Al-Zastrouw*

Muhasabah Kebangsaan
(Catatan Perjalanan Ki Ageng Ganjur ke Belanda #7)

Ketika tim Ganjur melakukan roadshow kebudayaan di Belanda, Kami menggunakan waktu tersebut untuk bertemu dengan para migran dari beberapa negara untuk sekedar ngobrol berbagi cerita. Selain migran dari Indonesia, kami bertemu dengan migran dari Maroko, Turki dan Iraq. Bagi kami ngobrol dengan para migran ini sangat menarik, selain bisa mendengar pengalaman mereka yang unik juga banyak informasi menarik yang bisa dijadikan bahan kajian melihat hubungan Islam dan Barat dalam konteks kekinian.

Secara umum, ada tiga jenis migran di Belanda dan Eropa secara umum; pertama migran ekonomi yaitu migrasi karena alasan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup (para pencari kerja); kedua migran pengungsi karena konflik dan peperangan di negeri asal; ketiga migran pendidikan, yaitu para pelajar dan mahasiswa dan dosen yang belajar dan mengajar serta melakukan penelitian di Belanda.

Data dari KBRI, ada 16.088 orang Indinesia tinggal Belanda. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki dokumen resmi sebagai pekerja. Rata-rata mereka bekerja di sektor informal domestik seperti memperbaiki rumah, menjaga anak/orang tua, memasak, di kebun dan di pabrik. Menurut pengakuan para pekerja, mereka nyaman kerja di Belanda meski tanpa dokumen resmi. Yang penting tidak bikin masalah sosial. Selagi tidak melakukan tindakan yang menarik perhatian aparat, mereka tetap aman bekerja.

Gaji mereka rata2 €10 sd €12 perjam. “Di sini rasa kemanusiaan sangat dijunjung tinggi, selagi tidak bikin ribut kita aman-aman saja!” kata Munif, pekerja dari Jombang yang berprofesi sebagai tukang masak.

Di Den Haag, para migran Indonesia ini sering berkumpul di masjid al Hikmah. Selain taklim, mereka juga saling tukar informasi mengenai lowongan kerja atau masak bareng untuk melepas rindu pada kampung halaman.

Seorang migran dari Iraq yang menjadi penjual buah di depan masjid al-Hikmah Den Haag bercerita pada penulis, sebenarnya dia sangat sedih melihat fenomena umat Islam yang banyak menjadi migran di Eropa. “Karena agama dicampur politik semua jadi tidak jelas dan memancing konflik yang mengorbankan rakyat” demikian keluhnya pada kami. Dia mengaku sebagai orang Kurdi yang tinggal di Iraq selatan dan mengadu nasib menjadi migran di Belanda karena konflik di negeranya.

Di pasar tradisional De Haagse Markt Den Haag, kami sempat ngobrol dengan para migran dari Maroko dan Turki. Migran dari Maroko berprofesi sebagai pedagang pasar, yang dari Turki menjadi pengajar di sekolah Turki di Belanda. Mereka adalah generasi ke dua karena lahir di Belanda. Orang tua mereka datang ke Belanda sebagai pekerja saat negeri ini sedang membangun infrastruktur secara besar-besaran tahun 50an.

Meski semua terlihat baik-baik saja namun bukan berarti tidak ada persoalan terkait dengan keberadaan imigran. Pertama, ada pontensi ketegangan sosial dan benturan budaya terkait dengan keberadaan migran dari Timur Tengah dan Afrika Utara yang mayoritas beragama Islam. Potensi ketegangan ini tercermin dari tingginya angka kriminalitas yang dilakukan oleh para migran terutama yang dari Afrika Utara (Maroko, AlJazair, Libia dan lain sebagainya). Hal ini menimbulkan stigma negatif terhadap Islam karena mayoritas mereka beragama Islam.

Kedua, terkait dengan persoalan demografi. Rata-rata penduduk lokal Belanda dan Eropa pada umumnya hanya memiliki satu atau dua anak. Sedangkan para migran dari Afrika Utara dan Timur Tengah rata-rata memiliki anak lebih dari tiga. Kondisi ini dianggap sebagai ancaman oleh penduduk lokal karena dalam jangka panjang bisa menggusur posisi penduduk lokal yang jumlahnya makin menurun sedangkan jumlah penduduk migran makin meningkat.

Ketiga, terkait dengan persoalan ekspresi keagamaan. Masyarakat Barat, khususnya Belanda, yang sekuler menganggap agama adalah urusan privat yang ekspresinya tidak boleh mengganggu kepentingan dan ketentraman publik. Sedangkan bagi kaum migran yang mayoritas Muslim, beranggapan ekspresi beragama dan simbol agama harus tampil ke ruang publik sebagai bentuk dari syiar. Inilah yang menyebabkan timbulnya ketegangan ideoligis dan budaya. Lebih-lebih ketika terjadi tuntutan legitimasi simbol Islam ke ruang publik seperti aturan berpakaian (jilbab dan gamis), menara masjid, tuntutan pemberlakuan syariat Islam dan sejenisnya.

Ulah para migran muslim ini menimbulkan citra buruk terhadap Islam, karena bagaimanapun mereka adalah representasi wajah Islam di mata masyarakat Barat (Eropa). Umat Islam dianggap sebagai masyarakat yang tidak tahu berterima kasih, berakhlak rendah pada “tuan rumah” yang telah menolongnya, membikin rusuh dan gaduh di negara orang.

Menurut prof. Jocelyne Cesari dari Harvard, pemahaman Islam versi Salafi (Wahabi-pen) yang bertentangan dengan sistem sosial dan kebudayaan Barat telah menempatkan keduanya pada posisi biner yang kontradiktif. Ini bisa dilihat dari konfrontasi jilbab vs bikini, khilafah vs demokrasi, syariah vs hukum positif dan sebagainya. Benturan ini telah melahirkan sikap islamphobia di sebagian masyarakat Barat yang kemudian bersikap diskriminatif terhadap umat Islam karena dianggap sebagai sumber masalah dan kekacauan.

Sinyalemen prof. Jocelyn dikonfirmasi oleh hasil penelitian tiga orang mahasiswa universitas Bochum; Tobias Fetzer, Yovich Lauffs , Mathias Kuchouwski yang menyatakan terjadi diskriminasi terhadap migran muslim di Eropa berdasar perbedaan cara berpakaian dan tampilan. Di Belanda, sikap anti Islam ini disuarakan oleh Greert Wilders pendiri dan pemimpin Partai untuk Kebebasan (Partij voor de Vrijheid – PVV), partai politik terbesar keempat di Belanda yang berhaluan kanan.

Namun demikian ada satu hal yang menarik dari penelitian para mahasiswa Univ. Bochum tersebut, yaitu masyarakat Eropa tidak phobia Islam dari Indonesia karena bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Barat baik dari cara berpakaian maupun dalam bersyariah. Artinya, penerapan syariah umat Islam Indonesia yang tidak simbolik formal tetapi cenderung substantif dan mengedepankan akhlakul karimah justru bisa menarik simpati masyarakat Eropa (Barat) khususnya warga Belanda.

Kondisi ini merupakan peluang bagi Islam Nusantara untuk tampil menjadi alternatif wajah Islam di kalangan masyarakat Barat-Eropa khsusnya warga bangsa Belanda. Dengan demikian wajah Islam tidak monoton dengan karakter yang keras dan kaku, tetapi menjadi variatif karena ada wajah lain yang ramah, sejuk, lembut dan menyenangkan sebagaimana tercermin dalam sikap para migran Muslim Indonesia. Semoga….!!! (Bersambung).****

Komentar