangan dan sumber daya insani tersedia melimpah.

Mengapa harus orang muda? Minimnya minat generasi muda untuk menjadi petani tidak sama dengan minimnya jumlah generasi muda yang akan menjadi petani. Seperti halnya terjadi dalam proses pemilihan pekerjaan di bidang lain, aspirasi atau cita-cita seseorang tidak selalu identik dengan kenyataan pekerjaan yang ditekuni kemudian. Karenanya, jika saat ini banyak orang muda yang memutuskan untuk tidak menjadi petani dan memilih pergi mencari peruntungan ke kota, bukan berarti mereka seumur hidup akan bekerja di kota. Bisa jadi, dan banyak dari mereka, yang bermimpi kembali ke desa dan memutuskan untuk bertani. Dari sisi kebijakan, pemerintah seharusnya menjawab persoalan serius di atas terutama yang menyangkut siapa yang akan meneruskan kegiatan pertanian di masa depan.

Di kebanyakan desa, struktur penguasaan lahan yang timpang mempunyai arti bahwa kebanyakan orang muda disana tidak memiliki peluang yang realistik untuk menjadi petani atau setidaknya tidak di saat mereka masih muda. Diantaranya adalah bahwa saat ini akses anak muda terutama dari keluarga miskin terhadap lahan pertanian sangat sulit dikarenakan harga tanah yang semakin mahal. Di lain sisi, harga tanah yang semakin tinggi mengakibatkan hanya korporat dan orang-orang bermodal kuat yang mampu membeli tanah. Ini pada gilirannya kian mendorong meningginya ketimpangan di perdesaan. Masalah lain, bagi mereka yang berasal dari keluarga petani, generasi muda harus menunggu lama untuk dapat mengelola pertanian secara mandiri dikarenakan banyak orang tua yang tidak menyerahkan pengelolaan lahan pertanian sebelum mereka secara fisik tidak lagi mampu bertani (White, 2017 dan Ambarwati, 2017).

Orang muda ini harus menunggu sampai usia 40-an atau bahkan 50-an tahun sampai mereka pada akhirnya mendapatkan tanah dari orangtua mereka, sedangkan untuk orang muda yang orangtuanya tak bertanah, kesempatan yang tersedia adalah hanya menjadi petani penyewa atau buruh tani kecil—kecuali mereka dapat menemukan cara lain untuk mengakses lahan—untuk kelompok terakhir ini satu-satunya kemungkinan untuk menjadi petani adalah dengan terlebih dahulu mendapatkan pekerjaan diluar pertanian dengan harapan mereka bisa menabung sejumlah uang untuk kemudian membeli atau menyewa lahan. Akan tetapi, membeli lahan kian menjadi pilihan yang tidak realistis kecuali bagi mereka yang memang sudah kaya. Ini disebabkan oleh pembelian tanah non petani sebagaimana yang terjadi di wilayah DIY sebagai sumber spekulasi yang menyebabkan harga lahan meningkat dengan cepat akhir-akhir ini.

Perlunya Akses Sumber Agraria

Sulitnya akses menjadi salah satu kendala utama yang menghambat orang muda untuk bertani maupun melakukan inovasi di bidang pertanian. Beralihnya orang muda dari pertanian merupakan sebuah fakta. Oleh karena itu, kebijakan yang bisa membuka akses orang muda terhadap sumber daya pertanian diperlukan guna mendorong regenerasi petani. White menyebutkan ada 3 hal yang menyebabkan orang muda beralih dari pertanian yaitu: 1) menghilangnya keahlian dan pengetahuan mengenai pertanian di kalangan pemuda pedesaan (de-skilling youth); 2) menurunnya persepsi mengenai pertanian dan hidup di pedesaan; 3) abainya pemerintah terhadap pertanian skala kecil dan pembangunan infrastruktur pedesaan. Pendidikan telah melahirkan generasi-generasi muda yang terdidik tetapi tidak mengakrabi pengetahuan tentang pertanian. Pertanian juga hanya dianggap sebagai pekerjaan yang cocok bagi mereka yang tidak berprestasi di sekolah (something for those who dont do well in school). White menyebutkan bahwa dalam konteks mengembalikan orang muda ke pertanian, ada tiga prasyarat yang dibutuhkan, yaitu: akses terhadap tanah, keberpihakan kebijakan pemerintah kepada pemuda dan perbaikan infrastruktur pedesaan. Jika ini bisa dipenuhi, tidak mustahil orang muda akan bisa kembali ke pertanian (Pujiriyani, at.,all 2016)

Selaian itu orang muda dapat melakukan beberapa hal untuk mengakses sumber agraria di desa. Pertama, mereka dapat mempelajari peraturan-peraturan terkait sumber agraria, seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal ini akan membantu mereka memahami hak dan kewajiban terkait sumber agraria di desa. Kedua, mereka dapat bergabung dengan kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dengan sumber agrarian. Dengan bergabung dengan kelompok-kelompok ini, mereka dapat memperoleh informasi dan dukungan dalam mengakses sumber agraria di desa. Selain itu, orang muda juga dapat memanfaatkan teknologi untuk mengakses sumber agraria di desa.

Dengan menggunakan teknologi ini, mereka dapat memperoleh informasi terkait lokasi dan status sumber agraria di desa. Orang muda juga dapat terlibat dalam gerakan pembaruan agraria di Indonesia seperti Serikat Petani Indonesia (SPI). Gerakan ini bertujuan untuk memperbaiki struktur distribusi penguasaan sumber agraria dan memperjuangkan hak-hak masyarakat atas sumber agrarian. Dengan terlibat dalam gerakan ini, Pertama, orang muda dapat memperjuangkan hak-hak mereka terkait sumber agraria di desa. Kedua, orang muda dapat memperjuangkan reforma agraria di Indonesia. Dengan memperjuangkan reforma agraria, orang muda dapat memperjuangkan hak-hak mereka terkait sumber agraria di desa guna memperolah keadilan agrarian untuk perubahan sosial ekonomi yang lebih adil di Indonesia.

Perjuangan menegakkan keadilan agraria sebagai contoh yang selama ini Serikat Petani Indonesia (SPI) perjuangkan bukanlah hal yang mudah. Al-Qur’an menamainya itu sebagai perjuangan mulia nan penuh terjal (al aqobah) (Ahmad Nasih Luthfi,2019:3). Apa saja yang tergolong al aqobah itu? Dalam Al-Qur’an (QS Al Balad: 11-18) Allah menyebut beberapa perjuangan yang tergolong mulia itu, yakni: perjuangan dalam menciptakan tatanan negeri (al balad) yang bebas dari perbudakan dan segala sistem yang mengeksploitasi (ayat 13); memberi makan (material) pada mereka yang miskin, dan memberi makan pikiran dan batin (pengetahuan dan moral) pada mereka yang dimiskinkan (ayat 14); kepedulian pada anak yatim dan mereka yang diyatimkan secara sistemik (ayat 15); atau kepada mereka yang miskin takterkira (ayat 16), yang seringkali diabaikan bahkan oleh masyarakat itu sendiri. Allah juga memberi pedoman bahwa dalam memperjuangkan itu harus dilakukan dengan cara sabar, didasari pengetahuan, saling mengingatkan, dan atas motivasi kasih sayang dan bukan karena kebencian (ayat 17).

Mereka para pejuang itulah yang layak mendapat gelar “Ashabul maimanah” atau kelompok kanan, yakni orang yang nanti di akhirat akan menerima dengan tangan kanan (sebagai tanda amal baik) catatan perbuatannya selama hidup di dunia (ayat 18). Mereka yang menciptakan kondisi sebaliknya (kufr) itulah yang justru disebut sebagai “Ashabul Masy’amah” atau kelompok kiri (ayat 19). Kepedulian, kesungguhan perjuangan, sabar, berbekal pengetahuan, akhlaqul karimah, adalah nilai-nilai yang ditunjukkan dalam firman Allah ini. Mereka yang memperjuangkan alam dan tanah agar kembali mendapatkan martabah yang terhormat itu harus memperoleh dukungan dari segenap pihak baik dari mulai dari kaum agamawan dan kaum cerdik pandai lainnya; bukan malah sebaliknya dikriminalisasi atau difitnah dengan tuduhan-tuduhan yang bertujuan menjatuhkan mereka, seperti dituduh anti kemajuan, komunis, subversif, bahkan ateis. Justru mereka para pejuang itulah yang sedang menghadang kemungkaran sosial dan ketidakadilan agraria dengan men-tajalli-kan dimensi keagamaan atau keislaman ke dalam praktik keseharian sebagai makhluk yang diciptakan dari tanah, hidup berdampingan dengan alam dan segenap makhluk di dalamnya.

Refrensi:

Ambarwati, Apriani 2017, ‘Ketimpangan Akses Tanah di Perdesaan’, dalam Heru Nugroho, at.,all Potret Politik dalam Ekonomi Lokal Indonesia di Indonesia: Dinamika Demokratisasi, Pengembangan Ekonomi, dan Kawasan Perdesaan, Yogyakarta: IRE dan AKATIGA.

Luthfi, Ahmad Nashih 2019, Prinsip-prinsip Islam dalam Pengelolaan Masalah Agraria, Artikel Pribadi.

Pujiriyani, Dwi Wulan at.,all. 2016, ‘Sampai kapan pemuda bertahan di pedesaan? Kepemilikan lahan dan pilihan pemuda untuk menjadi petani’ Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, Vol. 2 No. 2 November.

Shohibuddin, M 2019, ‘Memahami dan menanggulangi persoalan ketimpangan agraria’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 2, hlm. 136-149.

Nugraha, Yogaprasta dan Herawati, Rina, tt ‘Menguak Realitas Orang Muda Sektor Pertanian
Di Perdesaan’, dalam https://media.neliti.com/media/publications/458-ID-menguak-realitas-orang-muda-sektor-pertanian-di-perdesaan.pdf

White, Ben 2017, ‘Efisiensi Sosial dalam Penelitian Kebijakan Pembangunan Perdesaan’, dalam Heru Nugroho, at.,all Potret Politik dalam Ekonomi Lokal Indonesia di Indonesia: Dinamika Demokratisasi, Pengembangan Ekonomi, dan Kawasan Perdesaan, Yogyakarta: IRE dan AKATIGA.

Komentar